Menunggu Hujan

Redaksi Pena Budaya
723 views

Bus berhenti. Rintik hujan membuat seorang lelaki menaiki bus itu dengan sedikit

berlari. Ia tidak membawa tas atau semacamnya. Ia hanya membawa sebuah buku.

Buku yang terlihat kumal dan kini tampak basah di satu sisi, akibat melindungi

kepala lelaki itu sedari tadi.

Sore ini akhirnya ia bisa sendirian saja, setelah berhari-hari urusan tak berhenti

bertamu. Ia berjalan ke bagian belakang bus, mencari sepasang kursi yang kosong.

Bukan ingin sendiri, ia hanya sedang tak ingin berdialog dengan orang lain. Ia

ingin berdialog dengan dirinya sendiri.

Lelaki itu sampai di deretan kursi kedua dari belakang. Kemudian duduk dan

menghadap ke jendela. Jendela itu berlapis air hujan yang mengalir dan seolah tak

berhenti jatuh. Membuat pemandangan di baliknya mengabur. Jendela dan air

hujan itu menjadi filter bagi mata siapa pun di dalam bus saat itu.

Bus belum berjalan. Lelaki itu melihat pemandangan di balik jendela.

Seorang bapak setengah baya berlari kecil menenteng dagangannnya ke sebuah

kios di pinggir jalan sambil tertawa. Mungkin ia tertawa karena hujan sedang

mengajaknya bercanda. Di kios itu sudah duduk seorang ibu membawa sekantong

besar belanjaan yang menyapa kedatangan si bapak dengan senyum sekilas.

Kemudian kembali memandang bosan ujung atap yang membuat air hujan jatuh

teratur, seperti ada yang menuangkannya dari poci. Mungkin ia bosan karena

hujan telah membuatnya menunggu.

“Kau sudah melihat bulan?” 

“Sudah.”

Percakapan dengannya tiba-tiba muncul. Salah satu percakapan telepon yang

dapat ia ingat tanpa perlu berusaha. Percakapan yang biasa datang, saat rindu

menyapa. Percakapan itu membawanya pada sebuah jendela yang lain. Jendela

rumahnya. Saat itu bukan sore dan hujan yang menghadapinya, melainkan malam

dan purnama.

“Kau menghubungiku hanya untuk menanyakan itu?” 

“Ya.”

Dalam percakapan itu, si lelaki mencoba untuk tetap tenang. Padahal hatinya

menggebu-gebu menahan rindu. Sulit sekali mereka bertemu atau sekedar

berbincang melalui telepon genggam seperti sekarang. Bilamana mungkin, ia

ingin mengabadikan setiap detik dalam percakapan mereka dan memajangnya di

satu sudut kamarnya.

Lelaki itu tak pernah bertanya apakah rindunya berbalas atau tidak. Karena ia tahu

bahwa pertanyaan semacam itu dapat membuat keduanya terluka. Ia hanya bisa

yakin, bahwa wanita itu tahu betul bagaimana ia merindukannya. Dan ia juga

yakin, bahwa wanita itu bahagia karenanya. Mereka telah sampai di satu titik di

mana mereka sudah teramat dekat, tapi tak bisa saling berpegang erat.

Lelaki itu mengingat-ingat, pertemuan terakhir dengan wanita itu adalah ketika

musim hujan belum tiba. Ketika jarak belum lama memisahkan mereka. Lelaki itu

mengajaknya ke sebuah kedai kecil di sebuah komplek perumahan. Itu salah satu

kedai favoritnya. Kedainya sederhana, hanya menyediakan makanan dan

minuman sederhana dengan harga yang cukup pula bagi orang-orang sederhana.

Di akhir pertemuan singkat itu, mereka berjanji akan bertemu lagi nanti, bila

hujan tiba. Mereka sama-sama suka hujan. Namun nampaknya hujan yang mereka

maksud bukan hujan hari ini.

Bus masih belum berjalan. Hujan semakin deras. Meski hanya sebentar, lelaki itu

menikmati masa-masa ini. Memandangi hujan di dalam bus tanpa rasa buru-buru,

tanpa ada yang menunggu, dan tanpa tau kemana akan menuju. Seperti

hubungannya dengan wanita itu.

Tak ada yang perlu diburu.

Tak ada yang dapat ditunggu.

Dan tak ada yang mesti dituju.

“Sepenting itukah?”, tanya wanita itu. 

“Ya, jangan sampai kau melewatkan bulan.” 

“Memangnya kenapa?”

Selayaknya hujan lelaki itu mengagumi bulan.

Dan selayaknya bulan ia mengagumi wanita itu.

“Agar…”

“Agar apa?”

“Agar kau tahu, kau punya saingan.” (Lagam Alfaruki)

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran