Seni Perempuan Pekerja, Sebut Saja Begitu

Lintang Zulfikar
1315 views

Bukan waktu yang tepat saat tidur sewaktu masih bekerja. Tapi apa boleh buat, jika yang membayar sudah kecapaian dan terlelap kemudian. Ya, tidak ada salahnya jika aku meniru si Tuan untuk tidur sejenak. Toh, sewaktu kerja diriku cuma tiduran dan mengikuti instruksi si Tuan. Lebih-lebih sudah disewakan kasur empuk, rugi jika tidak ditempati selama tenggat waktu.

 “Ah! Masih saja make-up ku kenakan.” Batinku saat mengucek mata dari tidur singkat. Tanpa sengaja mata yang terkena gesekan tangan menyebabkan bulu mata buatan patah, padahal baru sekali pakai dan masih punya nyawa lagi. Kerusakan bulu mata buatan itu membuat perasaan jengkel timbul, terlebih bisa menganggu perasaan hatiku seharian nanti.

Perasaan jengkel menumpuk lagi ketika dering alarm telepon milikku berbunyi, lagu Bohemian Rhapsody memecah keheningan. Artinya, Subuh sudah menjelang dan waktu bersama si Tuan sudah habis. Aku masih malas-malasan untuk mengangkat badan ini, mengingat tidur yang sangat sekejab. Tanpa tergesa aku membuka selimut yang masih halus membungkus badanku, menerima dinginnya udara AC yang cepat menusuk kulitku.

Selesai bersahabat dengan udara di kamar tersebut. Aku mulai melangkah menuju muka cermin, terdiam dan duduk menghadap. Cukup lama untuk sekadar menyapa diriku sendiri. Tapi, apakah harus lama untuk mengenali diriku sendiri? Sebatas dari raga saja, padahal setiap hari bertemu, setiap hari melekat, dan setiap hari melihat. Atau mungkin yang aku punya bukan ragaku? Punyaku yang sesungguhnya sudah terjual ke orang lain. Mungkin juga dipinjam dan digondol maling. Kemungkinan terburuk raga yang aku kenakan saat ini milik orang lain. Aku tambah cermat melihat setiap lekukan yang terpasang di ragaku. Kosmetikku persis dengan mbak jamu gendong yang sering aku beli. Model rambutku itu juga milik sales rokok. Anting, kalung, dan gelang pun semerek dengan perempuan pasar malam. Terdengar gila, buah dadaku pun terlihat persis dengan kawanku yang rajin seliweran di sebuah video. Dan aku mencoba berdiri lalu berputar badan sembari tetap mencermati isi cermin, melihat pinggulku atau bukan. Ternyata sama saja, pinggul montok dan lentik itu juga milik pedangdut saweran. Ah, aku sedikit terpukul menyaksikan tubuhku tidak selangka yang kukira, malah ikut menyamai deretan perempuan yang kukenal. Namun, ada satu hal yang mampu membuat senyumku terukir, ialah terdapat toh yang melingkari pusarku. Setidaknya inilah kepunyaanku yang membedakan dari lainnya.

Aku menyadarkan diri bagaimanapun di hadapan cermin inilah tetap raga kepunyaanku sendiri, hanya saja untuk tetap mendapat perhatian aku butuh eksperimen sedemikian rupa terhadap raut wajahku. Pernak-pernik make-up dan perawatan sebagai modal penting. Kecantikan ragawi sudah sewajarnya nyawa utama pemikat lelaki. Dan aku memilih dan sepakat perihal itu. Untuk urusan badan, aku serahkan kepada lelaki kesepian yang sanggup membayar. Sentuhan lelaki kesepian mampu memermak tubuhku secara berkala. Bukankah sentuhan dapat merubah bentuk? Seperti pengrajin patung, memoles marmer dengan teliti agar tercipta pose patung yang diinginkan. Hanya berbedaannya, sentuhan yang aku terima adalah sentuhan pemangsa.

Aku kembali duduk pada muka cermin. Olesan kosmetik perlahan mulai lepas tersapu kapas dan micellar water. Usapan itu kian berhasil melunturkan foundation dan bedak, menunjukan dahi tanpa pelapis kecantikan lagi. Bentuk dahi yang jenong memperlihatkan aku seorang pemikir. “Andai saja ada bibir yang mau melekat bukan sekadar mampir,” lirihku sepontan sambil tetap menepuk-nepuk jidatnya dengan kapas.Bisa saja aku menemukan bibir yang setia dan membangun rumah tangga, terlebih citra pekerjaanku tak tersohor dibanding teman seprofesi dan tak jarang lelaki memuji aku. Pernah seorang lelaki yang aku kenal, mencoba melamarku. Ia seorang juragan truk dan memiliki beberapa hektar tanah. Namun, aku takut pada lelaki yang memiliki pendapatan terlampau besar dan aku tolak lamarannya. Sebab, aku berpikir hanya dengan kekayaan, lelaki akan dengan mudah menguasai segala dan menundukkan kehidupanku.

Sudah bersih dahiku dari kosmetik, kini lanjut ke bagian kulit muka yang lain. Ketika menyentuh bagian bibir, ingatanku melayang pada ibu. Bibir itu satu-satunya turunan dari ibu, lekuk wajah lain condong pada bapak. Ingatan masih terbayang ibu, teringat pula kenapa aku bisa terjerumus ke dalam pekerjaan semacam ini.

Dulu sewaktu aku masih sekolah, aku melihat ibu menangis sejadi-jadinya setelah mendengar kabar burung bahwa bapak telah main serong dengan perempuan lain. Kata orang, perempuan itu memiliki profesi yang sama denganku saat ini. Buah peristiwa itu, keluargaku tak harmonis lagi. Tetapi, kasus yang sangat mengubah pikiranku ialah ketika ibu terbelenggu keadaan. Hati ibu sudah tak bisa mencintai bapak, namun perkara menceraikan tidak mungkin. Jelas perkara kasih sayang pada anaknya, ibu sangat piawai. Tetapi, siapa lagi sumbangsih pencari nafkah untuk anaknya kalau bukan bapak. Andai kata ibu mampu mencari nafkah sendiri, pasti terlaksana perceraian itu. Naas, ibu tak mahir bidang apapun. Pernah mencari-cari pekerjaan asisten rumah tangga, namun di desanya tempat tinggal tak ada yang cukup untuk menggaji seorang asisten rumah tangga. Akhirnya pasrah tetap menjadi seorang istri. Sekalipun, bapak tetap menafkahi keluarganya, hati ibu tetap patah.

Sembari tetap melenyapkan olesan gincu, aku rasa pilihanku menjadi perusak rumah tangga, sebut saja begitu, memanglah egois. Bukan aku tak peduli pada ibu, aku lebih memikirkan masa depanku nanti. Hanya tak ingin merasa patah hati semacam ibu. Dan aku memilih pekerjaan ini untuk waspada jika suami masa depan suka main serong, aku sudah lebih dulu mengkhianatinya. Jadi, tidak ada lagi patah hati yang mengekang. Toh, lelaki mana yang setia pada seorang tuan putri saja, langka.

Dan ketika suami masa depan tahu akan masa laluku yang suram, sedang suami masa depan sangat suci masa lalunya. Aku tidak ambil pusing dan selalu membela diri, “Gaji kamu terlampau kecil jika dibanding apa yang aku lakukan, Mas.” Batinku membayangkan kemenangan atas bapak ketika masa itu. Tawa kecil mengudara dalam kamar, aku merasa menjadi perempuan egoistis sedunia.

Puas dengan bermacam-macam adegan dalam kepalaku, tak terasa wajah sudah terbebas dari segala make-up. Dalam cermin, raut muka asliku sangat terlihat jelas, membuat hati berasa ingin segera hilang dari muka cermin. Dan kata hati itu aku menuruti, meninggalkannya kemudian beralih ke kamar mandi yang berada di pojok kamar. Aku menikmati guyuran air shower yang membersihkan badanku dari sisa kehangatan semalam.

Bersama balutan handuk aku kembali ke kasur dan langsung membangunkan si Tuan yang sangat lelap tidurnya. Waktu dengan si Tuan sudah benar-benar habis dan aku siap pulang.

“Bangun, Om,” bisikku sembari terus menggoyang-goyangkan badan si Tuan dan perlahan ia bangun dari tidurnya.

“Om, mana bayarannya, aku hendak pulang.”

Si Tuan mulai sadar dan memposisikan dirinya untuk duduk di kasur itu,”Kamu siapa?”

“Masa lupa sih, aku yang menemani om semalam.” Jawabku sedikit kesal.

“Bukan kamu, semalam aku dengan perempuan yang sangat cantik,” sangkal si Tuan dan matanya mulai liar terhadap diriku, “tapi badanmu aku suka, persis seperti perempuan semalam. Ayo kita bersenang-senang.” Mulut si Tuan yang tertutup diikuti gerak tangan meraih tubuhku.

“Aku tetap perempuan semalam dan harus pergi sekarang. Mana bayaranku!” aku berteriak dan berusaha menghindar. Sayang, si Tuan terlalu kuat merangkul dan aku tak sanggup mengelak.

Gelora subuh terbakar kembali.

Sleman, 2021

Editor : Irna Rahmawati

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran