Toxic Masculinity Mengekang Laki-Laki, Mendegradasi Perempuan

784 views
Toxic Masculinity
','

' ); } ?>

Toxic masculinity adalah istilah yang sekarang mulai sering terdengar di telinga publik. Hal ini membuat pengotak-ngotakkan antara laki-laki dan perempuan yang selalu menempatkan laki-laki lebih superior dibandingkan dengan perempuan.

“Lemah banget jadi cowok, masa gitu doang nangis!”

“Anak laki jangan pake baju pink dong!”

“Masa anak laki-laki mainannya boneka, kaya perempuan aja!”

Kalimat-kalimat di atas biasa kita dengar di masyarakat. Padahal, kalimat-kalimat tersebut dapat dikategorikan sebagai toxic masculinity

Pada masa ini, orang sering menggunakan istilah toxic masculinity untuk menggambarkan sifat maskulin yang berlebihan dan diagungkan oleh banyak budaya. 

Toxic masculinity biasanya dikaitkan dengan kekuatan yang dimiliki laki-laki, misalnya bagaimana laki-laki harus menunjukan emosinya, harus dapat melakukan segalanya sendiri, hingga harus mendominasi.

Meski secara langsung menyasar pada laki-laki, sebenarnya toxic masculinity juga berdampak buruk pada perempuan.

Tanpa sadar, sejak kecil masyarakat sudah terpapar oleh toxic masculinity, bahkan dari sebelum ia lahir. Stigma-stigma mengenai bagaimana laki-laki harus bertindak dan berperilaku seakan sudah diatur dalam masyarakat. 

Dimulai dari pemilihan barang dan warna yang diberikan. Orang tua yang telah mengetahui jenis kelamin calon anaknya akan segera berbelanja kebutuhan bayi. Barang-barang yang dibeli disesuaikan dengan jenis kelamin calon anaknya. Laki-laki biasanya dibelikan barang dengan nuansa biru, sedangkan perempuan diberikan barang dengan nuansa merah muda.

Setelah anak laki-laki dapat memilih mainannya sendiri, mereka akan ditunjukkan bahwa laki-laki harus memainkan permainan robot atau mobil-mobilan. Jika mereka memilih untuk memainkan boneka terlebih berwarna merah muda, maka orang tua akan menegurnya dengan mengatakan boneka adalah mainan anak perempuan. 

Ketika mulai tumbuh dewasa, laki-laki dipaksa untuk tidak menunjukan perasaannya. Saat mereka menangis, orang di sekelilingnya akan mengecap ia adalah laki-laki lemah, “masa cowok nangis?”

Masyarakat juga menuntut laki-laki untuk bisa mendominasi. Memimpin seakan menjadi sifat alami setiap laki-laki. Contohnya jika seorang laki-laki berbicara pelan, maka ia akan ditegur dan disamakan dengan perempuan plus dikatakan tidak bisa memimpin.

Contoh nyata yang pernah saya alami adalah ketika saya melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Saat itu, ketua kelompok kami adalah seorang perempuan, sesuai musyawarah yang sudah disepakati. 

Lalu, ketika kami terjun ke desa dan berbincang dengan Kepala Desa setempat, ia menyayangkan mengapa bukan laki-laki yang menjadi pemimpin. Masing-masing dari kami juga ditanya dari mana asal kami. 

Ketika Kepala Desa bertanya kepada teman laki-laki saya yang memang suaranya kecil, Kepala Desa mengatakan “Yah, pantas saja yang jadi pemimpin perempuan, laki-laki kok suaranya kecil banget. Tegas dong, kamu kan laki-laki!”

Bagaimana masyarakat membanding-bandingkan laki-laki dan perempuan dalam kasus toxic masculinity, membuat seakan kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal ini membuat perempuan menjadi pihak yang dianggap lemah dan selalu bergantung pada laki-laki. 

Salah satu contohnya adalah bagaimana masyarakat menegur laki-laki dengan membandingkannya dengan perempuan, seperti “lemes mulu lu jadi cowok, kaya cewek aja!

Dalam kalimat sebelumnya, kedudukan perempuan seakan harus dan pasti di bawah laki-laki dalam hal kekuatan. Degradasi terhadap perempuan juga berlaku pada hal lainnya. Hal ini membuat banyak asumsi, seperti jika perempuan sekolah terlalu tinggi, maka tidak akan ada laki-laki yang mau menikahinya. Asumsi lainnya adalah bahwa perempuan tidak boleh lebih sukses dari laki-laki.

Pada praktiknya, toxic masculinity mengambil tempat dalam berbagai aspek, salah satunya adalah pembagian pekerjaan rumah tangga. Toxic masculinity seakan membagi pekerjaan rumah tangga menjadi pekerjaan ‘feminin’ dan ‘maskulin.’ 

Perempuan dituntut untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang bersifat ‘feminin’, seperti menyapu, mengepel, mencuci, memasak, dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga lainnya. Sementara itu, laki-laki biasanya beraksi dalam kegiatan membenarkan genteng, memasang antena, dan pekerjaan lain yang dianggap lebih ‘maskulin.’

Laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah tangga ‘feminin’ biasanya biasa mendapat dua respon. Pertama mereka akan diolok-olok karena tidak sepatutnya mereka melakukan pekerjaan itu. Kedua mereka akan dipuji karena sudah dengan suka rela membantu perempuan dalam melakukan pekerjaannya. 

Kedua respon ini sama-sama menyiratkan bahwa pekerjaan rumah tangga tidak seharusnya dikerjakan oleh laki-laki.

Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, toxic masculinity sudah digaungkan, bahkan sejak bayi belum lahir. Tidak heran jika toxic masculinity kemudian berubah menjadi budaya yang sulit dihilangkan. Dibutuhkan kesadaran yang tinggi untuk sedikit demi sedikit mengikis budaya toxic masculinity ini. Salah satu hal kecilnya adalah menyadari bahwa warna, pakaian, dan pekerjaan rumah tangga tidak memiliki gender.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran