Webinar Gema Budaya

Gloriyana Firdaus
652 views
Webinar Pena Budaya

Pada Sabtu (5/3) kemarin, Pena Budaya telah melaksanakan webinar series Gema Budaya pertamanya untuk tahun ini. Pada webinar kali ini, Pena Budaya mengundang Ignatius Haryanto, selaku Dosen Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara. Beliau membawakan materi mengenai “Pemikiran Kritis Pers Mahasiswa: Dipantik atau Kesadaran Diri?”

Pada webinar ini Hary, tidak langsung menjelaskan apa saja poin-poin penting mengenai pemikiran kritis dalam pers. Akan tetapi, Hary mengajak para peserta untuk terlebih dahulu membahas dan menganalisis salah satu artikel berita. Yaitu artikel yang membahas kasus sumbangan palsu Akidi Tio, yang nantinya akan disangkut-pautkan dengan aspek-aspek berpikir kritis dalam pers.

“Sejak awal kasus ini muncul, saya skeptis. Uang 2 triliun itu banyak sekali. Dan jika dia ini salah satu orang terkaya, harusnya dia jadi salah satu pembayar pajak terbesar. Tetapi ketika saya mencoba meng-google namanya ‘Akidi Tio’, itu gak keluar apa-apa ya. Benar saja, dalam waktu seminggu saja sudah terbukti kebohongan yang terjadi.” Kata Harry.

Pada kesempatan ini, Hary menegaskan, bahwa selain beliau tidak percaya dengan kasus ini, beliau juga mencoba berpikir kritis dengan mencari tahu informasi yang sebenarnya. 

Selanjutnya Hary menjelaskan, apa saja syarat-syarat untuk berpikir kritis, ada 7 syarat yang dijelaskan oleh Hary, yaitu kejernihan, ketepatan, keakuratan, relevansi, ketepatan secara logika atau masuk akal, kelengkapan dan terakhir kejujuran.

Hary juga menjelaskan, apa saja yang menjadi hambatan dalam berpikir kritis, salah satunya adalah berpegang dengan satu pandangan. Menurut Hary, jika kita hanya berpegang dengan satu pandangan atau pendapat, kita akan menutup peluang-peluang untuk berpikir jernih dalam menerima informasi baru. Ada juga cara berpikir sebagai kelompok, disini pak Hary menganalogikan dengan kelompok bubur diaduk dan tidak.

 “Sebagai anggota kelompok yang makan bubur diaduk, pasti akan mencela-cela orang yang makan buburnya gak diaduk. Karena kita mengidentifikasi diri kita sebagai anggota suatu kelompok, otomatis kita akan menganggap kelompok lain salah”. Sampai-nya

Menurut Hary orang yang berpikir kritis terlatih untuk mengerti, menganalisa, dan mengevaluasi argumen dan cara pandang orang lain. Orang yang kritis tidak mudah kagum dengan hal-hal yang bersifat bombastis. Namun mendasarkan kepercayaan mereka pada fakta dan bukti lebih daripada pilihan pribadi atau kepentingan diri sendiri, serta sadar dengan bias, dan prakonsepsi yang mempengaruhi cara mereka melihat dunia. Beliau juga menambahkan, bahwa zaman saat beliau masih mengurusi pers mahasiswa dengan zaman sekarang sangatlah berbeda. Saat ini teknologi jauh lebih canggih, referensi media massa juga jauh lebih banyak, sehingga hal ini bisa menjadi penunjang untuk berpikir kritis dalam pers. 

Pada salah satu sesi, Hary menunjukkan beberapa foto yang dapat membuat salah paham. Salah satu foto yang beliau tampilkan adalah foto Pecinaan di New York, tetapi sebagian besar peserta menjawab bahwa foto tersebut diambil di Tiongkok. Lalu ada juga foto yang menampilkan seakan-akan telah terjadi pembunuhan masal oleh para Buddha, padahal orang-orang tersebut, mati karena penyakit. Dari sini Hary menjelaskan, betapa pentingnya memiliki sikap kritis. Selain itu beliau juga memberi tips dan trik, jika ingin melihat sebuah artikel atau gambar itu fakta atau tidak.

Webinar yang dimoderatori oleh Husni Rachmani Nur Ilahi ini, diikuti oleh 108 peserta hingga akhir webinar. Antusias peserta bisa dilihat dari banyaknya peserta yang bertanya pada saat sesi diskusi atau sesi tanya jawab, salah satu pertanyaan yang disampaikan oleh peserta, Nabila Sari.

“Bagaimana cara kita mengembangkan pikiran kritis kita disaat lingkungan sekitar tidak mendukung, malah digunjing atau disinisi?” 

Menurut Hary, kita harus siap apabila pendapat yang kita yakini, berbeda dengan pendapat orang lain di lingkungan kita. Justru kita harus menunjukkan kepada mereka, mengenai keyakinan yang kita pegang. Beliau juga menambahkan, bahwa kita tidak perlu mundur dengan keyakinan kita. Karena pada akhirnya, lama-kelamaan akan ada yang ikut membenarkan apa yang kita yakini benar.

Berpikir kritis, bisa dilihat dari bagaimana kita menanggapi suatu berita. Dari kasus yang dibahas, bisa dipahami bahwa untuk berpikir kritis kita tidak boleh hanya berpegang dengan satu pandangan, akan tetapi perbanyak mencari informasi yang akurat, relevan, tepat, jernih, masuk akal, dan juga jujur. 

BACA JUGA Tulisan lain dalam rubrik Liputan dan Berita atau tulisan Gloriyana Firdaus lainnya.

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran