‘Lewat Djam Malam’, Kegelisahan Bekas Pejuang Melintas Zaman

Ananda Bintang
845 views

Ada perbedaan yang mencolok dalam air muka pejuang sebelum berangkat perang dan sepulang dari perang. Pucat pasi, tatapan kosong, adalah beberapa ekspresi yang biasanya film-film perang gambarkan ketika menggambarkan raut muka pejuang setelah perang. Bagaimana tidak, darah, desing peluru, kematian yang memburu, adalah sekelumit pengalaman yang tidak bisa dilupakan begitu saja bagi seorang bekas pejuang perang.

Melalui ‘Lewat Djam Malam’ (1954) Usmar Ismail, agaknya mampu menggambarkan kegelisahan itu ke dalam tokoh utama bernama, Iskandar (AN Alcaff). Iskandar adalah seorang mantan perwira perang yang habis ‘turun gunung’ ke Bandung. Sepulang perang, ia bertunangan dengan Norma (Netty Herawati) yang sedikit bisa menenangkan kegelisahan Iskandar.

Alih-alih menampilkan sisi heroisme pejuang pasca perang seperti yang biasa digambarkan film-film bertemakan serupa, dalam film ini Iskandar justru digambarkan sebagai prajurit luntang lantung yang tidak memiliki keahlian apapun selain menenteng bedil dan membunuh. Kefrustasian Iskandar memuncak ketika ia dihinakan oleh orang-orang di kantor gubernuran yang sewaktu itu ia mencoba untuk mencari peruntungan dengan bekerja di kantor tersebut. Bahkan, karena keributan yang ia ciptakan di sana, kepala bagian menghinanya sebagai “bekas pejuang yang tak berguna!”

Beberapa teman seperjuangannya pun memiliki hidup yang kurang lebih sama problematis dengan yang menimpa Iskandar. Pudja yang menjadi tukang pukul dan menghabiskan waktu dengan berjudi, Gafar yang menjadi arsitek yang tidak jujur. Sedangkan Gunawan yang menjadi pengusaha namun ternyata modal dari perusahaan yang dibuatnya adalah uang dari keluarga yang menjadi korban salah sasaran sewaktu mereka berperang saat itu.

Kendati demikian, ‘Lewat Djam Malam’ bukan hendak mencap bahwa bekas pejuang perang selalu memiliki hidup yang problematis, tapi film ini mencoba untuk menyingkap sisi lain bekas pejuang yang jarang digambarkan oleh film-film bertema serupa. Bahkan, di akhir film, Usmar menyelipkan kalimat berikut: “Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besarnya pengorbanan nyawa mereka, supaya kita yang hidup pada saat ini dapat menikmati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri”, yang menurut saya menjadi semacam disclaimer dari Usmar, bahwa film ini hendak mengajak penontonnya untuk “menghormati bekas pejuang” bukan sekadar menghakiminya.

Latar Bandung sebagai Lautan Kriminal

Seperti yang dikatakan oleh Graeme Turner dalam Irawanto (1999), film adalah representasi dari realitas dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaan tertentu. Usmar, melalui ‘Lewat Djam’ Malam selain ingin menampilkan realitas yang dialami bekas pejuang, ia juga ingin menampilkan realitas yang kala itu sedang terjadi di latar kota film ini dibuat, yaitu di Bandung.

Mengutip dari artikel yang dimuat di Cinemapoetica, pada tahun 1950an, Bandung memang tercatat sebagai kota yang saat itu sedang rawan dan memiliki angka kriminalitas yang tinggi. Hal ini disebabkan karena daerah Jawa Barat pada masa itu masih dikuasai oleh Darul Islam. Akibat dari maraknya aksi kriminalitas yang beberapa di antaranya juga diperbuat oleh bekas pejuang yang frustasi tidak bisa beradaptasi seperti yang dirasakan Iskandar, maka pada 27 Desember 1949 diberlakukan jam malam oleh Komando Militer Kota Bandung yang saat itu dikepalai oleh Letkol Sentot Isakandar Dinata.

Usmar sebagai sutradara dan Asrul Sani sebagai penulis naskah mencoba menyandingkan cerita kegelisahan Iskandar sebagai bekas pejuang melalui latar Kota Bandung yang memang pada masanya dipenuhi “Iskandar-Iskandar” lain yang juga memiliki problem yang sama setelah pulang perang. Kendati demikian, tentu saja yang dilakukan Iskandar dalam film tidak serta merta menggambarkan secara menyeluruh realitas yang terjadi di Bandung pada saat itu, karena bahkan mungkin kejadian yang sebenarnya terjadi bisa lebih parah atau tidak. 

Namun, pengambilan cerita Iskandar juga bukan hanya karena pernah benar-benar terjadi di Bandung, melainkan ada sisi kritik yang coba ditampilkan Usmar. Ia seolah-olah ingin menampilkan, bahwa orang-orang dari militer sekalipun memiliki sisi problematis yang tidak sehero dan sebaik yang dicita-citakan bocah SD. Hal ini, terbukti beberapa tahun setelah ‘Lewat Djam Malam’ tayang, bukan dalam film, tetapi nyata pada sejarah Indonesia setelah 65 yang banyak dipenuhi kebiadaban kalangan militer.

Usmar Ismail, 100 Tahun dan Restorasi

Tepat 20 Maret 2021 lalu, Usmar Ismail menginjak 100 tahun. Selama 100 tahun ini, film yang sempat direstorasi setidaknya hanya ada tiga film. Lewat Djam Malam (1954), Long March: Darah dan Doa (1950), dan Tiga Dara. Ironisnya, ketiga film tersebut direstorasi dengan tidak dibantu sama sekali oleh pemerintah. Ketiga film tersebut didanai oleh pihak swasta dan beberapa pegiat film yang memang merasa bahwa film-film klasik Indonesia perlu untuk direstorasi. Padahal dalam UU No. 33/2009 tentang Perfilman, pemerintah diwajibkan mendirikan pusat pengarsipan film Indonesia, namun hingga 100 tahun Usmar Ismail lahir, pemerintah sama sekali tidak memiliki perhatian lebih terhadap film khususnya pengarsipan film-film klasik Indonesia.

‘Lewat Djam Malam’, adalah satu dari tiga film Usmar Ismail yang berhasil direstorasi. Film ini menjadi film Indonesia pertama yang direstorasi dengan dibiayai sepenuhnya oleh National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation yang diketuai oleh Martin Scorsese karena juga dianggap menjadi film terbaik Indonesia sepanjang masa dan layak untuk direstorasi menurut penulis kritik film senior, JB Kristanto.   

Sumber Referensi:
Irawanto, Budi.  1999. Film, Ideologi dan Militer: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.
Indrarto, Totot. 2016. https://lokadata.id/artikel/merestorasi-masa-lalu-dan-masa-depan-kita Diakses pada tanggal 29 Maret 2020.

Editor : Irna Rahmawati

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran