Tiga Tahun Calon Tunggal, Krisis Kader atau BEM Gama FIB Perlahan Tidak Dibutuhkan?

Ananda Bintang
1235 views
','

' ); } ?>

Setelah melewati drama pengunduran diri, pengumuman pasangan calon Ketua dan Wakil Ketua BEM Gama FIB 2021 akhirnya resmi diumumkan. Pasangan calon atas nama Brian Jevon Tanuwijaya (Sastra Sunda 2019) sebagai calon Ketua dan Fuji Fitri Anjani (Sastra Arab 2019) sebagai calon Wakil Ketua diumumkan menjadi satu-satunya pasangan calon pada hari Selasa (7/12) melalui instagram @ppugamafib. 

Pengumuman tersebut sekaligus memperpanjang paceklik pasangan calon yang selalu tunggal selama tiga tahun berturut-turut di dalam tubuh BEM Gama FIB dari tahun 2019. Hal ini akhirnya menimbulkan banyak pertanyaan dan spekulasi terkait ada apa sebenarnya yang terjadi di dalam regenerasi pasangan calon Ketua dan Wakil Ketua BEM Gama FIB. 

Ketua Panitia Pemilihan Umum Gama FIB Unpad 2021, Rafly Pasha mengatakan bahwa sebenarnya hal tersebut lumrah terjadi di dalam pesta demokrasi, meskipun begitu, ia berharap agar antusiasme politik di FIB lebih meningkat dan lembaga-lembaga kemahasiswaan di FIB ke depannya bisa turut menjaring calon ketua dan wakil ketua BEM dengan mengirimkan kader terbaiknya untuk dicalonkan. 

Pasha juga menampik bahwa dengan minimnya partisipasi mahasiswa yang mendaftar calon Ketua dan Wakil Ketua menandakan bahwa Gama FIB sama sekali tidak membutuhkan BEM. “Calon tunggal tidak mengindikasikan bahwa mahasiswa FIB tidak membutuhkan BEM, melainkan BEM sendiri sebetulnya membutuhkan mahasiswa khususnya Gama (sebutan mahasiswa di FIB). Karena untuk pemilu saat inikan yang dibutuhkan suara jadi suara itulah yang menjadi modal BEM untuk menjalankan programnya,” jelas Pasha pada Pena Budaya saat diwawancarai Rabu (8/12) lalu. 

Ia juga menambahkan bahwa BEM sebetulnya masih berguna terutama dalam ranah advokasi di bidang kemahasiswaan dan menjadi jembatan antara mahasiswa dengan pihak dekan. Pengaruh positif BEM juga dirasakan oleh Siti Sopiah, jurusan Sastra Arab 2019. Menurutnya, BEM sangat membantu memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan mahasiswa di FIB, setidaknya dalam 4 bidang:  Akademik, dengan mengadakan sekolah Mawapres, Research Training Class, dan sebagainya; Advokasi untuk menjembatani Gama dengan pihak dekanat; Minat dan bakat dengan mewadahi Gama FIB melalui beberapa program kerja; dan Bidang Sosial dengan mengadakan ngabdi ka desa.

“BEM adalah sebuah lembaga yang masih sangat diperlukan bagi mahasiswa. BEM bisa menjadi titik acuan bagi Lembaga Kemahasiswaan (LK) lainnya dalam menjalankan proker seperti pendampingan SIAT untuk LK yang masih diwadahi BEM,” ujar Siti. 

Ia juga mengatakan bahwa minimnya partisipasi Gama dalam mencalonkan diri menjadi Ketua dan Wakil Ketua BEM Gama lebih disebabkan karena faktor pandemi dan orientasi mahasiswa zaman sekarang yang lebih mementingkan individu atau pribadi ketimbang kelompok. 

Kendati demikian, masih ada beberapa mahasiswa yang merasa bahwa BEM masih minim dampak dan kurang memberikan bantuan. Hal ini seperti yang dirasakan oleh salah satu mahasiswa FIB, Zikri Najmudin Ahmad, jurusan Sastra Prancis 2018. Menurut Zikri, BEM terkadang melakukan advokasi layanan yang kurang relevan dan kurang maksimal dengan permasalahan yang dihadapi. 

“Misalnya masalah UKT (Uang Kuliah Tunggal). BEM malah lebih jadi kaya humasnya Rektorat. Atau FIB Awards yang secara penilaiannya masih secara kuantitas, bukan kualitas. Ada juga beberapa hal lain yang kadang kurang tepat dalam pengambilan langkahnya,” ujarnya. 

Ia juga menambahkan bahwa keengganan mahasiswa FIB untuk maju sebagai calon bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti kultur mahasiswanya yang kurang berorientasi pada politik kampus, faktor pandemi, sampai ketidakbecusan BEM. 

Kurangnya bantuan BEM terhadap mahasiswa juga dirasakan oleh Muhamad Raihan Firdaus, Sastra Arab 2019 dan Indah Tri Sastra Rusia 2018. Keduanya bahkan mengatakan bahwa dalam masalah birokrasi dan akademik sebenarnya kedua hal tersebut masih bisa dilakukan oleh himpunan bahkan mahasiswa sendiri. “Usaha BEM untuk membantu tentunya ada, meskipun secara pribadi ngga begitu terasa, ntah karena memang dampaknya minim atau sifatnya pasif,” ucap Raihan. 

Tahun tumbal calon tunggal 

Menurut informasi yang kami terima, hadirnya calon tunggal sebenarnya pernah terjadi pada tahun 2013, kendati demikian, pada tahun 2015-2019, PPU BEM Gama FIB selalu memiliki minimal dua paslon. Muhammad Dzaky Luthfi dan Zaky Syarief Syahputra adalah ketua dan Wakil Ketua BEM Gama FIB 2020 yang pertama kali merasakan menjadi calon tunggal setelah hampir 4 tahun Gama FIB selalu memiliki minimal dua paslon. 

Melalui keterangan pada Pena Budaya Jumat (10/12) lalu, mereka sangat amat menyayangkan ketika akhirnya hanya merekalah yang maju menjadi paslon. Hal ini menurut mereka menandakan tidak adanya partisipasi aktif pada hajat pencalonan kala itu. Mereka juga menambahkan bahwa banyak faktor variabel yang akhirnya menjadi penyebab terjadinya calon tunggal sampai dua tahun setelahnya. 

“Alur kaderisasi, demokrasi, dan lingkungan yang biasanya jadi hal paling umum. Di sisi lain, ada faktor-faktor tertentu yang munculnya dari kebutuhan juga ekspektasi individu, dan BEM belum bisa jadi tempat yang pas untuk mengakomodasi hal tersebut. Kendati demikian, kondisi demokrasi dan partisipasi terhadap pencalonan sangat dinamis, dan karena itu kita akan mendapatkan hal-hal yang baru ke depannya,” jelas Dzaky Luthfi. 

Kondisi calon tunggal pada tahun itu juga disemarakkan dengan hadirnya kampanye kotak kosong FIB melalui instagram dan beberapa poster-poster yang ditempel di sekitar lingkungan FIB. Pena Budaya berhasil mewawancarai salah satu inisiator kotak kosong FIB namun beliau tidak bersedia untuk menyertakan nama dan identitasnya. Menurut pengakuan Rama (nama samaran), motivasi beliau mengadakan kampanye kotak kosong karena merasa miris dengan hanya satu pasangan calon yang mendaftar. 

“Masa dari sekian ribu orang di FIB cuma ada sepasang yang mau mengabdi jadi kabem-wakabem. Kontestasinya jadi nggak kerasa. Semua dipaksa untuk memilih 1 pasangan aja. Makanya gua pengen supaya adil ga cuma paslon aja yg kampanye. Kotak kosong juga punya hak yang sama untuk ‘promo’,  karena dia lawan yang sah juga toh dalam pemilihan itu,” jelas Rama. 

Rama juga merasa bahwa BEM masih dibutuhkan mahasiswa, karena mau sengawur apapun, menurutnya, BEM perlu ada untuk menjadi pegangan dan daya tawar ketika kampus tidak bisa terasa sedekat BEM yang berisikan mahasiswa juga. Meskipun sempat ramai, kampanye Kotak Kosong ini tidak lagi hadir pada tahun 2020 maupun di tahun ini. 

Pencalonan tunggal juga tidak hanya terjadi dalam ranah BEM Gama FIB, himpunan-himpunan di FIB pada tahun ini juga mengalami krisis pasangan calon. Dari 10 himpunan di FIB hanya tiga himpunan yang memiliki dua pasangan calon ketua himpunan.

Pena Budaya berkesempatan untuk mewawancarai Kepala Departemen Kaderisasi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (KPSDM) BEM Gama FIB tahun 2020, Naflah Fakhira Maulida. Menurutnya, kuliah daring dan perubahan orientasi mahasiswa terhadap suatu organisasi/kepanitian di kampus adalah faktor paling signifikan dari banyaknya mahasiswa yang akhirnya urung menjadi ketua suatu acara atau organisasi mahasiswa (Ormawa). 

Naflah juga sempat menjadi Vice Project Officer Sekolah Kepemimpinan (Sekpim), sebuah program kerja BEM Gama FIB yang merupakan tahap kaderisasi lanjutan setelah jenjang pengenalan yaitu ospek fakultas (Opera Budaya) dan jenjang pemahaman yaitu Sekolah Kaderisasi, yang memfasilitasi Gama FIB untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi pemimpin. 

Ia menambahkan bahwa Sekpim sendiri lebih menumbuhkan jiwa-jiwa kepemimpinan alih-alih menciptakan pemimpin, meskipun secara praktiknya, Sekpim menghadapkan pesertanya untuk benar-benar merasakan menjadi pemimpin, seperti mengadakan project of action dan sebagainya.   

“Sekpim sebenarnya tidak memiliki tanggung jawab dengan adanya masalah calon tunggal ini, karena keputusan menjadi pemimpin itu lebih ke pilihan personal. Mau sebagus atau sebanyak apapun program Sekpim yang dijalankan, kalau minat anak-anaknya bukan ke situ, akhirnya ga bakal jalan juga. Tugas kami hanya membuat para peserta Sekpim agar mampu menjadi pemimpin yang baik, mengerti cara-cara berorganisasi, mengerti permasalahan di FIB, dan tentunya adaptif di setiap zaman,” ujarnya. 

Badai calon tunggal dan sidang istimewa di luar FIB 

Tak hanya di FIB, minimnya partisipasi terhadap pemilihan umum BEM Fakultas juga terjadi di BEM-BEM Fakultas lainnya bahkan sampai tingkat Universitas (BEM Kema Unpad) yang juga hanya memiliki satu calon tunggal. Bahkan beberapa BEM Fakultas hingga masa pendaftaran habis, masih belum memiliki paslon dan akhirnya terpaksa harus mengadakan sidang istimewa untuk memilih satu calon atau pasangan calon secara langsung.

Nama Lembaga Keterangan Instagram Pemilu
BEM Kema Unpad Calon Tunggal Prama Unpad
BEM Gama FIB Calon Tunggal PPU Gama FIB
BEM FH Unpad Calon Tunggal KPUM FH Unpad
BEM FEB Unpad Calon Tunggal Pemilu FEB Unpad
BEM KMFP UnpadCalon Tunggal Pemira KMFP Unpad
BEM Kema Farmasi UnpadCalon Tunggal KPU Kemafar 2021
BEM Kema Fapet UnpadCalon Tunggal Pemilu Fapet Unpad
BEM Kema FKEP UnpadCalon Tunggal SUKSESI FKEP
BEM-Hima Kema FK UnpadCalon Tunggal Pemilu Kema FK Unpad
BEM Kema FPIK UnpadCalon Tunggal Puma FPIK 2021
BEM Fmipa Unpad Sidang Istimewa Pemilu FMIPA Unpad
BEM Kema FTIP Unpad Sidang Istimewa Pemilu FTIP Unpad
BEM Kema Fapsi UnpadSidang Istimewa Pepsi Unpad
BEM Bima FikomSidang Istimewa **Vote Fikom
BEM KM ‘HMG’ FTG UnpadDua Calon* BPM HMG Unpad
BEM Fisip UnpadDua Paslon Puma FISIP Unpad
BEM Kema FKG UnpadDua Paslon Pemira FKG Unpad 2021
*HMG tidak memiliki paslon sebab sistem pemilihannya antara dua individu calon saja **Saat melaksanakan Sidang Istimewa, terdapat satu Pasangan Calon yang mengajukan diri untuk maju menjadi calon tunggal ketua dan wakil ketua BEM Bima Fikom.

Hal tersebut seperti yang terjadi pada BEM Bima Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom). Menurut salah satu mahasiswa Fikom yang tidak mau menyebutkan namanya, hal tersebut terjadi karena kultur mahasiswa yang sudah cenderung berubah. 

Agus (Nama samaran) mengatakan bahwa perubahan kultur ini terjadi dari mulai hadirnya program magang Kampus Merdeka sampai kepribadian mahasiswa Fikom yang bergeser dan lebih berfokus pada karir alih-alih mempedulikan fakultasnya sendiri dengan khususnya berkontribusi menjadi pemimpin BEM. 

“Jabatan BEM itu buat gue pribadi murni tanggung jawab. Tapi kalau lu mau gunain buat bangun karir juga harusnya bisa aja. Buka jaringan, tambah CV, belajar managing walau kadang orang bilang itu seakan politik banget, tapi ya pada akhirnya lo belajar itu juga,” terang Agus. 

Padahal menurut Agus, mahasiswa Fikom sebenarnya memiliki banyak mahasiswa yang peduli dan berkompeten, hanya saja tidak memiliki keberanian untuk menjadi pemimpin yang salah satu alasannya juga dipengaruhi dengan perubahan kultur tersebut. 

FIB sendiri, jika seandainya sampai batas pendaftaran kemarin tidak ada yang maju untuk mencalonkan diri, menurut Pasha, akan diadakan suatu kongres atau sidang istimewa untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua BEM Gama FIB. “Kongres ini mengacu pada aturan konstitusi, khususnya pasal musyawarah luar biasa yang akan memutuskan masa depan BEM Gama itu sendiri nantinya,” ujar Pasha.   

Raffyanda Muhammad Indrajaya, selaku ketua Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokrasi (LPPMD) mengatakan, bahwa fenomena minimnya partisipasi mahasiswa menjadi bagian dari konstelasi pasangan calon ketua dan wakil ketua BEM terjadi karena ada rasa ketidakpercayaan terhadap BEM dan mahasiswa tidak lagi merasa terlibat dalam keputusan BEM. 

“Gimana ceritanya kalau BEM yang dianggap wadah mahasiswa itu jarang benar-benar berguna, hanya performatif, dan jadi alat para mahasiswa ini main politik-politikan skala kecil. Detachment dan disillusionment hanya jadi tahapan logis dari kehadiran BEM kalau gitu,” jelasnya. 

Ia juga menambahkan bahwa sebenarnya ada masalah yang lebih besar dari sekadar minimnya mahasiswa yang meminati organisasi mahasiswa. 

“Fenomena banyaknya mahasiswa yang lebih memutuskan untuk memilih magang merdeka menunjukan bentuk dari liberalisasi pendidikan, dan neoliberalisasi dalam kehidupan sehari-hari secara umum. Hal tersebut tidak hanya melihat relasi kampus dengan mahasiswa sebagai produsen-konsumen, tetapi juga mempengaruhi cara pandang mahasiswa ini akan tujuan dia dari menempuh pendidikan tinggi, semisal untuk dapet gelar, magang/pengalaman kerja sampai networking,” pungkas Raffyanda. 

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran