Aku Radio Bagi Mamaku: Cerita (Anak) Tidak Melulu Tentang Pesan Moral

Redaksi Pena Budaya
6647 views

Judul: Aku Radio Bagi Mamaku

Penulis: Abinaya Ghina Jamela

Penerbit: Gorga

Tahun terbit: 2018

Tebal halaman: 92

Buku “Aku Radio Bagi Mamaku” ini merupakan kumpulan cerpen yang terdiri dari sepuluh judul cerita. Namun meski buku ini memiliki cerita yang berbeda, penulis konsisten menceritakan kehidupan satu tokoh saja di dalamnya, yaitu Alinka, siswa kelas satu SD. Dalam cerita ini juga ada tokoh mama, papa, kakak, kepala sekolah, teman-teman sekolah, serta hal-hal lain yang ditemui Alinka dalam kehidupan sehari-harinya di kota Sanopa.

Hal pertama yang membuat saya tertarik dengan buku ini adalah penulisnya yang masih anak-anak (Naya, 9 tahun). Sastra anak, barangkali selain merupakan tulisan orang dewasa dengan sudut pandang anak-anak—seperti yang sering kita temukan—juga merupakan tulisan anak-anak itu sendiri. Membaca “Aku Radio Bagi Mamaku”, membuat saya semakin percaya bahwa anak-anak juga bisa menyampaikan pandangan dan kritiknya terhadap apa saja yang dilihat dan dirasakannya, dan tentu saja dengan kepolosan yang masih murni.

Pada kumpulan cerpen ini Naya—melalui tokoh Alinka—menyampaikan protes-protesnya terhadap hal-hal yang tidak ia sukai—lebih banyak mengenai perlakuan orang dewasa di sekitarnya. Misalnya kritik terhadap penggunaan bahasa Inggris yang menurut Naya tidak perlu, seperti istilah “study tour” yang dia sebut dengan “pelajaran di luar kelas” dan  penyebutan “Miss” guru les bahasa Inggris Alinka, yang menurutnya tidak perlu menggunakan panggilan “Miss” tapi “ibu”, atau protes terhadap inkonsistensi orang dewasa terhadap ucapannya sendiri yang kerap tidak dimengerti Naya. Hal itu terlihat dalam judul cerpen “Pengalaman Membolos”, mama Alinka yang selalu mengatakan bahwa sekolah itu penting, tiba-tiba mengajak Alinka membolos sekolah dan pergi ke perpustakaan kota. Ada juga kritik terhadap ibu penjaga perpustakaan yang tidak membaca buku malah lebih banyak memegang gawai dan waktu mengunjungi perpustakaan sekolah yang sangat terbatas (hal ini pernah saya rasakan di zaman sekolah, hehe). Hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan sesama teman di sekolah misalnya menjahili teman dengan mengangkat rok temannya tinggi-tinggi, hukuman dari mama sebagai bentuk tanggung jawab atas apa yang telah dilakukan, dan masih banyak lagi. Naya tidak menceritakan hal yang jauh dari jangkauannya, semuanya benar-benar berisi hal-hal sederhana yang biasa ditemui anak-anak.

Alinka menggambarkan karakter anak yang begitu polos. Alih-alih dibuat sebagai tokoh yang selalu baik dan menjadi tauladan, Alinka justru memiliki kebebasan untuk menjadi anak kecil apa adanya. Alinka yang tidak senang dengan banyak aturan di sekolahnya, yang juga sering menjahili teman-temannya, yang akan marah ketika ada hal yang membuatnya kesal, yang kadang-kadang mendapat hukuman, dan Alinka yang suka berimajinasi seperti lazimnya seorang anak kecil.

Tidak ada pesan moral yang tersurat gamblang dalam buku ini layaknya ceramah. Dan memang mestinya setiap cerita (anak) tak ada tuntutan untuk menyajikan tokoh-tokohnya sebagai malaikat atau iblis. Anak-anak barangkali juga perlu mengenal hakikat benar dan salah yang pada kenyataannya tidak hitam putih. Tidak melulu disuapi dengan pesan moral menggurui yang menampilkan kebenaran-kesalahan yang mutlak, seperti yang biasanya ada di buku cerita anak di negeri ini—yang seolah sudah menjadi pakem.

Saya rasa buku ini juga cukup menyenangkan dibaca orang dewasa untuk melihat dunia dari perspektif anak kecil. Kita dapat lebih memahami anak-anak yang sering kali orang dewasa abaikan suaranya. Selama ini anak-anak dianggap tidak memiliki opini yang kuat untuk didengarkan, padahal bisa saja banyak hal penting yang mereka pikirkan tanpa kita duga.

Terakhir, hal yang membuat saya tertarik membaca tulisan-tulisan Naya adalah karena kecerdasan serta keluasan wawasannya. Dalam buku “Aku Radio Bagi Mamaku” saja saya menemukan banyak sekali referensi buku dan penulis yang saya yakin sudah dibaca oleh Naya, seperti Pramoedya Ananta Toer, Roald Dahl, James Joyce, Jorge Luis Borges, Mark Twain, John Steinbeck, dan masih banyak lagi. Seorang anak delapan tahun yang wawasan bacaannya melebihi bacaan saya. Sungguh saya salut dengan pengasuhan orang tuanya yang dapat membentuk Naya menjadi seperti itu.

Oleh Nigina Auliarachmah

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran