Masa kecil sering kita bayangkan sebagai ruang yang hangat, penuh rasa aman, dan dihiasi tawa. Namun, ternyata tidak semua anak memilikinya. Dalam novel Di Tanah Lada karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, pembaca diajak memasuki dunia seorang anak kecil bernama Ava. Dunianya yang sunyi, penuh luka, dan terasa terlalu sempit untuk sebuah masa kanak-kanak. Dengan gaya bertutur yang khas dan perspektif naratif dari mata seorang anak, Ziggy mengajak kita sebagai pembaca untuk merenungi bentuk-bentuk kekerasan yang tak selalu berteriak, serta bagaimana anak-anak belajar bertahan di dalamnya.
Novel ini tidak hanya menggambarkan masa kecil yang sulit, tetapi juga mempertanyakan: apakah masa kecil benar-benar pernah ada jika yang tersisa hanyalah ketakutan dan kesendirian? Lewat tokoh Ava, Di Tanah Lada menjadi cermin getir bagi dunia orang dewasa yang kerap gagal melindungi hal paling sederhana yang dibutuhkan anak: rasa aman. Novel ini menyentuh beberapa tema, di antaranya:
1. Kekerasan Domestik yang Diam-Diam Mewariskan Luka
Satu di antara isu yang paling mencolok dalam Di Tanah Lada adalah kekerasan dalam rumah tangga. Ava hidup bersama ayah yang temperamental dan ibu yang pasif, perpaduan yang menciptakan rumah bukan sebagai tempat pulang, melainkan tempat menghindar. Ziggy menampilkannya dalam bentuk kekerasan fisik yang cukup vulgar. Kekerasan ini selalu hadir dalam cara orang tua memperlakukan anak secara emosional dan berlangsung cukup lama sehingga dampaknya membentuk seluruh dunia batin Ava. Novel ini berhasil menyuarakan trauma masa kecil yang menetap.
2. Masa Kecil yang Terenggut oleh Kebutuhan untuk Bertahan
Ava yang berada pada usia bermain dan belajar seharusnya mengenal dunia dengan aman. Namun dalam situasinya, ia justru dipaksa untuk memahami ketakutan, menjinakkan suasana, dan membaca emosi orang dewasa agar bisa bertahan. Hal ini tampak dari caranya menyibukkan diri dengan kata-kata dan obsesi kecil terhadap makna. Ia belajar terlalu cepat untuk menjadi dewasa, padahal dunia belum memberi kesempatan padanya untuk menjadi anak-anak. Novel ini menggambarkan bagaimana anak kehilangan haknya atas masa kecil akibat tekanan keluarga. Ziggy menyuarakan realitas yang jamak dialami anak-anak, tetapi jarang diangkat secara subtil dalam fiksi Indonesia kontemporer.
3. Persahabatan sebagai Ruang Pemulihan yang Rapuh
Dalam rumah susun tempat tinggal barunya, Ava bertemu dengan P, seorang anak laki-laki pendiam yang menjadi satu-satunya teman dan ruang aman baginya. Persahabatan ini dibangun dengan kekhasan anak-anak yang saling memahami tanpa perlu penjelasan panjang. Sayangnya, hubungan ini pun tidak kebal dari tekanan dunia luar. P sendiri menyimpan luka dan ketakutan yang tak kalah dalam. Persahabatan anak-anak bisa menjadi semacam bentuk resistensi terhadap kekerasan struktural, tetapi seperti yang ditunjukkan Ziggy, ikatan itu pun rapuh jika tidak didukung oleh lingkungan yang sehat. Hubungan Ava dan P bukan sekadar penghiburan, tapi juga pengingat betapa anak-anak membutuhkan dukungan yang lebih luas dari sekadar satu sama lain.
4. Imajinasi sebagai Perlawanan Sunyi
Ziggy memberi Ava kekuatan yang khas: imajinasi. Ia menciptakan dunia sendiri, bermain dengan bahasa dan metafora, bahkan bermimpi menjadi reinkarnasi hewan-hewan yang ada di pikirannya. Imajinasi ini bukan pelarian, melainkan upaya Ava untuk bertahan hidup dalam realitas yang terlalu keras. Di sinilah novel ini tampil unik, bahwa kreativitas bisa menjadi ruang aman ketika dunia nyata terlalu sunyi dan penuh ancaman. Imajinasi anak bukan sekadar permainan, tapi bentuk perlawanan terhadap realitas yang tak memberi ruang bagi suara mereka. Novel ini menunjukkan bahwa berimajinasi bisa menjadi cara untuk mengklaim agensi—bahkan dalam keterbatasan.
***
Di Tanah Lada bukan novel yang bercerita keras, tetapi melalui kesunyian dan kepelikan batin Ava, pembaca bisa menangkap jeritan yang tidak terdengar. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie menyusun narasi dengan kepekaan luar biasa: menyelami psikologi anak-anak tanpa menggurui, dan menghadirkan dunia kekerasan domestik tanpa sensasionalisme. Melalui Ava dan P, kita belajar bahwa masa kecil bisa menjadi tempat paling sepi jika cinta dan perlindungan absen di dalamnya.
Buku ini patut dibaca oleh siapa pun yang ingin memahami dunia anak dari sisi yang jarang disorot—juga oleh orang dewasa yang ingin merenungkan kembali bagaimana perlakuan, kata-kata, dan diamnya kita berdampak pada generasi setelah kita.
Jika kamu mencari novel yang tidak hanya menyentuh emosi tetapi juga membuka mata terhadap realitas yang seringkali luput dari perhatian, Di Tanah Lada adalah karya yang layak kamu baca. Buku ini turut berkisah tentang dunia orang dewasa yang kerap gagal menjadi tempat aman bagi anak-anak. Di sanalah kekuatan sesungguhnya dari novel ini tinggal.