Self Diagnose : Kebiasaan Buruk Netizen Masa Kini

Annisa Ayu Shafira
777 views
self diagnose
','

' ); } ?>

Self Diagnose menjadi topik yang tak kunjung usai dibicarakan dari waktu ke waktu. Seperti di Twitter, topik semacam ini seperti tidak pernah habis dibicarakan.

Dalam video yang diunggah TribunNews (20/3), dosen prodi psikologi UNS, Laelatus Syifa SA  menjelaskan Self Diagnose adalah ketika seseorang mencoba melakukan diagnosis diri sendiri, terhadap gangguan atau kesehatan mental yang dialami.

Belakangan ini, Perilaku mendiagnosis diri sendiri yang kemudian  menyebarkannya di media sosial seakan sudah menjadi kebiasaan yang melekat pada netizen Indonesia.

Beriringan dengan semakin terbukanya dunia informasi, netizen mendadak menjelma menjadi para ahli di suatu bidang. Dalam media sosial, tanpa latar pendidikan yang jelas pun seseorang dapat bebas melakukan sebuah diagnosis.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Dr. Celestinus Eigya Munthe dalam website Kemenkes mengatakan bahwa 1 dari 5 penduduk Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 20% populasi.

“Ini masalah yang sangat tinggi karena 20% dari 250 juta jiwa secara keseluruhan potensial mengalami masalah kesehatan jiwa,” katanya.

Bersamaan dengan tingginya angka tersebut dan faktor-faktor di atas, Self Diagnose seakan-akan tidak bisa tertahankan. Orang-orang mulai semena-mena melakukan diagnosis terhadap dirinya sendiri.

Dalam utas tersebut, seseorang menganggap dirinya mengidap Obsesive Compulsive Disorder (OCD). Hanya berdasarkan pengalamannya yang melakukan sesuatu berulang kali.

Meskipun begitu banyak juga utas yang memberi sikap kontra terhadap perilaku Self Diagnose tersebut. Seperti yang dilakukan oleh salah satu pengguna  twitter ini misalnya.

Dilansir dari sebuah postingan instagram, ada beberapa bahaya yang diakibatkan oleh perilaku self diagnose. Pertama mengalami Conformity Bias, suatu kondisi ketika individu hanya mempercayai informasi yang mendukung diagnosis pribadi. Akibatnya, ia menjadi menolak terhadap apa yang tidak sesuai dengan keyakinannya diawal.

Kedua, perilaku ini juga menyebabkan ketakutan yang tidak perlu (Unnecessary Scares) yang mana hanya akan membuat individu semakin stress.

Dilansir dari video yang diunggah detikcom,  Dra. A. Kasanda Putranto, psikolog klinis dan forensik ternama di Jakarta mengatakan, “bahayanya ketika kita memanfaatkan atau meyakini diagnosa masyarakat awam adalah berpotensi terjadi Over Reporting. Yaitu kondisi dimana gejala atau kondisi diyakini lebih berat dari sebenarnya. Begitu juga sebaliknya, jika terjadi Under Reporting akan sama parahnya,” 

Kasandra menghimbau masyarakat agar lebih peduli dan sadar akan pentingnya kesehatan mental. Ia meminta, jika ada dugaan gangguan untuk segera menghubungi ahli terkait.

“Saya harap masyarakat menjadi lebih peduli dan sadar pentingnya kesehatan mental, dan jika memang ada dugaan gangguan mohon segera datang kepada para ahli yang memiliki kompetensi terkait.”

BACA JUGA Tulisan lain dalam rubrik Liputan dan Berita atau tulisan Annisa Ayu Shafira lainnya.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran