Kekerasan Seksual, Pertolongan Semu, dan Luka yang Tergores Kembali

Tatiana Ramadhina
502 views
Kekerasan Seksual

Suatu hari nanti, saya akan hidup dengan rasa lega, bahwa apa yang sejak dulu turut saya perjuangkan tidak pernah berakhir sia-sia. Namun, perjalanan masih begitu jauh dan berliku. Sebab petaka tak pernah pergi ke mana-mana. Sebaliknya, ia seringkali berada terlalu dekat hingga kita pun tidak menyadarinya.

“Senang, deh, makin banyak yang peduli sama isu kekerasan seksual. Lingkungan kita jadi makin aman!” ucap salah seorang teman  dengan raut wajah sangat antusias. 

Tentunya, saya menanggapi perkataannya dengan antusiasme pula, meskipun sesungguhnya ada perasaan tidak yakin di dalam diri ini ketika mendengar hal tersebut. 

Saya sempat berada di fase itu. Masa ketika saya benar-benar bahagia karena isu kekerasan seksual mulai di-notice dan dianggap penting oleh orang-orang; dan masa ketika saya memiliki semangat yang menggebu-gebu, keyakinan setinggi langit—bahkan lebih, dan harapan-harapan yang seakan sebentar lagi akan terwujud.

“Akhirnya kita selangkah lebih baik!” 

“Perempuan akan segera punya ruang aman!”

“Para predator bakal ketakutan, nih!” 

Saya pernah se-naif itu, sangat pernah. Hingga tibalah ketika beberapa peristiwa yang saya lihat dan alami sendiri seakan menyadarkan diri ini dari rasa halu itu. 

Kini, saya sampai memiliki keyakinan kalau yang akan lebih menyelamatkan saya dalam hidup adalah prasangka buruk, bukan kepercayaan penuh.

Oke, sebelum saya kelak dianggap sebagai tukang tuduh dan selalu berpikiran negatif, saya akan berkata begini:   

Saya selalu percaya di luar sana ada banyak orang yang benar-benar peduli dengan isu-isu penting di sekitar kita. Bukan hanya perihal kekerasan seksual, tetapi juga kesetaraan gender, ras, agama, lingkungan, hingga ekonomi. 

Namun, begitu pun yang tidak peduli sama sekali, pasti akan ada juga. Rasanya, saya tidak memiliki hak apa pun untuk menghakimi mereka yang memilih untuk bersikap demikian. Setiap orang berhak memiliki pilihannya masing-masing untuk fokus terhadap hal yang ingin mereka perhatikan. 

Ketika perhatian itu tidak didapatkan, rasa kecewa pastinya ada. Siapa, sih, yang tidak mau melihat isu penting yang sudah lama terabaikan—juga diperjuangkan, kemudian perlahan mendapatkan perhatian dari banyak orang? 

Meskipun begitu, kalau saya diminta memilih, rasanya akan lebih baik jika perhatian itu tidak pernah datang sama sekali, daripada ia harus datang bersama dengan maksud lain di dalamnya. Sakit dan kecewanya sungguh berkali-kali lipat.

Maksud lain yang saya bicarakan di sini terlihat jelas dalam cuitan-cuitan media sosial, khususnya Twitter, belakangan ini. 

Mulai dari kasus perihal salah seorang pembuat film tentang kekerasan seksual yang ternyata ia sendiri adalah pelaku dari kekerasan seksual hingga para ‘aktivis’ yang dikenal seringkali ikut bersuara menyoal isu sensitif ini, ternyata menjadi pelindung—bahkan pelaku, dari kekerasan seksual itu sendiri. 

Apa kamu pernah membayangkan bagaimana hype-nya sebuah isu penting, yang dalam hal ini menyoal kekerasan seksual, justru akan dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menutup, mengubur, dan mengaburkan perbuatannya sendiri, seakan semua tidak pernah terjadi? 

Ada berapa banyak sebenarnya kasus seperti ini di luar sana? Ada berapa banyak penyintas yang kemudian harus terluka kembali, bahkan oleh pihak yang mereka percayai?

Rasanya saya tidak akan pernah mendapatkan jawaban pasti dari pertanyaan-pertanyaan itu. Namun, bukankah yang pasti kita tidak pernah benar-benar memiliki ruang aman?

Di lingkungan terdekat sekalipun, di sekitar orang-orang yang sewajarnya kita percayai, kekerasan seksual masih bisa terjadi. 

Dalam banyak kesempatan, beberapa dari mereka yang dekat justru adalah yang akan meruntuhkan kita paling cepat. Simbol kedekatan akan menjadi hal yang membuat kita seolah dilarang tersinggung atau sakit hati dan mau tak mau menerima segala tindakan. 

Saya pernah berada dalam situasi tersebut, yaitu ketika saya menerima berbagai komentar bernada seksual dari kawan-kawan terdekat. Mereka mengutarakannya bersama dengan gelak tawa yang begitu menggema sampai ke telinga. 

Berkali-kali saya mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa apa yang mereka utarakan hanyalah candaan biasa. Saya hanya bisa diam dan terlalu merasa tidak enak untuk sekadar menegur. Pun, ketika akhirnya mulut ini sanggup berbicara, saya kembali disambut oleh gelak tawa itu. 

Pada akhirnya, saya hanya berharap solidaritas antarsesama tidak akan membuat siapa pun sampai ‘maklum’ dan rela untuk menutupi kejahatan yang dilakukan oleh orang terdekatnya. 

Seakan-akan menghakimi, menegur, dan mencaci para pelaku yang berada jauh, akan terasa lebih mudah dibandingkan sekadar mengakui kesalahan dari pelaku-pelaku yang ada di hadapannya. Korban akan terus berjatuhan dan pelaku akan bebas berkeliaran.

Mungkin juga sesungguhnya, kita memang tidak pernah benar-benar dianggap. Kita tidak pernah benar-benar dibela. 

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran