Yang Berbeda Tenggelam, yang Bersuara Teredam

Bismoko Nizaar A
969 views
','

' ); } ?>

Tulisan ini dibuat dalam rangka menindaklanjuti tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Kikuknya BEM Kema Unpad Mengenai UKT dan BEM Gama yang Tak Kunjung Menentukan Sikap” karena, kalau boleh jujur, tulisan tersebut sempat menuai beberapa kontroversi bahkan intimidasi yang membuat saya merasa down sampai-sampai ragu untuk menulis lagi. Namun, berkat tulisan Georgius Benny, saya kembali mendapatkan ilham untuk menulis, meski dengan topik yang sedikit berbeda.

Terus terang, soal UKT, apabila tidak dipotong pun, saya tidak merasa keberatan karena alhamdulillah orang tua saya masih bisa untuk membayar uang kuliah saya. Mengajukan banding penyesuaian pun saya rasa tidak akan ada perubahan. Lalu, mengapa saya terus getol untuk menekan dan menyuarakan penurunan UKT ini?

Tak lain dan tak bukan, meski mungkin akan dianggap klise, saya memikirkan teman-teman yang perekonomiannya terdampak secara drastis karena pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai ini.

Apalagi disusul dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau yang sekarang disebut dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang tentu membikin perekonomian mereka semakin memburuk. Maklum, saya dari jurusan yang dianggap ‘sosialis’, makanya sering kali memikirkan soal kepentingan khalayak banyak hehe.

Bisa dibilang, saya menulis artikel kemarin karena saya yakin banyak mahasiswa-mahasiswa lain yang tidak mampu (atau dipaksa tidak mampu?) untuk mengeluarkan pendapat mereka soal UKT ini. Akhirnya, misuhan-misuhan mereka paling mentok hanya bisa ditampung di base Draft Anak Unpad saja dengan akun anonym. Tentu, akan muncul asumsi dari mereka yang melihat saya sok-sokan ikut campur masalah UKT kemarin, seperti:

“Memangnya mahasiswa lain tidak bisa bersuara sendiri?”

Justru poin inilah yang saya khawatirkan sedari awal masalah UKT ini muncul. Bukannya mereka tidak bisa, mungkin saja mereka tidak mau, malu, atau bahkan trauma. Kultur ketidakberanian untuk mengutarakan pendapat ini, menurut saya, sudah bermula sejak Masa Bimbingan (Mabim) atau Orientasi Studi Pengenalan Kampus (Ospek).

Seperti yang kita tahu, salah satu poin yang ditanamkan dalam kegiatan Mabim atau Ospek adalah memupuk pemikiran kritis kepada mahasiswa baru. Namun, waktu saya mengikuti ospek jurusan, mereka yang memilih untuk berani berpendapat malah dibentak-bentak dengan dalih membangun mental mahasiswa baru. Hal ini jelas membuat mereka terdampak secara psikologis.

Mana ada sih gara-gara dibentak saat ospek pengaruhnya sampai sekarang? Eits, jangan salah. Kalau untuk saya sih biasa saja. Toh, akhirnya saya jadi kenal sama mereka yang dulu memarahi kami. Tetapi, karena kebetulan tahun lalu saya sempat menjadi panitia ospek jurusan dan sempat membantu melakukan assessment, teman-teman dengan kepribadian yang tentu berbeda-beda mengatakan bahwa mereka merasakan trauma karena dibentak-bentak saat hendak berpendapat. Bukan hanya itu, mereka bahkan juga takut untuk sekadar menemui orang-orang yang dulu tergabung dalam “divisi marah-marah” itu.

Menarik bukan? Hal-hal yang dianggap membentuk mental baja justru malah membuat mereka bingung bagaimana caranya harus menyuarakan pendapat karena takut dimarahi dan dimaki. Karena itu, jangan heran kalo semakin ke sini semakin sedikit mahasiswa yang berani mengutarakan pendapatnya (dan juga kritikannya). Apalagi jika kritikan itu ditujukan pada sesama mahasiswa yang berada ‘sedikit’ di atas mereka.

Faktor-faktor di atas dan pengalaman saya selama menggeluti dunia kaderisasi selama satu tahun kebelakanglah yang membuat saya semakin yakin bahwa proses pengkaderan yang bisa dibilang ‘represif’ ini justru berhasil. Yak, berhasil dalam menekan mahasiswa untuk tidak mengutarakan pendapatnya walaupun mungkin mereka memiliki unek-unek, kekesalan, bahkan derita yang terpendam.

Contohnya, dapat dilihat pada skala jurusan. Orang yang dapat dibilang ‘vokal’ hanya ada beberapa saja walaupun saya yakin mahasiswa yang lain juga memiliki pandangan berbeda tentang isu yang sama. Hanya saja, sedikitnya orang yang ‘vokal’ dan semakin banyaknya orang yang takut berpendapat terhadap suatu isu adalah harga yang harus dibayar oleh panitia ospek atas nama tradisi “menggembleng mental” mereka.

Singkatnya, mengutarakan sebuah pendapat harus didukung dengan lingkungan yang sehat pula. Bagaimana mungkin kita bisa menulis artikel berpendapat dengan tenang dan bebas di tengah kultur yang intimidatif?

Oleh karenanya, izinkan saya menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan yang relevan dari salah satu aktivis yang berasal dari Fakultas Sastra, sama seperti kita.

“Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.”

– Soe Hok Gie –

Editor: Raihan Rizkuloh

Subscribe
Notify of
guest

1 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Anandabintang

Keren banget

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran