Toleransi sebagai Penyejuk Hati di Bulan Suci

Wasti Marentha S
487 views
bentuk-bentuk toleransi beragama di Indonesia

Indonesia merupakan negara dengan penduduk beragama Islam yang mendominasi, dilansir dari Dataindonesia.id, terdata sebanyak 86,9% penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Angka yang sangat tinggi, apalagi dibandingkan dengan lima agama resmi lainnya di Indonesia.

Dengan keberagaman yang dimiliki Indonesia, sebuah perbedaan haruslah sudah menjadi hal yang biasa dan tidak sulit untuk dihadapi. Sehingga untuk urusan agama dan peribadatan sudah seharusnya dapat dilangsungkan dengan tenang oleh masing-masing kelompok agama. Saling menghargai dan toleransi merupakan kunci penting yang harus dimiliki. 

Misalnya seperti bulan ini, yaitu waktu bagi orang beragama Islam untuk menjalankan kegiatan ibadah mereka yang sudah menjadi sebuah kewajiban. Bulan ini disebut sebagai bulan puasa atau bulan suci Ramadan.

Bulan Ramadan adalah bulan ketika  seluruh umat Islam di dunia menunaikan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan menjadi memiliki batasan, salah satunya seperti makan dan minum yang boleh dilakukan sebelum matahari terbit hingga setelah matahari terbenam. Dijalankannya puasa bertujuan untuk membersihkan jiwa dari segala perbuatan yang tercela sehingga membuat hati lebih bersih.

Keterbatasan dalam makan dan minum tentunya menjadikan waktu siang sebagai waktu bagi seluruh umat Islam tidak boleh makan dan minum.

Suasana tersebut tidak hanya menghadirkan perubahan bagi yang beragama Islam, tetapi juga bagi golongan lainnya. Golongan atau agama non-Islam pastinya mengalami perubahan juga, yaitu mereka harus berusaha menyesuaikan diri untuk tidak makan dan minum di tempat umum pada waktu puasa atau tepatnya dari pagi hari sampai sore hari.

Di saat-saat seperti inilah sikap menghargai dan toleransi harus diterapkan. Sikap ini juga dilakukan sebagai bentuk menghormati dan melahirkan sebuah kedamaian di tengah lingkungan masing-masing.

Sikap saling menghargai dan toleransi yang paling mudah dilakukan pastinya dengan tidak makan dan minum di tempat umum. Namun, hal ini bisa dilakukan jika memungkinkan untuk mencari tempat sepi atau tempat yang tidak terlalu terbuka.

Beberapa orang memang berpendapat, tidak salah jika makan dan minum, sebab jika ditahan pun tidak baik. Namun, menurut saya, untuk orang yang sakit, ibu hamil/menyusui, dan tua renta masih dapat dimaklumi karena mereka tidak mungkin menahan, apalagi jika di kendaraan umum. Jika dalam keadaan sehat dan hanya butuh minum, akan jauh lebih baik dilakukan dengan mencari tempat tertutup, agar saling menghargai.

Di tempat kerja, sekolah, dan tempat umum lainnya kebanyakan orang non-Islam akan makan dan minum di tempat yang tertutup. Ada beberapa tempat umum yang tetap buka di bulan puasa ini. Menurut saya pribadi, untuk umum tidak menjadi masalah jika tempat makan buka, mengingat tidak semua orang berpuasa, sehingga hal ini dapat memudahkan untuk mereka yang tidak berpuasa. Mungkin tampilannya dapat diubah menjadi lebih tertutup dan tidak terbuka terang-terangan. Hal ini juga dilakukan sebagai bentuk toleransi. Namun, terkadang untuk tempat yang mayoritas non-Islam masih ada kantin dan tempat makan yang memang sengaja buka untuk mereka yang non-Islam. 

Selain itu, di bulan Ramadan seperti ini, biasanya identik dengan ngabuburit dan/atau mencari takjil. Hal tersebut umumnya dilakukan oleh mereka yang beragama Islam, sebagai sebuah kebiasaan dan berbagi takjil sebagai bentuk berbagi sesama. Namun, dalam keberagaman Indonesia ini tidak jarang mereka yang non-Islam juga turut serta ngabuburit, entah menemani teman atau saudara yang Islam, mencari angin segar,  dan berburu makanan. Tak hanya perihal ngabuburit, dalam hal takjil juga non-Islam tidak sedikit yang ikut berbagi, bahkan ada juga yang mendapat bagian.

Selain pada bulan Ramadan, saat hari raya Idul Fitri juga tidak sedikit saya menemukan penerapan bentuk toleransi antaragama. Misalnya, selesai salat eid, mereka yang beragama Islam selalu bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga, untuk saling mengucapkan selamat hari raya, saling bersalaman, dan saling memaafkan. Hal tersebut juga tidak terlewat bagi mereka yang non-Islam. Terkadang mereka yang Islam yang mendatangi tetangga non-Islam atau sebaliknya tetangga non-Islam mendatangi tetangga Islam yang sedang merayakan hari besar mereka.

Bahkan mereka yang merayakan biasanya berbagi makanan khas lebaran yang mereka buat, seperti ketupat, opor, kue, dan lainnya. Hal tersebut pastinya sangat menyejukkan hati dan menumbuhkan kedamaian di antara umat beragama.

Keberagaman yang ditanggapi dengan positif seperti ini adalah jalan utama untuk membantu terbangunnya negara yang maju, terutama di Indonesia yang bukan hanya beragam agamanya, tetapi juga suku, ras, bahasa, dan sebagainya.

Tinggal di lingkungan mana pun, pastinya kita harus dapat menyesuaikan diri dan menerima perbedaan yang ada. Seperti di Indonesia ini, saya pribadi yang beragama Kristen Protestan, dan merupakan minoritas, sudah terbiasa dengan perbedaan yang ada dan selalu mencoba menyesuaikan diri. Saat di sekolah, karena puasa dan kantin tutup, saya juga terpaksa ikut berpuasa sampai pulang ke rumah. Belum lagi saat ingin membeli makan siang hari atau sekadar camilan, banyak tempat yang tutup dan berakhir dengan memakan makanan yang ada di rumah saja.

Bentuk-bentuk toleransi beragama seperti itu yang diterapkan di Indonesia sangat beragam, tidak hanya saat hari raya besar agama Islam, tetapi juga tercermin pada hari besar agama lainnya, seperti Natal, Nyepi, Waisak, Imlek, dan hari besar lainnya. Saat-saat itu tidak sedikit kita menemukkan bentuk saling menghargai antar umat beragama yang tercermin di Indonesia.

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran