The Trial, Franz Kafka, dan Manusia sebagai Makhluk yang Terdakwa

Sayyidatul Imamah
2776 views
','

' ); } ?>

Novel The Trial mengangkat kisah hidup K sebagai pokok cerita. Seperti tokoh-tokoh Kafka lainnya, K mengalami apa yang disebut sebagai Kafkaesque. Istilah ini merujuk pada ciri khas cerita Kafka ketika tokoh yang ditulisnya mengalami kejadian absurd (yang datang secara tiba-tiba) dan memaksa tokoh tersebut untuk menyelaminya.

Namun, Kafkaesque tidak berhenti di situ saja. Tokoh-tokoh yang diserang oleh situasi kompleks tersebut berjuang melawan absurditas meskipun hanya memiliki pengetahuan dangkal tentang apa yang menimpanya. Perjuangan melawan kebuntuan dan determinisme tersebutlah yang disebut sebagai Kafkaesque.

Dalam Metamorphosis, tokoh Gregor Samsa tiba-tiba bangun sebagai serangga (yang banyak diartikan sebagai “kecoak” meskipun Kafka tidak pernah menyebut jenis serangga dalam karya tersebut) dan hal itu menghalanginya untuk pergi bekerja agar bisa menafkahi keluarga. Samsa, terus berjuang untuk melanjutkan kehidupannya sebagai serangga sekaligus berusaha mengerti “kejadian” yang menimpanya.

Lalu, dalam karya lain yang berjudul Dokter Desa, Kafka menuliskan tentang seorang dokter yang ingin memeriksa pasiennya di desa seberang. Masalah muncul ketika badai salju datang dan dia tidak memiliki kuda untuk mengantarnya ke desa tersebut. Lalu, kejadian “absurd” menimpanya dengan munculnya seorang penjaga kuda bersama kuda-kudanya dari kandang babi. Dokter ini, berjuang melawan absurditas itu untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Kemudian, di The Trial sendiri—tokoh K tiba-tiba ditangkap di apartemennya yang mewah pada pagi hari. Penangkapan ini tidak disertai dengan penjelasan pasti tentang kejahatan yang dilakukan K. Dua orang penjaga tiba-tiba masuk ke kamarnya dan mengatakan bahwa dia ditahan. Dalam kebingungannya, K menganggap bahwa semua ini hanyalah candaan teman-teman sekantornya untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-30. Namun, seiring berjalannya waktu, K terlibat lebih jauh dalam proses penangkapan ini. Ada satu dialog dalam Bab 1 yang akan membuat pembaca mengerti gambaran besar novel ini.

“Lihatlah, Willem, dia mengaku tidak paham tentang hukum, namun pada saat yang sama dia beranggapan bahwa dia tidak bersalah.”

Ketidakpahaman K terhadap proses hukum dan keyakinannya tentang status “tidak bersalah” serta “kekacuan” hukum telah membuat K mengabaikan situasi itu. Sayangnya, di saat yang sama, K bertingkah seolah dia peduli dengan hukum (dimulai dari Bab 2) ketika dia patuh untuk datang ke pengadilan untuk penyelidikan atas kasusnya. Dari sini, tokoh K digambarkan sebagai pria arogan yang merasa dirinya terlalu cerdas untuk dibodohi, sekaligus pria penuh rasa curiga yang meragukan segalanya.

Franz Kafka dengan lihai menuliskan proses pengadilan yang bobrok, korup, dan menjijikkan. K berkali-kali berbenturan dengan keadaan hukum yang lamban. Kehidupannya setelah penangkapan selalu memantul di antara orang-orang hukum yang mengaku mengerti hukum dan orang-orang yang bekerja di pengadilan.

Hal ini membuat saya berpikir bahwa Kafka secara gamblang ingin mengatakan bahwa ada kepalsuan yang dianggap sebagai kebenaran universal. Hukum, yang seharusnya merangkul masyarakat, malah hanya tersedia bagi mereka yang mengerti dan berhubungan dengan hukum saja. Seperti K yang kaget ketika mengetahui bahwa untuk mengerti hukum, dia harus berkonsultasi dengan orang-orang yang berkecimpung dalam hukum, sehingga dia tidak bisa mengurus proses hukumnya sendirian.

Dalam bab-bab kompleks yang menceritakan pertemuan K dengan berbagai macam orang (yang berhubungan dengan hukum), saya paling suka dengan Bab 8 ketika K bertemu dengan Block—seorang terdakwa yang telah mengurus kasusnya selama lima tahun terakhir. Sayangnya, bab ini tidak selesai. Naskah ini memang terbengkalai ketika ditulis pada tahun 1914-1915 oleh Kafka. Jadi, sebenarnya ada bagian-bagian yang terpotong dan belum selesai dituliskan.

Bab 8 paling membekas di pikiran saya karena, di bab inilah puncak pengetahuan pembaca diuji tentang proses hukum yang dijalani K. Dalam bab ini, K melihat masa depannya melalui karaktar Block. Block, yang menjadi terdakwa selama bertahun-tahun—menyebabkan dia mengalami kemerosotan finansial dan tenaga—harus bersikap seperti “terdakwa” di hadapan pengacara dan orang-orang yang bukan terdakwa. Block seperti kata K, adalah anjing Si Pengacara. Penghinaan ini dibalas dengan Block dengan penuh amarah:

“Mengapa Anda menghina saya? Di depan tuan pengacara pula, di mana kita berdua, Anda dan saya, hanya ditoleransi karena belas kasihan? Anda tidak lebih baik daripada saya, Anda juga terdakwa, dan Anda juga sedang menghadapi proses.”

Melalui dialog Block, dapat diketahui bahwa terdakwa itu setara di mata hukum (yang seperti anjing). Bahkan meskipun Si Terdakwa tidak tahu apa kesalahannya dan bahwa dia tiba-tiba ditangkap pada pagi hari yang cerah di apartemennya dengan proses penahanan yang membingungkan.

Yang menarik dari novel ini, setiap terdakwa yang dimunculkan dalam cerita (dan bersinggungan dengan K) tidak pernah disebutkan apa kesalahan mereka. Ketika K mengetahui bahwa Block adalah terdakwa, dia tidak bertanya apa kesalahan Block, melainkan berapa lama Block menjadi klien Si Pengacara. Seolah, Franz Kafka ingin berkata bahwa untuk menjadi terdakwa kita tidak harus memiliki kesalahan atau melakukan kejahatan—yang harus terjadi hanyalah bahwa kita divonis sebagai terdakwa.

Sepanjang membaca novel ini, saya terus bertanya-tanya apakah ada cara bagi K untuk menghindar dari proses hukum tersebut? Entah dengan melarikan diri keluar kota atau pergi ke desa seperti yang disarankan pamannya. Pertanyaan itu saya temukan jawabannya ketika membaca bab akhir novel, saat K ditangkap (lagi) oleh dua laki-laki asing di apartemennya.

Dari bab itu, saya tahu bahwa tokoh K dengan karakternya yang arogan sekaligus berusaha abai—telah membuat dirinya sendiri terjebak dalam proses hukum yang rumit. Berkali-kali dalam kesempatan, K bergerak impulsif yang membuatnya semakin memperparah keadaan, tetapi dia menganggap bahwa “keadaan” itu lebih baik dari sebelumnya.

Dia juga cenderung pemarah dan tidak sabaran terhadap orang-orang yang ditemuinya. Seperti ketika dia bertemu Leni, Frau Grubach, Fräulein Bürstner, dan lainnya. Selain itu, menurut saya, inilah Kafkaesque. Ketika suatu tokoh lebih memilih menerima tantangan absurditas itu dan berjuang di dalamnya (meskipun dengan berantakan). Jadi, sangat tidak mungkin Kafka membuat K melarikan diri dari situasi tersebut.  

Banyak sekali yang berpendapat bahwa Franz Kafka melalui buku ini sebenarnya sedang meramalkan sebuah sistem di masa depan ketika hukum menjadi sebuah kebenaran tertinggi yang tidak bisa diganggu gugat. Namun, menurut saya, itu bukan ramalan lagi.

Semua proses hukum yang terjadi di novel ini tidak harus diartikan sebagai “hukum” dan “pengadilan” yang sebenarnya. Ketika Franz Kafka menggambarkan ruang pengadilan yang berada di rumah penduduk yang bobrok, dengan udara kotor dan orang-orang yang memakai jas yang sama—mungkin saja Kafka sedang menggambarkan dunia dan manusia secara keseluruhan.

Ketika manusia lahir, rasanya seolah manusia sedang divonis. Bayi-bayi mungil yang tidak paham akan kerja dunia itu bisa jadi sama seperti K yang tiduran dengan santai di kasur apartemennya, lalu tiba-tiba ditangkap. Bayi-bayi itu tidak tahu apa kesalahan atau perbuatan mereka sehingga harus lahir ke dunia, tiba-tiba saja mereka divonis sebagai manusia. Ketidakpahaman mereka akan hukum dunia membuat mereka patuh terhadap segala hal yang terjadi (dan dalam proses untuk mengetahuinya) sampai mereka dewasa.

Lama-lama, seperti manusia lainnya, bayi-bayi itu tumbuh menerima segala batasan, kebenaran, moral, dan dogma sebagai syarat untuk menjadi “manusia”. Seperti K yang kemudian menerima kebobrokan hukum di kotanya, kebohongan pengacara yang mewakilinya, batasannya sebagai terdakwa, dan penipuan yang banyak terjadi agar hukum itu terus berjalan.

Manusia sebagai terdakwa menjalani proses hukum selama hidupnya. Mereka dipaksa harus “begini” dan “begitu” sebagai akibat dari kelahiran mereka. Determinisme menerjang manusia dan memaksa mereka untuk melawannya dengan (iming-iming) kehendak bebas. Seperti K yang awalnya menganggap bahwa hukum bisa dengan mudah dikalahkan asal dia terus-menerus berkata bahwa dia tidak bersalah. Namun, masalahnya bukan ada pada bersalah atau tidaknya K, melainkan di “proses” yang dijalani K tersebut.

Ada banyak sekali dokumen yang harus diserahkan manusia sebagai “pembelaan” bahwa mereka bukan terdakwa, dengan bersekolah, bekerja, bersaing, dan lain sebagainya. Dalam novel The Trial sendiri, Franz Kafka melalui seorang tokoh pelukis bernama Titorelli menyebutkan ada tiga jenis pembebasan (sebagai terdakwa), yaitu pembebasan penuh, pembebasan semu, dan penundaan.

Pembebasan penuh adalah jenis pembebasan yang termasuk ke dalam legenda, karena tidak ada satu orang pun yang bisa mendapatkan pembebasan penuh ketika menjadi terdakwa. Artinya, seorang terdakwa tidak akan pernah benar-benar bebas ketika divonis. Lalu, ada pembebasan semu yang membuat terdakwa bebas untuk sementara, tetapi hukum bisa menangkapnya lagi kapan saja. Terakhir, penundaan berarti seorang terdakwa harus terus-menerus berhubungan dengan pengadilan agar kasusnya ditunda dan ditahan untuk beberapa waktu.

Pembebasan penuh adalah jenis pembebasan yang diinginkan oleh semua terdakwa, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa mendapatkannya. Namun, pembebasan itu tetap dituliskan dalam tiga jenis pembebasan. Karena itu adalah cara bagi “hukum” untuk menggoda terdakwa.

Sebagai manusia, apakah kita benar-benar memiliki kehendak bebas? Ketika lahir dan divonis sebagai terdakwa, di momen manakah manusia mendapatkan pembebasan penuh? Dan, di momen mana pula manusia memilih pembebasan semu? Atau, penundaan?

Jangan-jangan hampir semua manusia memilih penundaan dan terus-menerus berhubungan dengan hukum hidup agar “kasusnya” bisa ditahan sebentar. Seorang mahasiswa mengerjakan tugas untuk sebuah nilai agar dia bisa lulus, seorang pekerja membuat sebuah proyek untuk jabatan, seorang anak menangis untuk mendapatkan sesuatu, dan lain sebagainya. Hubungan manusia dengan hukum hidup sama seperti hubungan K dengan hukum di kotanya.

Ketika manusia mencari keadilan dalam rumit serta absurdnya hukum dunia, jangan-jangan dalam waktu yang sama manusia juga mematuhi dan menerima kebenaran “hukum” tersebut.

Seperti kata Pendeta di novel ini: Pengadilan tidak meminta apa-apa darimu. Pengadilan menerimamu saat kau datang dan melepaskanmu saat kau pergi.

Dunia menerima kelahiran manusia, dan melepaskan kematian mereka begitu saja. Namun, benarkah dunia tidak meminta apa-apa dari manusia? Atau, manusia-manusia itu sendiri yang saling meminta pada satu sama lain untuk bersaing mendapatkan “tempat” di dunia?

Jawabannya mungkin berada di dialog terakhir K sebelum dia mati: Seperti seekor anjing!

Editor: Ananda Bintang

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran