Pada era digital, pola pikir masyarakat menjadi lebih konsumtif dalam memenuhi kebutuhannya. Kemajuan teknologi berdampak pada kemudahan akses pemenuhan kebutuhan tersebut. Dewasa ini, generasi muda atau Gen Z memiliki cara unik untuk menikmati hidup dan membahagiakan diri. Gen Z mencakup mereka yang lahir tahun 1997 sampai dengan 2012. Gen Z dijuluki sebagai iGeneration atau generasi internet karena telah mendalami internet sejak usia dini sehingga sangat bergantung dengan teknologi (Wijoyo, et.al., 2020).
Gen Z identik dengan gaya hidup pamer atau flexing (Mutmainnah et.al., 2023). Gaya hidup pamer dan hedonisme dipengaruhi oleh filosofi “You Only Live Once” (YOLO) yang menekankan kenikmatan hidup saat ini. Filosofi tersebut mendorong Gen Z untuk memaksimalkan kesenangan tanpa terlalu memikirkan risiko dan konsekuensi jangka panjang. Melalui filosofi ini, mereka percaya bahwa perjalanan yang menyenangkan dapat menghasilkan kepuasan tersendiri. Namun, sejak pertengahan tahun 2024 sampai saat ini, isu krisis ekonomi melanda Indonesia. Masyarakat mulai mengurangi gaya hidup hedonisme dan beralih pada prinsip “You Only Need One” (YONO). Jadi YONO bukan nama orang ya! YONO sangat bertolak belakang dengan lawannya, YOLO. YONO mencerminkan pola hidup minimalis dan penuh pertimbangan. Untuk mengetahui perbedaan antara YOLO dan YONO, simak penjelasan berikut:
Study Case YOLO Vs YONO
Kamu memiliki berbagai rencana untuk mengisi waktu libur, seperti istirahat, belajar, dan olahraga. Saat sedang melihat sosial media, muncul tawaran promo pembelian gawai yang menarik, tetapi di satu sisi gawai kamu saat ini masih berfungsi dengan baik. Kamu pilih yang mana? Jika kamu memutuskan untuk membeli gawai baru dengan tawaran tersebut, itu artinya kamu termasuk kaum YOLO. Kalau kamu memilih tetap menggunakan gawai yang lama, artinya kamu termasuk kaum YONO. Sudah ada bayangan mengenai YOLO dan YONO? Kalau belum, yuk simak informasi berikutnya!
YOLO: Just Go With It!
YOLO (You Only Live Once) merupakan sebuah gaya hidup atau pola pikir yang mengajarkan bahwa hidup itu hanya sekali, jadi jangan ragu untuk mengupayakan segala sesuatu secara maksimal. Menurut Mogilner dan Bhattacharjee (2014), pola pikir YOLO merupakan pandangan untuk menjalankan kehidupan dengan memenuhi keinginan demi kesenangan dan kebahagiaan pada saat itu juga. Dalam study case di atas, membeli gawai baru termasuk ke dalam pola pemikiran YOLO karena mengupayakan keinginan demi mewujudkan kebahagiaan tanpa banyak pertimbangan. YOLO mendorong seseorang untuk berani mengambil risiko, mencari pengalaman seluas-luasnya, living to the fullest, dan menikmati hidup tanpa banyak kekhawatiran karena hidup cuman sekali. Kaum YOLO cenderung menyukai hal-hal yang thrilling, adventurous, dan tentunya yang seru. Prinsip “Duit nggak dibawa mati” atau “Uang bisa dicari” sepertinya jadi pegangan hidup anak-anak YOLO, nih!.
YONO: Quality over Quantity
YONO (You Only Need One) merupakan gaya hidup minimalis yang mengutamakan kualitas. YONO mengharuskan seseorang untuk membuat prioritas serta membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Konsep YONO mengajarkan bahwa kebahagiaan dapat dicapai dengan fokus pada satu hal yang benar-benar penting. Filosofi ini berakar dari prinsip minimalisme dan kesadaran penuh (mindfulness) yang mengutamakan efisiensi, kualitas, dan keberlanjutan. Kaum YONO memiliki prinsip, hidup efisien itu keren. Mereka tidak peduli dengan tren atau merasa FOMO (Fear Of Missing Out). Hidup minimalis justru dianggap stylish dan empowering. YONO juga memiliki preferensi belanja yang unik, mereka cenderung memilih barang yang berkualitas tinggi, menggunakan bahan ramah lingkungan, dan mendukung pembelian produk lokal karena didasari dengan pemikiran kesadaran penuh. Dalam study case di atas, kaum YONO memutuskan untuk menggunakan gawai lama karena masih berfungsi dengan baik. Kaum YONO juga memiliki prinsip “Yang bikin ribet itu bukan kekurangan, tetapi kelebihan”.
Kekurangan YOLO dan YONO
YOLO memang mengajarkan kita untuk memaksimalkan dan menikmati hidup. Namun pertanyaannya: Apakah segala aspek dalam kehidupan harus dimaksimalkan? Atau jangan-jangan demi ‘kenikmatan’ kita justru memaksakan segala hal? Kaum YOLO umumnya memegang prinsip “Lebih baik menyesal karena beli, daripada menyesal karena melewatkan”. Prinsip tersebut dijadikan pembenaran untuk belanja impulsif dan berujung pada perilaku konsumtif. Tidak hanya berdampak negatif pada keuangan, tetapi juga pada kesehatan mental individu. Ketidakstabilan finansial yang disebabkan oleh mengutamakan kesenangan dan kepuasan diri akan mengganggu kesehatan mental, seperti stres karena tidak memiliki rencana jangka panjang dan penyesalan di masa depan.
Sementara itu, YONO yang menekankan gaya hidup minimalis justru terkadang lupa untuk membahagiakan diri sendiri dan terlalu fokus pada efisiensi. Mereka bisa menahan diri untuk membeli hal-hal yang sebenarnya dirasa perlu karena barang yang lama masih bisa digunakan. Dalam jangka waktu panjang, sikap ini dapat berkembang menjadi kepribadian yang pelit terhadap diri sendiri, bukan sekadar pembelian barang, tetapi juga dalam memberi apresiasi atas pekerjaan atau pencapaian diri. Dalam beberapa kasus, prinsip YONO membuat seseorang enggan untuk merayakan pencapaian kecil dan merasa bersalah ketika membeli sesuatu demi memuaskan kebahagiaan.
Mahasiswa Pilih YOLO atau YONO?
Nadine, mahasiswi Sastra Indonesia angkatan tahun 2023 mengaku bahwa ia tim atau kaum YOLO, khususnya untuk makanan. Menurutnya, setiap kesempatan itu berharga, terlebih jika sedang berada di tempat yang jarang dikunjungi atau mungkin hanya sekali seumur hidup. Jadi, saat melihat makanan yang menggugah selera, Nadine akan membelinya. Meski begitu, ia juga tetap realistis dengan mempertimbangkan harga, selama masih masuk budget, pasti dibeli. Ia juga mengaku tidak menabung untuk membeli hal-hal yang diinginkan dan dibutuhkan.
Sementara itu, Rachel, mahasiswi Sastra Indonesia angkatan tahun 203 mengaku sebaliknya. Rachel mengaku bahwa ia merupakan tim YONO. Ia menyesuaikan keadaan finansial dan mengaku akan sangat menyesal jika membeli sesuatu yang bukan prioritasnya. Untuk membeli kebutuhan, Rachel kerap menabung dan memastikan barang yang ia pakai sudah benar-benar habis masa gunanya.
Jadi, Mana yang Lebih Baik?
Sering sekali kita didorong untuk menyeimbangkan antara YOLO dan YONO. Namun, apakah “menjadi seimbang” merupakan jalan terbaik? Kenyataannya, kita hanya perlu tahu pilihan yang jelas. Saat seseorang memilih YOLO, mereka sadar bahwa sebuah momen tidak akan terulang dan bukan pemborosan semata-mata. Hal tersebut merupakan bentuk dari menghargai pengalaman. Di sisi lain, seseorang memilih YONO karena lega saat kondisi keuangan aman dan terencana. Menjadi YONO bukan berarti melewati pengalaman, tetapi menikmati rasa aman. Ingat, keputusan yang benar bukanlah yang paling seimbang, tetapi yang paling sesuai untuk membahagiakan dirimu. Jadi, mau YOLO atau YONO, cari tahu dulu apa yang sebenarnya kamu butuhkan!
References
Gen-Z Traits: YOLO vs YONO, Apa sih itu? (2025, April 06). soa.edu.com. Retrieved Juni 08, 2025, from https://soa-edu.com/gen-z-traits-yolo-vs-yono-apa-sih-itu/
Mogilner, & Bhattacharjee. (2014). Happiness from Ordinary and Extraordinary Experiences. Journal of Consumer Research, 9(3), 3-10.
Mutmainnah, Nafis, A., Mahfiyah, C, W. N., & Aliyah, A. (2025, April 01). Pergeseran Tren You Life Only Onceke You Need Only One(Pola Konsumsi Gen Z Perspektif Ekonomi Syariah). Jurnal Ekonomi Syariah Pelita Bangsa, 10(01), 108-111.
Rizki, R. (2024, Desember 31). YOLO dan YONO: Gaya Hidup Berbeda untuk Tujuan Hidup Berbeda. rri.co.id. Retrieved Juni 08, 2025, from https://www.rri.co.id/lain-lain/1227263/yolo-dan-yono-gaya-hidup-berbeda-untuk-tujuan-hidup-berbeda
Wijoyo. (2020). Generasi Z & Revolusi Industri 4.0 Penulis. In Pena Persada Redaksi, (Juli), 4-9.
YOLO vs YONO, Gen Z Pilih Mana? (2025, Januari 24). instiki.ac.id. Retrieved Juni 07, 2025, from https://instiki.ac.id/2025/01/24/yolo-vs-yono-gen-z-pilih-mana/