Pengganti Ibu di Hari Ayah

Belen Amanda Sitanggang
962 views
','

' ); } ?>

“Hei, jangan lupa bekalmu!” seru ayah dari ambang pintu. Hera memutar kedua bola matanya lalu melangkahkan kaki malas menuju meja makan di dapur. Ia menatap geram sebentar melihat kotak bekal yang disiapkan ayahnya. Kotak bekal baru berwarna kuning.

    Sesampainya di sekolah, perempuan 17 tahun ini keluar dari mobil ayahnya dan berlari memasuki gerbang sekolah. “Hera!” teriak ayah dari dalam. Hera berbalik dan membungkukkan badannya sedikit, melihat ayahnya dari kaca mobil yang terbuka.

    “Ayah tidak bisa menjemputmu hari ini,” ucap ayah dengan nada bersalah. 

    “Ayah akan bertemu dengan-” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Hera melangkahkan kakinya ke kelas. Ayah menghela napas berat. Ia mengetuk-ngetukkan jemarinya di setir mobil sebelum akhirnya menginjak gas menuju kantor tempatnya bekerja.

    Sekarang pukul 9 malam dan hari ini hari ulang tahun ayah Hera sekaligus perayaan hari Ayah. Sekolah pulang cepat agar semua anak merayakan Hari Ayah bersama ayah mereka dan kemeriahannya masing-masing. Hera, hanya diam di kamar. Ia masih memegang ragu amplop yang ada di tangannya. Surat yang ia tulis jauh sebelum hari ini datang. Ia duduk di atas kasur, menatap amplop itu sekali lagi, kemudian menangis.

    “Aku adalah anak yang melarang ayahnya sendiri bahagia!”

Hera menyeka air matanya kasar, lalu beranjak berdiri dan melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Dari balik dinding pembatas ruangan, ia mengintip ayah yang sedang bekerja dengan TV yang menyala. Ia memegang erat-erat amplop itu sekali lagi sembari menimang-nimang, “Apa reaksi ayah nanti? Apa aku sudah benar-benar siap soal hari-hari setelah ini?” Hera pun melangkah mundur dan tak diduga, Lupi, kucing peliharaan Hera lewat dan Hera tak sengaja menginjak kakinya.

    “Hera?” ucap ayah ragu, melihat ke sumber suara. “Ada apa itu?”

    Hera memunculkan dirinya dari balik kegelapan. Ruangan sedikit gelap. Hanya beberapa lampu yang masih hidup untuk menemani ayah bekerja. Hera melangkahkan kakinya berat menuju tempat ayah duduk. “Kamu belum tidur?” tanya ayahnya sekali lagi sembari memberikan ruang untuk Hera duduk di sebelahnya. Hera menatap ayahnya sebentar. Ayah mengecilkan suara TV yang menyala, kemudian pandangannya terfokus pada amplop yang dipegang Hera.

    “Kamu baik-baik aja, Nak?” ayah menatapnya bingung. Hera perlahan duduk dengan tatapan kosong di sebelah ayahnya. “Yah..” ucap Hera lesu. Ayah merapikan posisi duduknya dan memerhatikan anaknya itu dengan seksama. Hera menunduk kemudian melanjutkan kata-katanya, “Aku, bukanlah anak yang baik. Aku bahkan belum mengucapkan selamat ulang tahun untuk ayah atau memberikan hadiah kepada ayah di hari ayah ini. Aku-” Ayah menatapnya cemas, “Tidak, Her. Kamu anak ayah yang baik,”

    Hera mengangkat pandangannya dan memberikan amplop yang dipegangnya, “Aku tidak bisa mengatakan semuanya, maka aku tulis saja di sini. Aku juga tidak bisa memberikan hadiah apapun, tapi semoga ini bisa menyenangkan Ayah,”

    Ayah menerimanya dengan bingung. Ia menelan ludah. Perlahan ia membukanya dan membaca tulisan di sana:

Ayah, aku tahu ayah merindukan Ibu. Aku minta maaf karena Ayah hanya bisa bersama Ibu selama 3 bulan setelah kelahiranku. Sama, Yah, aku juga rindu Ibu. Aku selalu berharap bisa tumbuh dan besar bersama seorang Ibu di sampingku. Namun, aku tahu, ayah jauh lebih kesepian. Harus merawat, mendidik, dan membesarkanku sendirian. 

Seperti yang Ayah juga tahu, aku melihat bagaimana perjuangan Ayah menjadi ibu untukku. Aku tahu bagaimana inginnya ayah mendapat sosok pengganti ibu lagi dan begitu lama nan berat untuk aku menerima itu. Menerima kenyataan bahwa ayah telah menemukan pengganti Ibu. 

Ayah begitu menghormati perasaanku dan mencoba mengutamakan kebahagiaanku, tetapi aku justru melakukan sebaliknya. Ayah harus sembunyi-sembunyi begitu lama menjalin hubungan baru. Meskipun aku sudah mengetahuinya dan ayah mencoba membuatku mengerti, aku justru semakin menjauhi ayah.

Sampai aku mengerti, bahwa pilihan dan kebahagiaan ayah memanglah berbeda. Ayah berhak akan itu. Selamat ulang tahun dan selamat hari Ayah. Apapun pilihan yang membuat Ayah bahagia, Ayah akan tetap menjadi Ayah terbaik buatku. Tertanda, Hera.

Ayah tertegun dan matanya berkaca-kaca. Bibirnya terbuka seolah ingin mengucapkan banyak hal, tetapi Hera mendahuluinya dengan suara bergetar. “Jujur, semua ini berat dan aku tidak tahu bagaimana ke depannya, tetapi aku yakin Ayah akan bersamaku untuk melewatinya,” Hera memegang tangan ayahnya, “Maafkan aku membuat Ayah menunggu terlalu lama,”

Suara pintu diketuk terdengar. Mereka saling menatap. “Aku mengundangya malam ini. Untuk merayakan ulang tahun ayah bersama,” ucap Hera sembari tersenyum kaku. Ayah mengelus punggung tangan Hera perlahan. “Kamu tidak perlu membukanya kalau-” Ayah belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Hera tersenyum dan beranjak berdiri, “Aku sudah siap, Yah,” Hera melangkahkan kakinya perlahan menuju pintu. Hera memegang gagang pintu, mengambil napas panjang sambil memejamkan mata. Setelah menghembuskannya perlahan, Hera membuka pintu dan melihat seorang laki-laki yang ia nantikan, dengan kemeja yang dimasukkan rapi ke dalam celana sambil memegang sebuah kotak kuning di tangannya, berdiri diiringi senyum kaku. Ayah kemudian datang dari belakang Hera. Hera menatap manik ayahnya sembari tersenyum dan mengangguk. Ayahnya tersenyum lebar dan mengulurkan tangan sambil berkata, “Mari masuk,”

9 November 2022

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran