Terbakarnya Punggung Petani

Sayyidatul Imamah
1093 views

Jasadnya ditutupi kain sampir karena belum dimandikan. Beberapa orang menyingkap kain di bagian kepala untuk melihat wajah jasad itu. Sebagian yang lain sibuk berceloteh bahwa tadi pagi, siang, malam, atau kemarin mereka baru saja melihat Matsuro. Mereka meyakinkan semua orang ketika Matsuro terlihat tadi pagi, siang, malam, atau kemarin, dia terlihat baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda bahwa malaikat maut telah menggelayuti kakinya.

Ruangan itu sesak oleh orang-orang dan berbagai suara yang berputar-putar. Lantunan ayat suci berbaur dengan cerita tentang Matsuro bertabrakan dengan tangisan keluarga. Bau keringat yang berasal dari orang-orang yang tergopoh-gopoh datang dari sawah menari dengan bau pandan dan melati. Mereka ingin segera melihat Matsuro.

Tidak banyak yang percaya bahwa Matsuro—petani gigih yang berpendirian kuat itu—telah pergi meninggalkan mereka. Kematiannya begitu mendadak, sampai dia harus roboh di tengah sawah.

Matsuro meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Tamin dan seorang istri yang menangis di dekat kepalanya. Suyasmi tidak menangis meskipun jari manisnya terpotong saat ngare’ (menyabit rumput), dia tidak menangis ketika anaknya yang berumur delapan bulan meninggal karena kurang gizi, dia tidak menangis ketika sawahnya tergenang air hujan yang datang mendadak sehingga kerugian mengempas keluarganya, tetapi dia menangis ketika lelaki yang dijodohkan dengannya saat berumur tujuh tahun meninggal. Mereka menikah ketika Suyasmi masih berumur 16 tahun dan Matsuro 25 tahun, pernikahan hasil perjodohan itu menyiksa Suyasmi secara fisik dan batin. Namun, pada akhirnya dia sadar bahwa Matsuro adalah sosok penting dalam hidupnya dan sekarang lelaki itu sudah menjadi mayat. Semua mayat, bahkan yang dia cintai—tidak menjadi penting lagi karena tidak berguna. Kesia-siaan itu menghantam kenyataan yang berada dalam kepalanya.

Anaknya, Tamin. Menunduk sambil menutupi matanya yang mengeluarkan air mata. Hatinya hancur oleh kematian Matsuro yang tiba-tiba. Dia menyalahkan diri sendiri karena merasa bertanggung jawab atas kematian Matsuro. Kalau saja dia tidak meminta dibelikan ponsel, Matsuro tidak akan bekerja dua kali lipat di sawah dengan punggung terbakar untuk memenuhi keinginan anaknya. Dan, kalau saja sekolahnya tidak menyuruh untuk belajar daring karena pandemi, dia tidak akan meminta ponsel. Begitu banyak kalimat “kalau saja” yang menggantung di benak Tamin, sampai dia merasa tubuhnya mulai dipenuhi oleh kalimat itu.

***

Dua bulan yang lalu, seorang bandol[1] akhirnya datang ke rumah Matsuro. Matsuro sangat bersemangat ketika Tamin menjemputnya dari sawah, mengatakan bahwa bandol akhirnya datang. Empat bal tembakau yang tergeletak di beranda rumahnya, mungkin hari ini akan diangkut pergi.

Bandol itu, yang Matsuro kenal sebagai Man Shaleh telah mengambil segenggam tembakau dari dalam bal. Matsuro langsung menepuk bal-bal tembakau itu sambil berseru, “Laku! Laku! Laku!”.

“Aromanya tidak bikin laku, Mat,” kata Man Shaleh yang membaui segenggam tembakau itu.

“Jangan sembarangan bicara, Man! Kau tahu sendiri, tembakau di sini tembakau jenis aromatis! Sudah tentu berkualitas.” Kata aromatis sudah dihafalkan Matsuro sejak dua tahun lalu, ketika seorang mahasiswa pertanian memberikan penyuluhan tentang jenis-jenis tembakau di Balai Desa. Meskipun mahasiswa itu menyebutkan berbagai macam jenis tembakau yaitu: Baruno, Hibrida, Talangkitan, Prancak T1 Agribun, dan lainnya—yang diingat Matsuro hanyalah kalau tembakau Madura itu berjenis aromatis, karena harumnya yang sangat khas.

Man Shaleh mengangguk-angguk saja. “Aku berani tawar lima belas ribu saja.”

Matsuro hampir pingsan di tempat mendengar itu. “Jangan bercanda, Man! Tahun lalu bandol yang lain membeli lima puluh ribu per kilo. Ada-ada saja kamu.”

Tamin yang hanya mendengarkan percakapan mereka dari jauh, tampak sedih karena dia berharap penjualan tembakau akan tinggi sehingga Matsuro akan membelikannya ponsel.

Man Shaleh berkata bahwa Matsuro boleh menjual tembakaunya ke bandol yang lain. “Itu pun kalau ada. Kamu tahu kenapa tidak ada bandol-bandol berkeliaran akhir-akhir ini? Itu karena tidak banyak gudang yang mau menampung tembakau sejak pandemi.” Man Shaleh terus berceloteh tentang pandemi yang diketahuinya dari menonton televisi. Memang, tidak banyak orang di desa itu yang menganggap serius adanya pandemi Covid-19, semua orang lebih sibuk bertahan hidup dengan menggarap sawah daripada saling berebutan masker di toko.

Matsuro mendengarkan dengan sungguh-sungguh meskipun setiap kata yang terlontar dari mulut Man Shaleh terus memantul keluar dari kepalanya. Dia yang lulus SD langsung menggarap sawah, tidak tahu-menahu tentang suatu pandemi yang melanda dunia. Yang dia tahu hanyalah mengusir hama dari tanaman, memberi pupuk, menyiram tembakau, memetik daun tembakau yang sudah siap panen, dan membajak sawah. “Nah, bagaimana? Lima belas ribu sudah cukup itu.”

“Ah, kurang, Man.” Matsuro melirik anaknya yang tampak murung mendengar percakapan itu. “Ayolah, akhir-akhir ini cuaca lagi tidak bagus, Man. Tidak bisa sembarangan menanam bibit padi, harus nunggu tembakau ini laku dulu baru mulai menanam padi.”

“Berhenti saja jadi petani tembakau, Mat. Kau tahu sendiri tarif cukai rokok naik terus, banyak penjualan tembakau menurun. Apalagi sekarang ada pandemi, makin miskin orang-orang seperti kita ini.” Man Shaleh menepuk bal tembakau yang terbuat dari daun kelapa tua itu. “Aku juga merugi sebagai bandol tembakau, nanti mau bekerja di luar negeri saja. Jadi, kasihanilah aku ini, Mat.”

Dua lelaki yang saling meminta dikasihani itu akhirnya menemukan kata sepakat setelah matahari hampir terbenam. Hidangan kopi dan gorengan yang disajikan Suyasmi sudah tandas dimakan mereka berdua. Akhirnya, tembakau itu terjual seharga dua puluh ribu per kilo. Harga yang cukup sekarat dibandingkan tahun lalu. Padahal, tahun lalu pun Matsuro merasakan hal yang sama: kerugian.   

Katanya, kehidupan petani pernah sejahtera, tetapi tidak ada satu pun yang ingat kapan itu terjadi. Mungkin, ratusan atau ribuan tahun lalu, dan yang paling mungkin: itu tidak pernah terjadi.

***

Pada malam sebelum Matsuro meninggal, Tamin sedang menonton televisi di rumah tetangganya. Televisi itu menampilkan ratusan mahasiswa yang berdemo di jalanan perihal Omnibus Law. Tamin tidak terlalu mengerti tentang Omnibus Law, tetapi katanya mahasiswa itu sedang membela rakyat kecil. Jadi, Tamin merasa terharu dengan para mahasiswa yang ditampilkan berteriak, bergerombol, dan menyerukan suara-suara keadilan itu. Dia sudah lama bermimpi untuk menjadi mahasiswa, tetapi sepertinya dia tidak akan pernah menggapai mimpi itu.

Dia sudah berbulan-bulan tidak sekolah karena tidak memiliki ponsel. Sekarang, dia duduk di kelas 2 SMA yang terletak di Kabupaten Sumenep. Tidak banyak yang bisa diusahakan agar dia tetap bersekolah. Sebagai gantinya, Matsuro malah menjodohkan dia dengan anak dari temannya. Seolah, jika tidak bersekolah, Tamin harus segera menikah.

Malam itu, ketika anjing menggonggong begitu lancang di hutan—Tamin memiliki pemikiran untuk kabur dari rumah. Dia ingin meneruskan sekolahnya dan menjadi mahasiswa. Karena menjadi mahasiswa artinya menjadi pembela rakyat kecil—setidaknya itulah yang dia pikirkan ketika melihat televisi. Walaupun Tamin tidak tahu apakah ada rakyat besar, karena semua rakyat adalah kecil kecuali pemerintah.

Selain itu, dia sangat ingin menjadi seorang pembicara di suatu acara penting yang ditampilkan di televisi, seperti Najwa Shihab. Bukannya menjadi petani yang terus-menerus membungkuk di sawah sampai punggungnya terkelupas dan memerah.

Namun, ketika pulang ke rumah dan menemukan ayahnya tergeletak begitu saja di tikar dengan mulut menganga, Tamin merasa bersalah dan malu dengan pemikirannya. Matsuro yang bekerja sebagai petani itu telah berhasil membesarkannya sampai menjadi seperti ini. Lihat saja tangan kasar yang pecah-pecah itu, wajah berkeriput yang tidak menunjukkan usia asli Matsuro, dan badan kurus serta hitam legam karena sering bersanggama dengan sinar matahari. Semua itu untuk keluarganya.

Tamin seharusnya bersyukur dengan kehadiran ayahnya.

Saat itulah ayahnya bangun untuk mengingatkan Tamin tentang tikus di lumbung. Itu memang tugas Tamin untuk mengecek apakah tikus sudah menggerogoti semua persediaan padi mereka. Namun, bukan tugas Tamin untuk mengecek tikus berdasi dimanapun mereka berada.

***

Kematian Matsuro tidak terlihat ketika lelaki itu mencangkul sawah yang sudah dibajak untuk ditanami bibit padi. Dia memutuskan untuk menanam padi lebih cepat agar bisa segera menjualnya, sehingga dia bisa membelikan Tamin sebuah ponsel untuk bersekolah. Meskipun dia telah menjodohkan Tamin dengan anak temannya, dia tetap ingin Tamin memiliki masa depan yang berbeda. Namun, tidak ada jaminan apakah masa depan yang diharapkan itu akan tercapai. Jadi, lebih baik berjaga-jaga dengan menjodohkan mereka saja.

Saat dia membungkuk untuk menarik rumput liar, dia merasa dunia berputar begitu cepat. Tangannya yang kasar berusaha menggapai udara. Ketika akhirnya tubuhnya roboh, dia bisa melihat langit cerah tanpa awan di atasnya.

Tiba-tiba dia ingat hari ketika dia masih kecil dan mandi air hujan bersama teman-temannya. Anak yang mandi air hujan itu, bercita-cita menjadi penjelajah dan menemukan berbagai jenis binatang. Sayangnya, anak itu menua dan mati sebagai petani. Pekerjaan yang paling tidak dihargai di negara ini.

Suyasmi menemukan tubuh suaminya ketika datang untuk mengantarkan nasi jagung beserta air minum. Dia berlari tanpa berteriak. Pemandangan tubuh Matsuro yang tergeletak di tengah sawah mengingatkannya pada ayahnya yang meninggal di sawah juga. Dan, mungkin setiap petani juga meninggal setiap harinya. Tidak di sawah, tidak di rumah, tidak di mana-mana, tetapi dalam kebijakan pemerintah.

***

Editor : Irna Rahmawati

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran