Ngeri-Ngeri Sedap: Representasi Suku Batak Masa Kini

Wasti Marentha S
2720 views
','

' ); } ?>

Suku Batak dikenal sebagai suku dengan orang-orang yang keras. Bukan hanya wataknya yang keras tapi juga mentalnya kuat. Didikan keras yang diturunkan dari generasi ke generasi menjadikannya sebagai identitas suku Batak. Suku lain dapat mengenali orang Batak hanya melalui wataknya. lalu bagaimana untuk mengenal Suku Batak dengan ciri khasnya yang lain?

Dewasa ini, film nasional cukup mendapat banyak perhatian masyarakat. Bioskop-bioskop di tanah air mulai kembali ramai dengan film-film yang menarik. Banyak film yang memunculkan nuansa baru, juga memiliki cerita yang bagus. Salah satu film nasional dengan kualitas yang tidak perlu diragukan adalah film Ngeri-ngeri Sedap. Film tersebut mengangkat salah satu suku di Pulau Sumatera, tepatnya di pesisir Danau Toba, yaitu suku Batak Toba.

Ngeri-ngeri Sedap merupakan film yang ditulis sekaligus disutradarai oleh Bene Dion Rajagukguk. Film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama tersebut sangat menarik, bahkan hingga mendapatkan banyak penghargaan dan nominasi, seperti dari FFI, IMAA, dan festival lainnya. Selain itu, Ngeri-ngeri Sedap juga menjadi perwakilan Indonesia di Piala Oscar 2023.

Ngeri-ngeri Sedap bercerita tentang satu keluarga Batak yang tinggal di tepi Danau Toba. Dikemas dalam bentuk drama komedi, film ini mengangkat kisah pasangan suami istri, Pak Domu (Arswendy Beningswara Nasution) dan Mak Domu (Tika Panggabean), serta empat anaknya. Satu-satunya anak perempuan bernama Sarma (Gita Bhebhita) tinggal di Toba bersama orang tuanya, sedangkan tiga anak laki-laki lainnya merantau ke tanah Jawa. Mereka adalah Domu (Boris Bokir), Gabe (Lolox), dan Sahat (Indra Jegel).

Di tengah rasa rindu kepada tiga anaknya, mereka harus segera menggelar pesta adat Sulang-sulang Pahoppu untuk Opung Domu. Hal itu dijadikan alasan oleh Pak Domu dan Mak Domu untuk meminta tiga anak laki-laki mereka pulang. Namun, mereka sadar bahwa untuk meminta pulang tiga anak laki-laki mereka tidak semudah itu. Karena hal tersebut, Pak Domu dan Mak Domu menjalankan ide untuk pura-pura bercerai, yang pada akhirnya berhasil membuat tiga anaknya pulang. Singkat cerita, selama di kampung semua hal menjadi semakin rumit karena ide tersebut.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan utama Pak Domu dan Mak Domu membujuk ketiga anak laki-lakinya untuk pulang adalah untuk menghadiri pesta adat Opung mereka, yaitu Sulang-Sulang Pahoppu. Lalu apa yang dimaksud dengan Sulang-Sulang Pahoppu? Pesta adat yang disebut Sulang-sulang Pahoppu adalah pengukuhan pesta pernikahan secara adat. Pengukuhan dalam artian melunasi semua utang adat. Upacara ini berbeda dengan upacara pernikahan, karena dilaksanakan setelah memiliki keturunan.

Orang tua yang keras sekaligus egois

Suku Batak bisa disebut sebagai suku yang keras dan juga berambisi. Orang tua Batak biasanya mendidik anak-anaknya dengan aturan yang ketat sejak kecil, terutama hal yang menyangkut pendidikan. Orang Batak tidak ragu untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin, karena pendidikan adalah yang nomor satu bagi orang Batak. Itulah mengapa banyak orang Batak yang jauh-jauh merantau untuk sekolah atau bekerja. Selain dukungan orang tua agar anaknya sukses, bekal mental dan fisik yang kuat juga telah diberikan sedari kecil dengan didikan orang tua yang keras.

Domu, sebagai anak pertama laki-laki, tinggal di Bandung dan bekerja sebagai pegawai BUMN. Sebagai penerus marga, Domu ternyata hendak menikahi seorang mojang Sunda. Hal tersebut memicu kemarahan sang ayah, seorang yang teguh memegang adat Batak Toba. Pak Domu dengan tegas melarang, lalu memerintahkan Domu untuk mencari boru (perempuan) Batak. Padahal menikah dengan suku apapun tidak akan mengganggu garis keturunan marga yang Domu bawa karena ia laki-laki sebagai pewaris.

Selanjutnya kasus Gabe, anak ketiga Pak Domu dan Mak Domu yang telah menjadi pelawak terkenal di Jakarta. Keputusannya menjadi seorang pelawak ditentang keras oleh Pak Domu. Bagi Pak Domu, pelawak adalah profesi yang tidak jelas dan tidak sesuai adat. Gabe seorang sarjana Hukum, yang disekolahkan Pak Domu dengan harapan akan menjadi seorang hakim atau jaksa kelak. Namun, ternyata Gabe nyaman dengan profesinya sebagai pelawak.

Terakhir Sahat, anak bungsu keluarga Domu. Dalam adat Batak Toba, anak laki-laki terakhir merupakan pewaris rumah orang tuanya dan harus merawat orang tuanya. Sebagai anak terakhir laki-laki, Sahat sudah seharusnya mematuhi adat tersebut. Namun, Sahat justru memilih menjadi wiraswasta di Yogyakarta dan tinggal bersama Pak Pomo, seorang petani yang menampung Sahat sejak menjalani KKN.

Menurut Pak Domu, tiga anak laki-lakinya telah menjadi pembangkang. Namun, menjadi orang tua yang keras ternyata menutup mata Pak Domu terhadap kesalahannya dalam menghadapi anak-anaknya. Ia menerapkan cara lama yang menurutnya akan berhasil melahirkan anak-anak dengan pribadi yang selalu tunduk terhadap perintahnya. Namun, ia lupa bahwa zaman semakin maju dan anak-anaknya semakin dewasa untuk mengambil setiap keputusan dalam kehidupan masing-masing.

Patriarki yang masih melekat

Pak Domu diceritakan sebagai seorang ayah yang keras dan egois terhadap kehidupan anak-anaknya. Ia selalu merasa dirinya sudah menjalankan peran yang benar sebagai seorang bapak Batak. Dengan karakter yang dimainkan, Pak Domu cukup merepresentasikan bapak-bapak Batak kebanyakan. Watak yang keras, kolot, dan egois merupakan ciri khas bapak Batak yang mungkin hampir banyak ditemui, terutama di kampung. Kebiasaannya pergi ke lapo (warung) untuk nongkrong dan minum tuak juga menjadi ikon bapak-bapak Batak.

Dengan watak Pak Domu yang demikian, butuh diimbangi dengan peran seorang istri seperti Mak Domu. Istri yang penurut dan tunduk kepada suami, serta menjalankan peran ibu rumah tangga. Menjemput suami ke lapo, seperti yang dilakukan Mak Domu juga merupakan hal yang biasa terjadi di lingkungan Batak.

Peran suami istri yang digambarkan melalui film ini sangat menggambarkan patriarki yang masih terjadi dalam suku Batak Toba. Perempuan yang harus selalu tunduk pada laki-laki dalam setiap keputusan dan tindakan laki-laki yang egois juga tidak mau disalahkan, merupakan bukti patriarki. Di masa kini sebenarnya sudah banyak perempuan Batak yang mulai berani mengambil keputusan atas laki-laki, tetapi film ini berusaha menunjukkan bahwa masih banyak pula keluarga yang menganut sistem patriarki.

Kedudukan Sarma sebagai satu-satunya anak perempuan di keluarga tersebut juga menjadi bukti bahwa ia masih mencontoh ibunya yang penurut dan tidak berusaha melihat kemajuan zaman. Sarma banyak mengalah dan mengambil peran yang seharusnya dijalankan saudara-saudaranya seperti merawat orang tuanya di rumah padahal seharusnya ini merupakan tugas Sahat. Selain itu, Ia memutuskan hubungan dengan kekasihnya yang orang Jawa, karena prinsip bapaknya yang menganggap bahwa menikah dengan suku lain selain Batak seperti abangnya adalah hal yang memalukan. Sarma juga melupakan cita-citanya karena mengikuti kemauan bapaknya untuk mencari pekerjaan yang jelas, jangan seperti Gabe.

Menjadi anak perempuan di suku Batak memang cukup berat. Kebanyakan orang tua akan mendahulukan anak laki-laki dalam segala urusan. Anak perempuan Batak cukup tunduk dan menunggu gilirannya dibawa oleh suaminya kelak, lepas dari tanggung jawab keluarga.

Sepanjang film kita diajak untuk mengenal suku Batak dari segala sisinya, mulai dari adat, bahasa, makanan, tempat, dan segala hal kecil yang berbau Batak Toba. Bahasa yang menggunakan bahasa Batak Toba, Makanan seperti Mi Gomak sebagai makanan khas Batak Toba, dan yang tidak kalah menarik Danau Toba sebagai ikon orang Batak. Kita dapat melihat indahnya pemandangan Danau Toba melalui film garapan Bene Dion ini.

Dengan menonton film ini, pengetahuan kita terkait bagaimana kehidupan sosial suku Batak Toba juga meningkat. Salah satunya yaitu prinsip bahwa dalam suku Batak perceraian adalah hal yang sangat dilarang. Jika ada istri yang kembali ke rumah orang tuanya, suami haruslah menjemput dengan menggunakan adat dan membawa serta keluarganya. Selain itu, tidak memiliki anak laki-laki merupakan suatu cacat sosial suku Batak. Suku Batak sangat mendambakan memiliki anak laki-laki sebagai penerus keturunan. Adanya sistem pewaris marga, membuat pentingnya memiliki keturunan dan berkeluarga dalam suku batak. Dalam film ini Domu menjadi harapan besar keluarga karena merupakan anak pertama dan laki-laki.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran