Membaca dan Menonton, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas: Dua Hal yang Sangat Berbeda, tetapi Saling Melengkapi

Silvy Rianingrum
1203 views
','

' ); } ?>

Ulasan ini (mungkin) mengandung spoiler.

Di iPusnas, ada lebih dari 2400 orang yang mengantri untuk membaca novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (SDRHDT) sampul hijau dan lebih dari 2500 orang yang mengantri untuk membaca novel tersebut dengan sampul merah jambu. Salah satu dari yang mengantri itu adalah saya. Saya mengantre segera setelah mengetahui bahwa adaptasi filmnya memenangkan penghargaan Golden Leopard di ajang Locarno Film Festival ke-74 di Locarno, Swiss tahun 2021 ini. Setelah membaca novelnya dalam rangka mempersiapkan diri, saya menunggu filmnya tayang dengan perasaan mendamba kekanak-kanakan. Pucuk dicinta, ulam pun tiba! Saya memenangkan dua tiket menonton SDRHDT pada 1 Desember 2021 di Plaza Senayan, satu hari lebih awal dibanding tanggal rilis nasionalnya: 2 Desember 2021. Tentu saja saya memahami prinsip “Film berbeda dari bukunya sebagaimana buku berbeda dari filmnya. Alih wahana menuntut penikmat mengenal ulang karya dan menerimanya apa adanya.” Prinsip ini mudah dikatakan, tetapi sangat sulit dilakukan. Terlebih, first and foremost, saya adalah pembaca.

Sebetulnya, baik novel maupun film SDRHDT membahas hal yang sama: Ajo Kawir dan impotensinya, laki-laki, maskulinitas toksik, kekerasan, dan rezim Orde Baru. Sinopsis yang ada pada laman web IMDb pun sama dengan sinopsis di sampul belakang novelnya. Berikut sinopsisnya:

In a society ruled by machismo, a hibernating “bird” becomes a serious matter. In a life of brutality, the sleeping bird is an allegory for a peaceful and serene life, even when the whole world tries desperately to rouse it.

***

Film SDRHDT dibuka dengan aksi balapan dengan jenis motor yang dikenal karena batok bergetarnya. Adegan selanjutnya menyuguhkan penonton suatu penampilan nakal dan genit; adegan yang menggugah, tetapi juga menggelikan. Di sini, Ajo Kawir berusaha membangunkan Si Burung yang terlelap atau, mengikuti sinopsisnya, hibernasi. Meskipun tetap menjadi bagian penting dalam filmnya, peranan Si Burung sebagai kritik sosial dan simbol maskulinitas toksik tidak terlalu menonjol. Setelah menonton, saya berpendapat ada setidaknya tiga hal yang menyebabkannya.

Satu, konteks sosio-historis yang melatarbelakangi SDRHDT tidak ditampilkan dalam filmnya dengan baik. Walaupun beberapa elemen Orde Baru, seperti Petrus, disebutkan beberapa kali, kesan mencekam penuh teror dan kekerasan seringkali luput dari atmosfer filmnya. Tanpa ini, Si Burung yang adalah alegori bagi perdamaian justru tampaknya tidur pulas karena memang tidak ada yang genting di dunia sekitarnya. 

Dua, penempatan alur maju-mundur dalam filmnya kurang tepat. Alur nonlinear ini sebetulnya tidak asing dalam SDRHDT karena novelnya pun menerapkan alur nonlinear. Namun, berbeda dengan novelnya yang membangun ketegangan dan mempertahankan rasa penasaran, alur maju-mundur dalam filmnya justru menghasilkan pertentangan informasi lama-baru. Yang paling kentara adalah kilas balik ke masa kecil Ajo, ke peristiwa yang menyebabkan Ajo impoten. Saya rasa ini kurang mengena sebab sejak awal filmnya, impotensi Ajo Kawir ditampilkan sebagai a given fact, alih-alih misteri yang slowly unfolding.

Tiga, adanya keterbatasan dalam alih wahana yang berkenaan dengan banyak hal, salah satunya adalah norma yang berlaku. Dalam novelnya, impotensi Ajo berlawanan dengan ngaceng-nya tokoh laki-laki lainnya yang melambangkan kejantanan dan maskulinitas toksik. Kebanyakan tokoh yang bisa ngaceng pun adalah pelaku pelecehan dan kekerasan seksual, yang melukai dan menodai tokoh-tokoh perempuannya. Meskipun penting, hal ini banyak yang tidak muncul dalam filmnya. Ketika muncul pun bentuknya hanya dialog, misalnya adegan yang menceritakan masa lalu Iteung dengan Pak Toto. Untungnya, penggunaan dialog ini berhasil berkat bantuan audio dan visual dalam filmnya.

Perbedaan signifikan yang disebutkan di atas sayangnya mengurangi kedalaman dan kompleksitas kisah yang diangkat dalam novelnya. Namun, film SDRHDT tetap mengesankan dan memikat. Terlebih, tokoh utama juga kisah cinta mereka diperankan dengan sangat baik oleh aktor dan aktris yang kece.

Marthino Lio, misalnya, memerankan Ajo Kawir dengan baik. Ketika melihat Ajo di layar, saya berseru dalam hati: “Wah! Ini dia tokoh yang saya baca dalam novelnya!” Lio bahkan berhasil menampilkan keremajaan Ajo dengan menunjukkan ambivalensi dalam diri tokoh tersebut; pertarungan antara kekerasan dan kelembutan, antara maskulinitas (toksik) dan femininitas, antara akal dan perasaan. 

Kemudian, Ladya Cheryl memerankan Iteung dengan luar biasa. Cheryl berhasil menampilkan keseimbangan maskulinitas dan femininitas Iteung dengan sempurna. Melalui aktingnya, Iteung menjadi tokoh yang benar-benar hidup. Bukan hanya ekspresi wajahnya saja yang mengena, tetapi juga bahasa tubuhnya. Cheryl sebagai Iteung memegang kendali penuh ketika muncul dalam layar. Menyaksikan Iteung meninggalkan kesan yang istimewa. Bagi saya, Iteung justru menandingi Ajo Kawir.

Ketika muncul bersama, Lio sebagai Ajo dan Cheryl sebagai Iteung memikat penonton dengan chemistry mereka yang unik, canggung, dan manis. Ketika mereka bersama, rasanya Ajo dan Iteung adalah tokoh yang baru sama sekali dan sepenuhnya berbeda. Penonton diajak mengenal ulang mereka, menyelami kehidupan mereka yang penuh lika-liku, dan menikmati kisah cinta mereka yang tidak sederhana. 

Saya sudah menuliskan sebelumnya bahwa novel dan film SDRHDT adalah dua hal yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi dengan segala keterbatasan dan kekurangan mereka. Ada detail dalam filmnya yang melengkapi novelnya. Yang paling berbekas bagi saya adalah detail bagaimana Rona Merah dan Iteung “berinteraksi” dalam filmnya. “Interaksi” keduanya terasa begitu menyegarkan. Ketika menyaksikannya, saya teringat projek kumpulan cerita horor Kumpulan Budak Setan yang Eka Kurniawan garap bersama Intan Paramaditha dan Ugoran Prasad sebagai pembacaan ulang karya Abdullah Harahap. 

Tak hanya itu, filmnya pun menampilkan pembalasan dendam tak terduga dari tokoh perempuannya. Saya rasa, ini membuat semuanya tuntas. Dengan tambahan detail ini ditambah keseluruhan plotnya, filmnya lebih memenuhi ekspektasi yang dibangun melalui judulnya: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Ini tentunya memberikan kepuasan tersendiri.

Secara keseluruhan, film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah film yang menawarkan sesuatu yang berbeda bagi penikmat perfilman dalam negeri. Film ini menegangkan, menyenangkan, dan menggairahkan dengan porsi dan durasi yang pas. Meskipun diadaptasi dari novel, film SDRHDT tetap menyajikan sesuatu yang baru dan berbeda, sehingga pembaca yang memutuskan untuk menonton pun akan mendapatkan kejutan yang menyenangkan. Membaca dan menonton Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah dua pengalaman yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Selamat menyaksikan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas!

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran