Dunia Pers Mahasiswa dikejutkan dengan kabar pembekuan salah satu Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di Maluku, LPM Lintas yang oleh Rektorat IAIN Ambon setelah menerbitkan sebuah majalah terkait investigasi kekerasan seksual di IAIN Ambon.
Pembekuan ini tentu tidak selaras dengan prinsip demokrasi serta kebebasan pers yang dianut oleh Indonesia. LPM Lintas merupakan sebuah gambaran dan contoh terkait pembungkaman pers karena berani menguak fakta yang mengendap.
Selain menyalahi kebebasan pers, dalam pembekuan ini juga terdapat kejanggalan, terutama dalam surat keputusan pembekuannya. SK Rektor IAIN Ambon Nomor 91 tahun 2022 yang diterbitkan dan diberlakukan mulai tanggal 17 Maret 2022 tidak menjelaskan dasar dari pembekuan LPM Lintas secara detail.
Kronoligi Pembekuan Lintas
Jauh sebelum terjadinya pembekuan ini, pada tahun 2016 LPM Lintas pernah menerbitkan sebuah berita terkait kekerasan seksual yang terjadi di IAIN Ambon. Namun pihak rektorat IAIN Ambon tidak tuntas dalam investigasi kasus ini. Kasus ini pun diperparah dengan keluarnya korban dari IAIN Ambon, sementara pelaku masih bebas berkeliaran di kampus tersebut.
Tepat setelah diterbitkannya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS, LPM Lintas menggunakan momentum ini untuk kembali mengangkat isu tentang kekerasan seksual yang terjadi di IAIN Ambon. Hal ini dilakukan dengan harapan yang mereka lakukan akan banyak mendapat dukungan serta semakin banyak yang menuntut IAIN Ambon untuk menerapkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 atau Dirjen Pendis Nomor 5494 Tahun 2019.
Isu kekerasan seksual ini kemudian mereka angkat dalam sebuah majalah yang berjudul “IAIN Ambon Rawan Pelecehan”. Dalam majalah tersebut, tercatat 32 kasus kekerasan seksual yang terjadi di IAIN Ambon. Setelah penerbitan ini Rektor IAIN Ambon sempat menjanjikan akan memproses secara prosedural.
“Kita konfirmasi rektor juga, kita menanyakan ‘pak ada 32 kasus kekerasan seksual di IAIN Ambon yang kami temukan, apa tanggapan bapak?’ Pada saat itu rektor hanya menjawab akan kami proses secara prosedur, rektor berjanji seperti itu. Sekarang kami tidak tahu lagi kenapa tidak ditindak lanjuti” Ucap Yolanda Agne, Pimpinan Redaksi LPM Lintas (25/3).
Sehari setelah penerbitan majalah pada tanggal 15 Maret 2022, ketua jurusan Sosiologi Agama IAIN Ambon merasa keberatan terkait isi dari majalah ini. Beliau mengatakan jika ada yang tidak sesuai dengan pernyataannya.
Sehari setelahnya, Lintas bertemu dengan pihak kampus dengan agenda pembuktian terkait isi majalah tersebut. Dalam sidang ini pihak kampus IAIN Ambon meminta Lintas untuk memberikan data korban serta terduga pelaku, namun Lintas menolak dengan alasan akan mereka lakukan jika pihak kampus membuat tim investigasi sesuai dengan yang tertulis dalam Dirjen Pendis Nomor 5494 Tahun 2019. Sidang pada hari itu berakhir dengan keputusan jika pihak kampus menuding Lintas memuat berita palsu dalam majalahnya serta akan membawa kasus ini kepada pihak kepolisian.
Kemudian pada 17 Maret 2022, Lintas mendapatkan surat pembekuan yang diterbitkan oleh Rektor IAIN Ambon. Terhitung mulai dari hari itu, LPM Lintas secara administratif telah dibekukan di IAIN Ambon. Selain itu, Yolanda mengatakan jika inventaris serta peralatan jurnalistik Lintas disita dan diambil oleh pihak kampus.
“Hari Kamis kami mendapatkan SK Pembekuan Nomor 92 Tahun 2022 tentang Pembekuan LPM Lintas. Jadi setelah pembekuan itu memang alat kerja kami sudah ditarik sama pihak kampus (seperti) komputer, printer, dan infocus. Jadi kami sudah tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya.” tuturnya.
Dukungan yang diberikan oleh berbagai LPM di Indonesia berpengaruh dalam kasus ini. Yolanda mengatakan,ada indikasi bahwa pihak kampus mengurungkan niat untuk membawa kasus ini ke pihak kepolisian dikarenakan banyaknya dukungan yang diberikan terhadap LPM Lintas serta kecaman terhadap yang dilakukan pihak Rektorat IAIN Ambon terhadap LPM Lintas.
Pembekuan pers oleh instansi maupun penguasa memang bukan hal baru. Tetapi pembekuan Lintas seakan menjadi gambaran jika masih ada pihak-pihak yang memiliki kekuasaan namun anti kritik. Yolanda berharap jika pihak kampus tidak anti kritik dan dapat menjamin kebebasan pers di lingkungan IAIN Ambon.
“Semoga pihak kampus ngga anti kritik karena kritik itu dibuat untuk meluruskan prosedur yang salah di IAIN, seharusnya kampus ngga anti kritik. Terus kami berharap juga kampus dapat menjamin kebebasan pers di kampus apalagi kebebasan akademik” ujarnya.
Kasus yang terjadi terhadap Lintas seakan menambah daftar panjang dalam tinta merah dunia pers di Indonesia, kebebasan dan hak pers tercoreng oleh kasus-kasus seperti ini.
BACA JUGA Tulisan lain dari rubrik Liputan dan Berita atau tulisan Muhammad Fadhlan Rusyda lainnya.