Rage Against the Machine: Seni Berpolitik Melalui Musik

Irfan R. F
1037 views
Rage Against the Machine

Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika mendengar kata “politik”? 

Apakah orang-orang berdasi pembuat kebijakan yang duduk di gedung pemerintahan? Aktor-aktor partai yang melakukan kampanye dalam pemilu? Sekelompok orang yang berusaha mendapatkan kuasa untuk memerintah? 

Pikiran kita mengenai politik sudah terkonstruksi secara tidak sadar untuk selalu mengaitkannya dengan kegiatan yang sifatnya parlementer. 

Tidak ada yang salah dari itu semua karena memang dalam praktiknya, politik selalu berkaitan dengan pemerintahan. Salah satunya dengan parlementer, sebab pada studi ilmu politik sendiri secara ontologis membahas suprastruktur politik yang di dalamnya ada kajian tentang parlementer.

Namun, yang akan dibahas di sini bukan model politik seperti itu, sebab kita akan bosan dan jenuh dalam membahas politik parlementer sebagaimana yang saya alami selama tiga satuan kredit semester (sks) dalam mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Politik. 

Untuk itu, tidak ada salahnya kita melihat politik dari perspektif yang lebih “menyenangkan”, misalnya melalui seni. Sama halnya seperti Anda yang mungkin bertanya “Lho emangnya bisa ya berpolitik pake seni? bukannya politik identik dengan adu argumen sampai debat kusir?” Saya pun sempat memiliki pertanyaan serupa ketika mengerjakan ujian akhir mata kuliah Ilmu Sosial. 

Sampai pada saat itu, ketika saya sedang iseng mengisi kekosongan waktu dengan menonton Youtube, muncul sebuah rekomendasi video grup musik beraliran rock asal California bernama Rage Against The Machine (RATM).

Grup musik ini memiliki prinsip seni musik sebagai muatan politik melalui kata-kata yang melawan di dalam liriknya. Benar benar rockstar! Grup musik  ini bukan hanya sukses membawakan pesan politik melalui cara yang fresh dan sesuai dengan jiwa anak muda, tetapi juga mereka sukses menjadi salah satu grup musik berpengaruh di genrenya.

Lagu-lagunya yang terkenal selalu erat dengan kritik dan keresahan Zack de la Rocha dan kawan-kawannya tentang isu-isu sosial. Berbagai kritik serta umpatan itu dikemas rapih oleh Zack menjadi sebuah lirik yang tajam sarat akan makna dan emosional bagi para pendengarnya. 

Tak berhenti sampai di sana, pidato Zack melalui kata-kata yang melawan tersebut dibuat lebih garang lagi oleh alunan gitar Tom Morello, cabikan bass Tim Commerford, dan dentuman kemarahan Brad Wilk lewat drumnya yang sukses melahirkan komposisi menawan untuk menjadikannya sebagai pesan politik. 

Berbicara soal Rage Against The Machine, kurang afdal rasanya bila kita tidak membahas salah satu masterpiece yang membawa nama grup musik tersebut menjadi besar dan melegenda. Ya, Killing in the Name!

Datang dengan judul yang berani, Killing in the Name sukses meledak di media 90-an. Lagu bertemakan kebusukan para aparat rasis dan penyalahgunaan kekuasaan itu selalu disajikan dengan apik oleh RATM.

Lagu ini tak lekang oleh zaman, banyak orang mengatakan salah satu penyebab lagu ini tetap eksis ialah pesan-pesan yang dibawakan dalam liriknya masih relevan sampai sekarang. 

Lagu yang berisi keresahan mengenai abuse of power dari aparat dituangkan melalui lirik “Some of those that work forces, are the same that burn crosses.” Dalam lirik tersebut, RATM ingin memberi pesan satire pada aparat kepolisian Amerika karena memiliki kesamaan dengan sekte Ku Klux Klan (KKK) dalam melakukan teror atau penyalahgunaan kekuasaan atas dasar rasial. 

Kritik pedas pada pembenaran pembunuhan berkedok “lencana” juga lantang dikumandangkan Zack de la Rocha lewat lirik “Those who died are justified, for wearing the badge, they’re the chosen whites” sebuah sindiran dari ironisnya pembenaran pembunuhan hanya karena mereka memakai lencana penegak hukum sehingga seolah melegitimasi tindakan tersebut. Selain itu, kebanyakan dari mereka adalah aparat yang rasis pada suatu kelompok. 

Rage Against the Machine seolah ingin menyadarkan orang-orang agar tidak tunduk pada perintah kelompok pelaku abuse of power agar tidak menjadi boneka dari ambisi para penguasa, melalui bait “And now you do what they told ya, (Now you’re under control) and now you do what they told ya” sebagai tamparan untuk orang-orang yang mudah disetir di bawah pengaruh kontrol ambisi kelompok kepentingan.

Bukan hanya kritik, RATM juga memasukkan sikap menolak keras di bawah kontrol aparat. Dalam outro lagunya, mereka dengan lantang berteriak “F*CK you, I won’t do what you tell me” sebanyak enam belas kali dan ditutup dengan kalimat “Motherf*cker” sebagai penegasan sikap untuk menolak tunduk patuh pada kelompok yang melakukan abuse of power

Sadar atau tidak, Rage Against the Machine telah menjadikan musik sebagai media berpolitiknya melalui cara persuasif dengan komposisi musik yang mengajak jamming dan lirik catchy di kepala para pendengarnya. 

Bila dihubungkan dengan konsep kekuasaan politik, RATM bisa dibilang menggunakan cara influence dan persuasif karena sasarannya rata-rata anak muda sehingga lebih mudah untuk “dirangkul” melalui cara yang asik, yaitu melalui musik yang tujuannya agar anak muda terpanggil untuk memperjuangkan isu yang dibawa RATM. Tentunya perlu waktu untuk mewujudkan tujuan RATM tersebut dan pastinya memerlukan proses step by step

Awalnya mungkin orang-orang hanya menikmati musiknya saja, tetapi seiring berjalannya waktu, akan muncul rasa penasaran dan mulai ada keinginan untuk mendalami makna liriknya hingga pada jangka panjangnya mungkin akan timbul pergerakan akibat pesan dari lagu RATM. 

Seperti apa yang saya alami akhir-akhir ini, muncul rasa ingin tahu untuk mendalami pesan apa yang ingin disampaikan oleh band RATM. Dari semua yang saya sudah tuliskan di atas, grup musik RATM menjadi sebuah bukti bahwa berpolitik dapat menggunakan media anti-mainstream sehingga tidak selalu berpaku monoton pada politik parlementer. 

RATM seolah ingin memberitahu kita dapat berpolitik sambil lompat-lompat, moshing, jamming, dan teriak-teriak. Tidak melulu harus baca buku Karl Marx, Andrew Heywood, dan lain-lain yang tebalnya seperti kusen pintu jati. 

Politik adalah bagian hidup. Sementara itu, hidup membutuhkan politik dalam perjalanannya. Jika hidup dapat dibuat asik oleh musik, mengapa politik tidak?

BACA JUGA Tulisan lain dalam rubrik Sudut Pandang atau tulisan Irfan R. F. lainnya.

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran