MEMOAR WIESEL DALAM MALAM

Redaksi Pena Budaya
4171 views
','

' ); } ?>

sumber : google.com

 

Novel Malam adalah novel pertama dari Night Trilogy (Trilogi Malam) yang Wiesel tulis pada tahun 1960. Novel ini merupakan sepenggal kisah hidupnya bersama sang ayah ketika berada di kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz dan Buchenwald tahun 1944-1945. Pengalaman mengerikan yang terjadi di dua tempat ini menghantui Wiesel sehingga ia merasa perlu menuliskan semuanya ke dalam sebuah kisah.

Fredeick L. Downing, seorang penulis biografi Wiesel, mengatakan bahwa kehidupan pribadi Wiesel mencerminkan karya-karya yang dihasilkan. Ini karena nyaris semua karya yang dihasilkannya adalah intisari dari kisah hidupnya, baik dari segi spiritual ataupun di luar spiritual. Di novel Malam pembantaian, kerja paksa, diskriminasi dan eksploitasi tubuh, rasisme tingkat berat, spiritualisme, dan mistisme yang dialaminya diangkat menjadi kisah tentang kemanusiaan yang dilelang dan tidak berharga.

Elie Wiesel lahir pada 30 September 1928 di Sighet, sebuah kota kecil di Transylvania, Romania. Ia adalah anak ketiga dari empat bersaudara dan merupakan satu-satu anak laki-laki dalam keluarganya. Wiesel dilahirkan dari pasangan Yahudi bernama Shlomo Wiesel dan Sarah Feig. Besar di keluarga Yahudi yang taat, Wiesel didorong oleh ibunya untuk senantiasa mempelajari ajaran Yahudi. Berbeda dengan ibunya, ayah Wiesel, Shlomo Wiesel mendorong sang anak untuk mendalami bahasa Ibrani dan membaca banyak karya sastra. Dalam wawancaranya dengan Georg Klein pada tahun 2004, ia mengatakan keluarganya terutama sang ayah sangat suka pada Hungaria dan karena itu ia banyak membaca teks literatur yang berasal dari sana. Lewat dua orang inilah, Wiesel bisa dikatakan mendapat sisi religius (meskipun pada akhirnya mendebat religiusitasnya sendiri) dan kemampuan bidang sastra.

Pada sekitar usia 15 tahun, yaitu tahun 1944, Wiesel harus mengalami masa-masa berat dalam menghadapi bencana sosial; Holocaust atau pembantaian kaum Yahudi yang dilakukan oleh Nazi. Sintemen Yahudi bukanlah hal baru bagi Wiesel mengingat ayahnya adalah salah satu tokoh Yahudi berpengaruh di kota itu. Sejak Hitler menguasai Romania, ayah Wiesel menjadi jembatan yang menghubungkan kaum Yahudi di Sighet dengan dewan yang menjadi kaki tangan Jerman. Tidak heran jika kemudian segala informasi yang didapatkan ayahnya juga diketahui oleh anggota keluarga.

Pengalaman Wiesel di Kota Sighet dijahit pada bagian 1 novel Malam. Di sana, ia menulis aktivitas religi yang dilakukan oleh dirinya dan seorang lelaki bernama Mosye (pelayan gereja). Tak sampai di situ saja, ia juga mengiris sedikit aktivitas mistisme Yahudi (Kabbala) yang menunjukkan kentalnya adat dan spiritualisme keluarga Wiesel. Ia juga mendeskripsikan kehidupan keluarga dengan mencantumkan nama masing-masing saudara perempuannya; Hilda, Tzipora, dan Beatrice.

Tekanan Jerman terhadap Yahudi di Sighet terjadi pada Bulan Maret. Langkah awal yang dilakukan rezim Nazi adalah membangun wilayah sentralisasi Yahudi, masyarakat menamainya ghetto (semacam pecinan khusus keturunan Tionghoa yang dibangun di Indonesia oleh rezim Orde Baru). Tempat ini terbagi menjadi dua wilayah, yakni wilayah besar dan wilayah kecil. Semua Yahudi diwajibkan pindah dari rumah mereka ke wilayah ini, termasuk keluarga Wiesel.

Pada Perang Dunia II, setelah kabar deportasi yang diterima ayahnya dari dewan, tepatnya setelah kaum Yahudi menghuni ghetto, keluarga Wiesel bersama yang lain pergi secara paksa ke Auschwitz. Ada setidaknya 90 persen dari total populasi Yahudi di Shiget yang dipindahkan. Di sana ia tinggal dalam komplek kamp konsentrasi di Polandia.

Dalam novel Malam Wiesel menulis prosesi seleksi yang tidak jelas rupa yang dilakukan SS (semacam tentara) telah memisahkan dirinya dengan sang ibu dan tiga saudara perempuannya. Peristiwa pemisahan paksa ini membuat Wiesel semakin dekat dengan sang ayah, Shlomo Wiesel. Apalagi setelah ayahnya semakin tua dan memiliki potensi yang besar untuk masuk seleksi kremasi karena sudah tidak sanggup bekerja.

Tidak ada kesempatan untuk berpikir, tetapi kurasa tangan ayah semakin erat menggenggam tanganku: kami sudah ditinggalkan… Dan aku tidak tahu bahwa di tempat itu, pada saat itu, aku berpisah selama-lamanya dengan ibunda dan Tzipora… Di belakangku, seorang kakek tua jatuh ke tanah… Tangannya bergerak di lengan ayahku. Cuma satu pikiran tersisa padaku—jangan sampai kehilangan ayah. Jangan sampai ditinggalkan seorang diri. (Wiesel, 2003: 43-44).

Pada bab-bab selanjutnya dari novel Malam, Wiesel menceritakan kamp konsentrasi yang dipenuhi oleh orang dari berbagai macam golongan. Di dalam novelnya, Wiesel tidak dengan kentara menunjukkan rasa takjub yang dialaminya ketika bertemu dengan banyak manusia dengan latar belakang yang berbeda. Namun hal ini bisa dilihat dari beberapa kali Wiesel mencantumkan nama-nama orang dan dari mana asal mereka semua. Sebagai contoh ialah tokoh Yossi dan Tibi asal Ceko yang orang tuanya dibakar di Birkenau dan bagian dari suatu gerakan bernama Sionis.

Gambaran Yossi dan Tibi hanya sebagian kecil dari seluruh kesadaran Wiesel tentang pluralnya Yahudi yang dikonsentrasi Nazi sekaligus hal positif dari sedikitnya keuntungan yang bisa ia terima sejak deportasi. Dalam wawancara guna keperluan Hadiah Nobel tahun 2005, pluralisme Yahudi yang diketahuinya diakuinya juga telah membuka pengetahuan baru tentang eksistensi Tuhan.

I came to a place that I realised that is a creation parallel to creation, and the unviverse. Parallel to the universe and in that universe people come to kill, others come to die and they have their own theology, their princes, their beggars, their moralists, everything. That for me was a surprise. Wait a second, i thought that God’s world is only one world and here i see another world parallel to that world.”

Gencarnya konfrontasi Nazi untuk membersihkan Yahudi di Eropa dan pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan yang dilakukannya perlu diakui sebagai salah satu bencana sosial terbesar yang pernah dialami dunia. Tetapi Wiesel menyadari sesuatu; kekejian yang dilakukan dianggap berhasil mencederai kemanusiaan, tetapi lewat kekejian itu pula ia melihat kegagalan.

Pandangan itu Wiesel citrakan lewat detail-detail kecil yang menariknya terinspirasi dari pengalaman pribadi dan karya sastra dari Imre Kertesz berjudul Being Without a Fate. Novel Malam dan buku Kertesz tersebut mengambil latar sejarah yang sama dan menariknya terdapat bagian yang nyaris sama pula; ketika sang ayah memberikan roti pada sang anak. Bagi Wiesel, representasi yang hendak disampaikan adalah bahwa kemanusiaan akan selalu menemukan celah untuk melawan.

Bisa jadi adegan itu adalah juga pengalaman pribadi Wiesel dengan sang ayah mengingat hubungan keduanya sangat dekat. Dalam Malam bahkan kita tahu sang ayah pernah menganjurkan agar anaknya tidak menghabiskan jatah makan karena ketidakpastian apakah besok mereka masih bisa mendapatkan makan atau tidak.

Pada awal tahun 1945, Wiesel, Shlomo dan ratusan Yahudi lainnya dievakuasi ke Bunchelwald. Ini dilakukan pihak Nazi untuk menghindari serangan Amerika dan Perancis dalam upaya penghapusan Holocaust. Mereka dievakuasi pada musim dingin menggunakan kereta.

Penggalan hidup ini barangkali akan selalu diingat Wiesel sebab perjalanan ini merupakan perjalanan berat menembus bekunya Polandia. Perjalanan ini juga menyebabkan ia dan ayahnya nyaris kehilangan nyawa beberapa kali. Dan yang pasti, karena perjalanan ini pula ayah Wiesel terserang penyakit disentri sampai akhirnya meninggal di kamp terakhir Bunchelwald sebelum hari pembebasan yang dilakukan tentara Amerika pada 29 Januari 2019.

Setelah perang berlalu, Wiesel melanjutkan pendidikan di Sorbonne, Paris, Perancis. Ketertarikan sang ayah pada literatur, terutama karya sastra Hungaria, membuatnya memilih sastra untuk dipelajari. Tak hanya sastra, filsafat dan psikologi juga menjadi minatnya. Wiesel meninggal pada 2 Juli 2016 di umurnya yang ke 87 tahun di Manhattan, New York, Amerika Serikat. Selama karirnya sebagai penulis, ia telah mendapatkan banyak penghargaan yang dianugerahkan berkat karynya di antaranya Hadian Nobel Perdamaian (1986), Presidential Medal of Freedom, Congressional Gold Medal, dan penghargaan besar lainnya. (MRA)

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran