Representasi Kapitalisme: Mengurai Lapisan Makna dalam Film Spirited Away

Hanni Nabila Athaya
85 views
','

' ); } ?>

Studio Ghibli selalu dikenal karena kemampuannya memadukan imajinasi dan realitas. Satu di antaranya adalah film animasi yang berjudul Spirited Away (2001) karya Hayao Miyazaki. Film ini bukan sekadar kisah seorang anak perempuan yang tersesat di dunia roh. Kisahnya menjadi simbol tentang kerakusan manusia, budaya konsumerisme, dan upaya menemukan kembali identitas di tengah dunia yang bergerak terlalu cepat. Film animasi yang berdurasi 2 jam 5 menit ini memenangkan Academy Award for Best Animated Feature (2003) dan hingga kini tetap menjadi mahakarya animasi Jepang yang melintasi zaman. 

Perjalanan Chihiro: Pintu Masuk ke Dunia Eksploitasi Modern

Fenomena kapitalisme dan konsumerisme menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern. Kapitalisme, sebagai sistem ekonomi yang menempatkan akumulasi modal sebagai pusat aktivitas, melahirkan pola hidup yang mendorong individu untuk terus mengonsumsi tanpa henti. Konsumerisme kemudian hadir sebagai budaya yang menormalisasi keinginan untuk memiliki, membeli, dan menikmati sesuatu secara berlebihan, sering kali tanpa mempertimbangkan kebutuhan serta dampaknya. Budaya inilah yang secara halus dikritik melalui simbol-simbol makna dalam Spirited Away, terutama melalui gambaran kerakusan manusia, penindasan pekerja, serta hilangnya identitas di bawah sistem yang menuntut produktivitas dan kepatuhan. 

Cerita berpusat pada Chihiro Ogino, gadis yang tanpa sengaja memasuki dunia roh bersama kedua orang tuanya. Ketika orang tuanya berubah menjadi babi akibat keserakahan, Chihiro dipaksa bekerja di pemandian roh (Bathhouse) milik penyihir Yubaba untuk menemukan cara menyelamatkan mereka dan kembali ke dunia manusia. Melalui perjalanan ini, Chihiro belajar tentang tanggung jawab, ketulusan, dan ketahanan diri, sekaligus menyaksikan sistem kerja yang keras, identitas yang dilucuti, dan eksploitasi tenaga kerja yang mencerminkan struktur kapitalisme, menjadikannya relevan sebagai refleksi sosial dalam lanskap ekonomi kapitalistik.

Manifestasi Konsumsi yang Tak Pernah Puas

Ketika Chihiro dan kedua orang tuanya tersesat di dunia roh, terdapat adegan kedua orang dewasa itu memakan dengan rakus hidangan yang bukan milik mereka. Pada akhirnya, hal itu membuat mereka menjadi babi. Perubahan tersebut menjadi kritik yang gamblang akan kerakusan dan konsumerisme manusia. Adegan tersebut semakin menegaskan bahwa konsumsi tanpa batas dapat menjadikan manusia sebatas makhluk yang dikendalikan oleh nafsu.

Untuk bertahan hidup dan menyelamatkan orang tuanya, Chihiro harus bekerja di Bathhouse milik penyihir Yubaba. Di tempat inilah ia bertemu Haku, No-Face, dan berbagai makhluk spiritual lainnya yang menjadi cermin realitas kehidupan manusia.  

Kemudian, terlihat adegan No-Face (Kaonashi) yang terus melahap makanan dan emas tanpa henti sebagai simbol kekosongan modern. Ia makhluk yang mencoba mengisi kehampaan dengan konsumsi, tetapi tetap tidak menemukan makna. Chihiro menolak pemberiannya dengan berkata pelan tetapi tegas, “No-Face, I don’t need any gold.” Kalimat ini menunjukkan bahwa ketulusan bukanlah sesuatu yang bisa dibeli oleh logika kapitalistik. 

Pemandian Yubaba (Bathhouse):  Bentuk Kapitalisme Korporat

Yubaba mengambil nama Chihiro lalu menggantinya dengan nama Sen. Dalam mitologi Jepang, nama adalah roh seseorang. Maka, melupakan nama berarti kehilangan diri. Saat Yubaba berkata, “From now on, your name is Sen,” hal itu menunjukkan bukan sekadar bentuk pengendalian dan simbol penguasaan, melainkan sebuah representasi hilangnya jati diri di dunia yang penuh tuntutan. Perputaran uang, emas, dan jasa menjadi motif utama bathhouse (Pemandian Yubaba)—memperlihatkan logika kapital yang mengatur dinamika dunia roh sama seperti dunia manusia yang begitu keras, efisien, dan tak memberi ruang bagi kelembutan maupun jati diri.

“I’ve got work to do. There’s no time to waste.” —Yubaba

Perjuangan Chihiro untuk mengingat kembali namanya adalah simbol dari proses perlawanan terhadap sistem yang memaksanya patuh. Pemandian Yubaba dalam Spirited Away bekerja sebagai kritik halus tentang kapitalisme korporat, yakni budaya kerja modern. Bathhouse tersebut merepresentasikan tempat kerja hierarkis yang mengutamakan profit, dengan pekerja yang terus-menerus dieksploitasi tanpa identitas selain fungsi mereka. 

Yubaba, sebagai simbol pemilik modal, mengatur seluruh sistem, ia mencabut nama para pekerja melalui kontrak, menghapus identitas mereka, lalu menggantinya dengan label yang memudahkan kontrol. 

Saat Haku memperingatkan, “If you forget your real name, you’ll never find your way home,” pesan itu tidak hanya berlaku dalam narasi, tetapi juga sebagai refleksi sosial, kehilangan identitas berarti kehilangan arah. Namun, Chihiro perlahan membuktikan bahwa kesadaran diri dapat bertahan bahkan dalam struktur yang menindas. Ketika ia mulai mengingat siapa dirinya dan berani menolak ilusi yang ditawarkan dunia roh, perjalanan itu menjadi metafora pendewasaan, ketika manusia tak hanya harus bekerja, tetapi juga penting untuk mengenali diri sendiri agar tidak tenggelam. Prinsip ini menjadi sekadar roda kecil dalam mesin kapitalisme.

Visual sebagai Bahasa Kedua: Animasi yang Mengungkapkan Makna

Setiap frame ditata seperti lukisan bergerak. Warna hangat, pencahayaan lembut, dan detail latar menghadirkan dunia roh yang magis dan terasa nyata. Studio Ghibli menata gerakan dengan ritme lambat dan ekspresif, memberikan ruang bagi penonton untuk merenung, merasakan emosi yang tidak terucapkan. 

Adegan kereta yang melintas di atas permukaan air menjadi contoh paling kuat. Momen hening itu memunculkan renungan tentang perjalanan batin, batas antara dua dunia, serta transisi spiritual yang harus dilalui Chihiro. Tanpa kata-kata, visual itu menegaskan bahwa perjalanan pulang bukan hanya soal ruang, melainkan tentang menemukan kembali diri sendiri. Dengan cara ini, Spirited Away membuktikan bahwa visual bukan hanya elemen estetika, tetapi juga medium naratif yang menyampaikan kritik sosial, spiritualitas, dan pencarian identitas. 

Relevansi dan Refleksi: Jalan Pulang Menuju Kemanusiaan 

Film animasi ini bukan sekadar hiburan, melainkan refleksi nilai-nilai tradisional yang perlahan memudar di tengah modernitas. Miyazaki mengajak penonton untuk “kembali pulang”, bukan hanya kembali secara fisik, tetapi pulang pada kesadaran dan jati diri yang sering hilang dalam hiruk-pikuk kehidupan. Pesan ini bersifat universal, menyadarkan manusia modern yang kerap kehilangan makna karena terlalu sibuk mengejar hal-hal yang fana. 

Spirited Away adalah perjalanan spiritual dalam bentuk animasi, mengingatkan bahwa kedewasaan bukan berarti kehilangan keajaiban, melainkan belajar menjaga jati diri agar tidak larut oleh dunia yang terus berubah. Melalui langkah kecil, kita diajak memahami bahwa keberanian sejati tumbuh dari ketulusan, dari kemampuan mempertahankan kemanusiaan ketika dunia berusaha melupakannya.

“Once you’ve met someone, you never really forget them. It just takes a while for your memories to return.” Zeniba, Spirited Away.

DAFTAR PUSTAKA

Miyazaki, H. (2001). Spirited Away. Japan: Studio Ghibli. 

Noviana, F. (2019). Representasi Hero’s Journey Pada Tokoh Chihiro Dalam Anime “Spirited Away” Karya Miyazaki Hayao. IZUMI, 8(1), 52. https://doi.org/10.14710/izumi.8.1.52-64

Papastavros, V. (2023). Miyazaki’s Monstrous Mother: A Study of Yubaba in Studio Ghibli’s Spirited Away. Feminist Media Studies, 23(3), 1157–1172. https://doi.org/10.1080/14680777.2021.1945650

Rolling Stone. (2023, 9 Maret). How ‘Spirited Away’s’ Oscar Win Exposed the Academy. Rolling Stone. Diakses dari https://www.rollingstone.com/tv-movies/tv-movie-features/spirited-away-oscar-best-animated-feature-hayao-miyazaki-america-first-bias-iraq-war-1234691090/

Yoon, K. (2018). Cultural Consumption and Identity in Contemporary Media. International Journal of Cultural Studies, 21(2), 121–138.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya