Sebelas Colen di Malam Lebaran: Perjalanan Lintas Ruang-Waktu ke Betawi-Jakarta

Silvy Rianingrum
1282 views
Sebelas Colen di Malam Lebaran

Jakarta adalah kota yang memiliki citra mentereng, megah, dan agung. Jakarta kini terkenal dengan gedung pencakar langit, mal-mal besar, dan perkembangan teknologi yang katanya pesat berkat pembangunan masif dan cepat di sana. Namun, dengan semua ini, seperti yang dibilang Rendra dalam Sajak Sebotol Bir (1977), “Peradaban apakah yang kita pertahankan? […] Kita telah dikuasai suatu mimpi untuk menjadi orang lain. Kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri.” Jakarta memang telah dan terus akan berubah, tetapi tak jarang perubahan yang berselimut pembangunan itu begitu menyesakkan bagi jati diri ke-Betawi-an Jakarta. Perubahan yang dijanjikan akan membawa kemajuan justru seringkali menghasilkan kegelisahan dan peminggiran. Inilah yang diangkat Chairil Gibran Ramadhan (CGR), penulis berdarah Betawi kelahiran Jakarta Selatan, dalam kumpulan cerpennya yang bertajuk Sebelas Colen di Malam Lebaran.

Sebelas Colen di Malam Lebaran adalah kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Masup Jakarta pada tahun 2008. Meskipun terbit 13 tahun lalu, antologi yang terdiri dari 17 judul cerita pendek ini masih sangat relevan dengan Jakarta sekarang. Jakarta yang kini masih berjuang mempertahankan budaya leluhur, tradisi, keberagamaan, dan keberagaman di tengah era globalisasi. 

Meskipun begitu, CGR dalam kapur sirihnya menuliskan, “Saya tidak bermaksud menulis sejarah, hanya kisah,” JJ Rizal—peneliti sejarah dan sastra—memang benar, “antologi ini dapat mengantarkan kepada sejarah sosial Betawi-Jakarta di suatu periode dalam keanekaan budaya dan masyarakatnya.” Inilah salah satu keunggulan antologi cerpen CGR ini.

Setiap cerpen sangat mengakar pada keseharian dan kebudayaan Betawi-Jakarta. Bahkan, dialog-dialog dan sedikit bagian narasinya pun ditulis dalam dialek Betawi. Untuk mempermudah pembaca memahaminya, CGR menyertakan catatan kaki yang menerangkan kata tertentu dan/atau menjelaskan konteks sosio-historis yang makin memberikan kedalaman bagi cerpen-cerpennya. Penggunaan dialek Betawi ini pun membuat pembaca merasa lebih dekat dan seolah berdialog secara langsung dengan tokoh dalam setiap cerpen. Selain menggunakan  dialek yang memunculkan ciri khas Betawi, beberapa cerpen CGR dalam antologi ini menampilkan corak islami. 

Corak islami dalam Sebelas Colen di Malam Lebaran ini tak ubahnya adalah penggambaran keberislaman masyarakat Betawi-Jakarta yang kritis. Umat Islam seringkali mempertanyakan keislaman seorang muslim tanpa malu dan tanpa ragu. Jika beribadah karena ingin bertemu ustaz tampan, apakah boleh? Jika beribadah hanya ikut-ikutan, apakah sah? Jika lupa beribadah karena terlalu kenyang makan di bulan ramadan, apakah wajar? Jika tidak beribadah sunah karena pekerjaan, apakah etis? Jika seorang muslim beribadah, tetapi tetap melestarikan kebudayaannya, apakah islamnya kaffah? Membaca cerpen CGR yang bercorak islami tidak hanya membuat pembaca merenungkan keberagamaan di ruang-waktu yang senantiasa berubah, tetapi juga membuat pembaca menyadari the judgmental nature dari tokoh-tokoh muslim dalam cerpennya: suatu penggambaran muslim yang terlalu akrab bagi saya pribadi. Tak hanya itu, hal akrab lain dari kumpulan cerpen CGR ini adalah pengalaman Betawi yang dikisahkannya. 

Pengalaman Betawi-Jakarta dalam Sebelas Colen di Malam Lebaran ini begitu mirip dengan pengalaman yang saya rasakan sebagai orang yang tinggal di Bekasi—salah satu wilayah Betawi Ora. Hal ini paling saya rasakan ketika membaca cerpen berjudul “Dahulu”. Cerpen ini menampar saya dengan kesedihan yang selama ini mati suri, kesedihan yang sepertinya sudah muak bangun ketika melihat perubahan demi perubahan yang tidak hanya tak ramah bagi kebudayaan dan eksistensi Betawi, tetapi juga bagi alam dan habitat hidup Betawi. Meratapi ini, narator orang pertama jamak dalam “Dahulu” berkata, “Zaman berubah menjadi semakin maju, namun orang berubah menjadi semakin kurang ajar pada alam. […] Zaman berubah menjadi semakin maju, namun orang berubah menjadi semakin kurang ajar pada sesamanya.” Inilah realitas muram ‘kemajuan’ zaman: lunturnya adab dan kemanusiaan. Jika demikian, pantaskan kemajuan ini disebut kemajuan dan bukannya kemunduran? Tanpa adab dalam per-adab-an, apakah benar peradaban masih ada? Apakah benar peradabanlah yang dipertahankan? Yang pasti, benar adanya pertanyaan dalam sajak Rendra yang disebutkan di awal: “Peradaban apakah yang kita pertahankan?”

Secara keseluruhan, cerpen-cerpen CGR dalam antologi ini menghanyutkan pembaca dengan kisahnya yang mengalir. Cerpen-cerpen ini terbagi menjadi beberapa segmen dan fragmen, sehingga tidak membosankan bagi pembaca. Selain itu, cerpen-cerpen CGR dalam antologi ini (1) mengenalkan ulang serta meluruskan kisah sejak lama, seperti kisah jawara dan Si Manis Jembatan Ancol dan (2) mengandung sentilan yang menyasar ambivalensi manusia modern, kontradiksi diri, dan benturan baik-buruk yang kelabu. Semua ini diolah CGR dengan tepat dan disajikannya dengan nikmat sesuai porsi. Sejatinya, Sebelas Colen di Malam Lebaran adalah perjalanan lintas ruang-waktu ke Betawi-Jakarta, suatu perjalanan berkesan yang mengajarkan banyak hal tentang perubahan zaman dan manusianya.

BACA JUGA Tulisan lain dalam rubrik Resensi dan tulisan Silvy Rianingrum lainnya.

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran