Berada pada suatu masa ketika semua pasang mata menjadi senjata dalam menaklukan rasa percaya diri perempuan, membuat setiap langkah yang dipijak oleh mereka terasa amat berat akan bayang-bayang kesempurnaan. Bayang-bayang ini seolah melahap diri perempuan, menyelimuti dan mengikuti, hingga mengikatnya dengan tali-tali jeratan yang kiranya takakan pernah putus. Tuntutan atau standar kecantikan yang digaungkan oleh masyarakat membuat perempuan ingin selalu tampil sempurna, tanpa noda, tanpa kerutan, tanpa celah sekali pun.
Dengan dalih merawat diri, perempuan dipaksa untuk mengikuti standar-standar yang diciptakan oleh publik. Padahal, mereka tidak lebih hanya dijadikan sebagai objek yang harus selalu tampil sempurna. Ketidaksempurnaan yang hadir pada wajah perempuan seperti jerawat, kerutan, atau pigmentasi tidak merata dianggap tidak layak untuk ditunjukan. Ketidaksempurnaan seakan menjadi aib dan dosa yang akan melekat seumur hidup. Pandangan ini merusak pola pikir perempuan terhadap jati diri mereka dan mengaburkan identitasnya sebagai jiwa yang bebas. Pemikiran untuk tampil sempurna menjerumuskan perempuan untuk selalu merombak, mengubah, dan menyesuaikan tubuh mereka sendiri sesuai dengan kriteria yang disukai banyak orang. Perawatan yang dilakukan oleh perempuan bukan lagi sebagai bentuk kecintaannya terhadap tubuh mereka, melainkan demi mengikuti pandangan dunia terhadap perempuan.
Tekanan dari publik melahirkan jiwa perempuan yang meyakini bahwa segala tuntutan dan standar kecantikan merupakan hal yang wajib dipatuhi. Melalui relung-relung kerapuhan ini, kapitalisme menekan lebih dalam beban tersebut dengan mengobjektifikasi dan memanfaatkan kelemahan perempuan sebagai ladang bisnis semata. Setiap inci tubuh perempuan dinilai sebagai objek yang terus-menerus perlu diperbaiki, bahkan hal-hal yang wajar sekali pun. Misalnya, perubahan alami seperti penuaan atau kerutan dianggap sebagai bentuk ketidaksempurnaan.
Banyak perempuan yang enggan melihat kerutan atau garis-garis halus timbul di wajahnya karena takut dianggap tua dan tidak cantik lagi. Permasalahan ini membuat perempuan mencari berbagai cara untuk mengatasi hal tersebut agar tetap sesuai dengan standar kecantikan. Ironisnya, hasutan kapitalisme seakan menjawab kebutuhan palsu perempuan yang sebenarnya dibangun oleh tuntutan yang ada. Hadirnya produk minuman kolagen dianggap sebagai jawaban atas keresahan yang dialami oleh mereka. Bukan hanya memberikan manfaat kesehatan, kolagen juga berguna untuk menjaga kelembapan dan keelastisan kulit sehingga terhindar dari kerutan, kekeringan, ataupun garis-garis halus pada kulit.
Pada dasarnya, kolagen adalah protein alami yang ada di dalam tubuh. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, kandungan kolagen di dalam tubuh akan berkurang secara perlahan-lahan. Minuman kolagen dapat menjadi solusi untuk mengatasi hilangnya fungsi kolagen alami dalam tubuh. Sayangnya, pertumbuhan pasar minuman kolagen ini lebih condong ke arah kecantikan semata. Seakan terpanggil ketika mendengar keresahan perempuan, perusahaan kecantikan berlomba-lomba memproduksi minuman kolagen yang diklaim dapat mengatasi berbagai permasalahan kulit tersebut. Di antara merek-merek minuman kolagen yang kini marak tersebar di Indonesia, tidak sedikit yang gencar mempromosikan produknya sebagai suplemen kecantikan dan memanfaatkan rendahnya rasa percaya diri perempuan sebagai trik pemasaran belaka. Para pelaku industri kecantikan ini memanfaatkan kelemahan dan keresahan perempuan untuk kepentingan bisnisnya. Hal ini dibuktikan dengan tingginya minat pada produk minuman kolagen dari kalangan perempuan di berbagai negara. Menurut data dari lembaga riset pasar, KBV Research, pembelian minuman kolagen didominasi oleh perempuan. Data ini menunjukkan bahwa perempuan menjadi salah satu target utama dalam pemasaran produk kolagen ini.

Produk kolagen yang mulanya berfungsi sebagai produk kesehatan, kini beralih haluan menjadi produk kecantikan. Alih-alih bertransformasi sebagai produk kesehatan, pelaku industri lebih memilih untuk menjadikannya sebagai ladang kapitalisme. Mereka menggembar-gemborkan bahwa minuman kolagen merupakan inovasi untuk mengatasi hilangnya kolagen di dalam tubuh dan menggantikan fungsi-fungsinya dalam merawat kulit. Akhirnya, para konsumen, khususnya perempuan, akan bergantung pada produk yang dibuat oleh mereka. Padahal faktanya, kolagen tidak hanya bisa didapat dalam produk minuman kolagen, tetapi dapat pula melalui makanan yang biasa kita konsumsi sehari-hari seperti kaldu tulang, daging ayam, daging ikan, atau berbagai sayuran hijau. Dalam hal sekecil ini pun, perempuan dijadikan target agar termakan trik pemasaran dari produk kapitalisme yang mengatasnamakan kepedulian terhadap keresahan yang dirasakan oleh mereka.
Kebebasan untuk memiliki pilihan rasanya sulit bagi perempuan. Dipaksa untuk terus mengikuti standar yang ada agar dunia tidak memandangnya berbeda membuat mereka tidak lagi mengenal jiwanya sendiri. Akankah perempuan terus hidup dalam belenggu para pelaku industri kecantikan?
Referensi:
KBV Research. (2022). Global Collagen Drinks Market By End User (Male and Female), By Distribution Channel (Supermarkets/Hypermarkets, Pharmacies, Online Sales Channel and Other Distribution Channels), By Packaging Type (Glass Bottle and Plastic Bottle), By Regional Outlook, Diakses pada 24 April 2025, dari https://www.kbvresearch.com/collagen-drinks-market/
Nurmayani, S. P. (2023, September 18). 12 Pilihan Makanan yang Mengandung Kolagen untuk Kesehatan Kulit. Diakses pada 25 April 2025, dari https://www.klikdokter.com/info-sehat/kulit/daftar-makanan-yang-mengandung-kolagen-untuk-kesehatan-kulit? srsltid=AfmBOorH87qvpESsjae4ZIfiotviy1moXqH98OSCYKJY4VnvZ80jRYY9
Wu, M., Cronin, K., & Crane, J. S. (2023). Biochemistry, Collagen Synthesis. Diakses pada 25 April 2025, dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507709/