Sajak-Sajak Madno Wanakuncoro (2022)

Madno Wanakuncoro
817 views

Babangus Society

telah datang suatu masa
di mana manusia tidak lagi pandai
menyembunyikan
kebodohannya

berisik tongeret di jagat medsos
membikin gempa
dan tanggul narsisisme
pecah
menjadi banjir

tapi tak ada influencer hari ini
yang ada tinggal pedagang dan sales
atau paling banter es-pe-ge peninggi badan

cuma yang paling mengkhawatirkanku
adalah ketika pedagang cum es-pe-ge as-salesi ini
mendadak jadi penceramah agama
atau malah ilmuwan dan pejabat negara

maka tak tertahankan lagi
telah sempurna suatu masa
di mana manusia tidak lagi insecure
untuk memamerkan kedunguannya

mungkin dengan membual lewat jempol di jagat maya,
berjoget riang dengan pusar yang bisa bicara
atau setidaknya memposting pantat yang berfoto selfie

ah, tapi kenapa aku jadi kerasukan netizen nyinyir begini
barangkali karena sorot lampu leptop dan hape
yang konon sudah cukup sakti
untuk membajak kepribadian
“sorot lampu mampu mengubah watak seseorang,”
begitu kata selebriti yang tak lagi payu

maka tak tercegah lagi
telah juga tiba suatu masa
di mana manusia sepertiku
tidak lagi malu untuk mengutuk orang lain
yang berwajah persis seperti wajahku

sembari berkicau tentang peradaban dan ilmu sosial
yang masih perlu diperbarui
sembari lupa membungkam mulut dan akal
yang tak pernah berhenti mencaci maki


(Yogya, Maret 2022)


Puisi yang Kupetik di Warkop Pinggir Jalan

sehabis pulang dari desa
kini aku kembali ke habitat mahasiswa
dan menyimpang ke sisi Jalan Dipatiukur
untuk memesan seteguk jamu bahagia

saat duduk di warkop un-story-able ini
di bawah kursi kupungut sehelai kertas
ternyata berisi sebuah puisi
yang tertulis di struk belanja

mungkin penulisnya masih muda dan mentah
kudapati coretan di sana sini
mengganti kata dengan kata lagi

oh, tapi sedikit beda
dan baru kali ini kutemukan puisi
di struk belanja
dengan sejumlah bahasa Sunda di dalamnya


“etika protestan dan spirit kapitalisme
menjadi diktum kosong
yang membuat murangkalih parasea
calling dari Calvinis hanya akan berakhir
menjadi remah wacana yang tak berguna
bahkan untuk sekadar membeli surabi
apalagi SPP anak sekolah”

kulanjutkan mengejanya:
“…tapi biarlah waktu menjadikannya debu
sambil aku tak boleh lupa
agar senantiasa nyumput buni dinu caang
ah, tapi aku lupa kalau tak punya ayang
yang ada cuma anying
: anyingaseo!”

(Blandongan, Maret 2022)

Puisi Lantur ala Perantau Yogya

Antara kue putu dan berlembar tissue, kau pilih yang mana? Sebab Yogya kini sedang dilanda hujan angin, dan musim pilek sudah jadi pertanda bagi kesepian akut di kosan apek ini.

Bagaimana kau membayangkan ada segelas kopi buatan kekasih? Sementara patriarki dan feminisme saling berselingkuh di bawah meja resepsionis penginapan satu malam yang bisu. Apalagi membopong kekasih di hari Sabtu bukan suatu aib ketika Alkid dan Beringharjo masih ramai dengan kontras wacana di pasar klithikan Sentir yang remang.

Tapi, hey, ada pameran seni di Taman Budaya. Kemarilah menggandeng tangan dinginku ini. Kehangatan puitis jemarimu kubutuhkan untuk mengelap habis sisa mendung di sudut kumuh pikiranku yang tak berhenti cerewet—soal agama dan makelarnya di mimbar khayalan.

Maka bersama kue putu dan berlembar tissue serta jemari puitismu itu, semuanya akan kupakai untuk menyeka embun di pelupuk mataku yang telah kehabisan cara untuk meredakan tangis secara diam-diam—terutama sewaktu hujan terlanjur terang.

Kembangsoka, Maret 2022

Curhat Senda Gurau

perkenalkan namaku senda gurau
suasana yang dilarang ada
di tengah meeting dan majelis taklim

atau mungkin juga haram hadir
dalam sidang parlemen
atau perceraian rumah tangga

orang-orang hanya memerlukanku di saat
mencecap segelas jus atau kopi
di kafe-kafe necis nan instagramable

namun jangan sampai overdosis ketika membawaku
terutama saat bertamu
ke orang yang lebih tua

sebab kami hanya dianggap sahih dan maslahat
ketika muncul di acara teman sebaya, reuni, warkop tepi jalan,
atau sewaktu berkemah dan tamasya

bagi mereka yang berpendidikan
konon aku cumalah
pemanis keadaan

sedang bagi mereka yang pemabuk dan berandal
aku sangat dibutuhkan sebagai obat
pencegah jackpot dan mual

apalagi buat si miskin
mereka akrab denganku
sekalipun harus dibumbui ironi dan kegetiran

(Umbulharjo, Maret 2022)

Ingatan di Atas Pohon

agar tanah mau menjamu rintik puisi
upeti apa yang bisa kuberikan
selain bisik cerita
dan jedag jedug sisa umurku

sementara kepala pengar diserbu tanda tanya
yang berkicau panjang tanpa ingin
memberi jeda
untuk aku bernapas
barang sehembus saja

di batang atas pohon kersen ini
sembari memanjat dan menyerap gerak udara
khayalanku bangun
menjajaki rumpun kampung halaman
yang terselip dalam labirin isi otakku

terkenang bahwa aku kembali menjadi bocil
yang melipat riang pesawat kertas,
mengadu bola-bola pasir, kelereng,
dan senar layangan
sewaktu risau dewasa
belum sekeparat ini

(Muja-Muju, Maret 2022)

BACA JUGA Tulisan lain dalam rubrik Puisi dan tulisan Madno Wacakuncoro lainnya.

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran