PAGI ITU, SEJUK

Redaksi Pena Budaya
1062 views

Ilustrasi: Ayu Fitriani

Hari ini cerah, aku kira akan ada badai nanti sore, tapi sepertinya hanya dugaanku saja.

 

Namaku Man saat ini, namun saat kecil namaku Son, nama kecil yang keren, bukan? Mungkin saat tua nanti namaku menjadi Old Man, entahlah.

 

Sekarang hari Jumat, seperti biasa, bagi kami kaum pria akan melakukan ritual siang yang penuh dengan berkah namun kadang menciptakan rasa kantuk yang hebat sebelum menuju akhir ritual itu. Hari yang santai.

 

Kulihat langit sedang cerah, awannya tipis-tipis lembut, hawanya sejuk, mengingatkanku saat masih bernama Son, di sebuah kampung kecil yang penuh dengan pohon dan udara yang sejuk.

 

Namaku Son.

 

“Son, kamu akan menjadi orang hebat saat besar nanti, menjadi orang yang dapat berguna bagi sekitar, dan memiliki nama yang keren,” kalimat dari seorang pria berjanggut yang hanya janggutnya saja yang menarik.

 

“Ahhhh, apa dia Sinterklas? Apa dia Santa Claus? Apakah kedua hal itu berbeda?” Pertanyaanku tidak pernah terjawabkan.

 

Saat itu dia memberiku sebuah benda, pohon dengan pot berwarna putih yang lubang airnya ada 12 buah dengan diameter lubang 3 cm. Dia menceritakan sedikit mengenai pohon itu, katanya, “Pohon ini bukan pohon biasa, pohon ini nanti akan berbuah pada waktunya, jadi jaga baik-baik,” dia sangat serius mengucapkannya.

 

“Oke, makasih, Kek,” jawabku tegas sembari mengambil pohon itu, tidak mau tertinggal bermain petak umpet. Aku menaruh pot itu di dekat rumah dan berlari menuju teman-teman lainnya untuk bermain permainan ter-mysterious saat itu.

 

Padahal itu adalah hadiah terindah yang pernah aku dapat sampai saat ini, apa kau tahu?

 

Saat itu jam 8 pagi, sedang liburan sekolah, aku bertemu dengan pria berjanggut itu, di kampung halaman ibunya ibuku, hari Jumat, cerah dan sejuk. Hari yang singkat dengan momen yang tidak pernah terlupakan. Hari yang singkat dengan misteri yang belum terpecahkan sampai saat ini.

 

Namaku Man.

 

Bangun pagi, cuci muka pagi, olahraga pagi, udara pagi, matahari pagi, pohon pagi, dan bertemu wanita pagi yang menyejukan. Ahhhh, lengkaplah pagi hariku. Sayang itu masih jadi wacana angan-angan semata. Pohon kecil yang dulu hidup di pot aku tanam di dekat rumah, tidak terlalu jauh jaraknya, sekitar satu kilo, satu kilo sentimeter.

 

Aku berolahraga sekitar 4928 detik di jalan komplek dekat rumah, banyak pohon di sana, jadi jangan aneh kalau selalu ada orang yang berkeliling menggunakan setelan setengah sporty yang modalnya hanya merk sepatu saja. Karena hari ini hari Jumat, tidak terlalu banyak yang berkeliling, hanya aku, aku, aku, dan aku saja yang berkeliling sebanyak empat kali di sana, terus-terusan bertemu bapa penjaga warung di ujung belokan komplek.

 

Yahhhh, selalu seperti ini, si penggangguran yang sedang libur kuliah. Tidak punya kegiatan pasti yang bisa dilakukan. Apa maksud si pria berjanggut soal berguna bagi sekitar? aku tidak pernah merasa berguna di lingkungan sini.

 

Aku menutup olahraga pagi dengan selonjoran di bawah pohon, pohon pemberian pria berjanggut itu. Aku meliat ponsel dan waktu masih menunjukan pukul 8.43, masih lama menuju tengah hari, aku pikir bisa merebah dulu untuk beberapa menit, menikmati udara, matahari, dan pohon ini.

 

Tanpa kusadari ada yang datang menghampiri, aku kira setan penjaga pohon, ternyata seorang wanita seumuran dengan pakaian olahraga berbalut rapi dengan hijab standar namun menyejukan yang ia pakai untuk berolahraga pagi.

 

“Woahhhh, apa dunia sekarang menjadi lebih berwarna? Ada wanita di dekatku,” ucapku dalam hati karena kaget melihat objek kasat mata yang mendadak muncul seperti gunting kuku yang sedang tidak dicari.

 

Dia duduk di sampingku, ikut berdiam menikmati cuaca yang adem ayem meskipun sinar matahari mulai mengalami aktifitas peningkatan suhu. Tidak ada obrolan selama 281 detik. Kedua manusia ini saling diam, fokus pada ponselnya masing-masing. Lalu tanpa aku sadari, aku mulai menyapanya dengan bertanya, “Hei, kamu tau tentang pohon kehidupan?”

 

Dia memalingkan wajahnya, melihatku. Mengumpulkan soul-nya yang sedang terbang ke berbagai tempat indah yang ada di otaknya karena dampak foto-foto hits di Instagram.

 

“Yaaa, maaf. Ada apa?” Jawabnya simpel di wajahnya yang cukup lucu itu.

 

“Mengapa harus itu balasan dia?” Aku ngedumel di dalam hati karena agak sebal, penetrasiku ternyata kurang tepat. Saat itu otakku menjadi 139 persen lebih cepat, aku punya dua pilihan: satu aku bilang, “Nggak, nggak jadi, hehe,” dan dua aku bilang, “Tahu tentang pohon kehidupan?” Mungkin satu lagi pilihan tergila: “Boleh kenalan?” Dalam beberapa milidetik kedua pilihan itu mencuat, bersama satu pilihan tergila, meminta ingin dipilih.

 

“Boleh kenalan?” Ahhhhh, kenapa harus ucapan itu yang keluar? Apa aku sebegitu harus dikasihani, sampai-sampai meminta berkenalan tanpa adanya hujan dan badai, aku mulai menggila sendiri. “Ehhh maksudku, apa kamu tahu tentang pohon kehidupan?” Aku sepenuhnya merevisi ucapanku sebelumnya, sebelum semuanya hancur menjadi butiran batu bata.

 

“Ehhh? Aku kurang tahu mengenai itu, cuman aku pernah dengar soal pohon itu di televisi,” ucapnya sedikit kaget.

 

“Ohhh gitu, aku kira tahu. Maaf menanyakan hal yang aneh.” AKU STUCK. Aku bingung harus bertanya apa lagi, padahal itu topik terpamungkas milikku.

 

“Iya, gak apa-apa. Namaku Cherly, panggil saja Lili. Kamu mengajak berkenalan kan tadi?” Jawaban tidak terduga selama 23 detik hidupku mengobrol dengannya.

 

“Na-namaku Hilman, panggil saja Man, hehe.” Mulai salting bos, ucapanku hampir berlepotan. Anggap saja aku seorang anak rumahan yang jarang sekali berinteraksi dengan orang lain, apalagi wanita seumuran.

 

“Hmm oke, jadi seperti apa pohon kehidupan itu?” Senyumnya mulai terhiasi semakin indah oleh cahaya matahari.

 

“Jadi pohon kehidupan itu adalah sebblaaa….. blaaa….. blaaa….. blaaa…..” 459 detik kemudian, aku tersadar akan terlalu banyak bicara, apa aku bercita-cita menjadi seorang guru? Lancar sekali penjelasanku. Namun dia memperhatikan penjelasanku dengan khusyuk.

 

“Ohhh,” tanggapan dia setelah mendengar ceramahku pagi hari ini. “Apa sudah selesai obrolan kita? Ternyata hanya sampai di sini,” akalku selalu saja mengarang sesuatu yang negatif, pesimis sekali aku ini.

 

“Apa kau suka pohon? Aku suka pohon, aku kuliah di jurusan perhutanan. Apa kamu tahu? Pohon itu tulus, meski mereka selalu tersiksa dan disalahmaksudkan, terbuang dan terbunuh dengan tidak pantas, mereka tetap berbuat baik kepada manusia. Menjadi makhluk hidup yang membantu makhluk lainnya, tanpa melihat apa yang telah diperbuat oleh makhluk yang ditolongnya. Aku suka penjelasanmu mengenai pohon, aku baru tahu mengenai itu,” kalimatnya panjang melanjutkan kalimat singkat sebelumnya.

 

“Yaa, aku suka.” Sebenarnya itu untuk kedua hal: suka pada pandangan pertama dan suka pada pohon.

 

“Seperti tempat ini, banyak pohon,” lanjutku menambahkan ucapanku sebelumnya.

 

“Aku pun, aku suka tempat ini, aku baru pindah rumah ke sini beberapa hari lalu, dan tempat ini, tempat yang paling aku sukai, di sini nyaman. Apalagi saat-saat seperti ini, udara pagi, matahari pagi, dan pohon pagi,” ucapnya ringan.

 

“Owww, kamu tahu nggak? Ini pohon punyaku, hehe,” kumulai memberanikan diri untuk mengajaknya bercanda.

“Ahhh masa? Gak mungkin, hihi.”

 

***

 

Tanpa disadari kita saling bercakap selama 143 menit, dan sepertinya aku harus pulang.

 

“Kenapa obrolan kita harus selesai?” Hatiku mulai dibisiki setan. Apalah daya, hari ini hari Jumat, hari yang cerah, hari yang sejuk, hari yang indah. Aku jadi ingat ucapan pria berjanggut itu, “Pohon ini nanti akan berbuah pada waktunya, jadi jaga baik-baik,” dan sepertinya aku mulai mengerti maksudnya.

 

Mungkin itu buah cinta? Ahhh yang benar saja. Tapi aku senang masih menjaga pohon ini, aku dapat berkenalan dengannya, seorang wanita sejuk yang memunculkan buah di pohon itu, buah rasa, buah rasa pada pandangan pertama.

 

Duhuhu, 2017.

 

*) Achmad Hilman, Fakultas Ilmu Budaya 2015.

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran