PERJAMUAN AIR GARAM DI TANAH TANPA ROTI

Ajeng Sri Rahayu
62 views
','

' ); } ?>

***

Sahut-menyahut suara burung berdansa dengan dedaunan kering yang menari diterpa angin panas awal musim kemarau. Ranting-ranting menggeliat, jatuh ke tanah melambai pada sesiapa yang lewat. Ia menjadi penunggu jalan tanah setapak, melambai, meminta dialihkan ke tepian.

Panas terik matahari membakar muka kulit tanganku yang susah payah menahan sekarung gandum agar tidak bergeser dari tetap berada di punggung. Udara musim kemarau tidak seteduh ucapan Para Pemintal Doa. Tidak pula sesejuk janji surga. Sungai yang kupijaki kini pun airnya tidak sampai mata kaki. Arusnya bahkan tak ubah bisik doa seorang musafir yang kehausan sehabis badai pasir di tengah gurun. Yang tidak yakin mana yang akan datang lebih dulu, ajal atau segelas airkah yang melunasi lemas dan dahaganya.

Namun, pada tanah-tanah gersang, pada ladang-ladang yang kering, angin sejuk datang pada kami dari semak-semak yang belum lagi tandus hingga kemarau di penghujung tahun. Semak-semak yang menjadi dewi bagi binatang ternak yang tidak bisa memakan batang gandum dan padi. Sungguh kasih Tuhan memang tidak pernah berhenti menyertai. Bersyukur atas angin yang sejuk, dan semak-semak pengganti gandum dan rumput, ujar Para Pemintal Doa yang menyusuri jalanan desa setiap hari ketiga di awal minggu kedua.

Desa kami benar diberkahi. Dari ujung ke ujung negeri, mereka menamai kami tilas surga yang tertinggal di bumi. Sebab kecintaan kami pada dunia telah dikikis sepenuhnya. Sebab dunia tidak lagi membuat kami buta.

Lihatlah anak-anak berbudi baik yang tidak pernah lekang tawa dari wajah mereka, meski kurus kering badannya, meski compang-camping sandang, dan nyaris roboh pendopo rumah ibu-bapaknya. Sudah diajari mereka bahwa mengeluh adalah tindakkan hina. Maka diterima penderitaan dengan sukarela. Keimanan yang utuh dan luhur membuat tempat ini sendirinya memiliki nampan persembahan lebih banyak gandum di piring mereka.

Setelah kususuri jalan tanah setapak itu dengan kaki tanpa alas, sampai aku di Pasar Ujung Desa. Kugulingkan dengan hati-hati sekarung gandum hasil panenku di tepian jalan. Pasar ini bukan tujuanku. Tidak lebih hanya sekedar tempat singgah. Aku menunggu kereta milik tengkulak yang akan membeli gandumku dan membawanya ke kota. Meski harganya jauh lebih murah, tetap lebih baik daripada aku sendiri yang menjualnya eceran. Bisa habis sampai berbulan-bulan. Pun uangnya belum tentu akan terkumpul. Bisa saja menguap dalam bentuk hadiah, sedekah, atau bantuan sukarela bagi para penyamun dan perampas.

Aku duduk di samping gerobak pedagang buah. Sebuah apel yang meski kering dan tidak terlihat segar lagi itu mungkin bisa menghilangkan dahaga dan membasahi kerongkongan keringku. Hanya tentu kukubur dalam-dalam hasrat itu. Jika tidak ingin wajahku memar karena telah dengan tidak bijaknya memilih sebuah apel daripada dua piring gandum.

“Nak, sungguh terlihat palung kegelapan di matamu.” Seorang kakek pemikul kayu menghampiriku. “Jangan biarkan dunia mengotori hatimu yang suci. Minumlah air ini. Seteguk yang kauminum dengan keikhlasan lebih baik dari sebuah apel yang kaugigit dengan nafsu dan perasaan cinta dunia.” Tangan keriputnya menyerahkan kantong kulit air kepadaku. “Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa anak muda kami yang semakin menjauh dari keimanan. Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa anak muda kami yang semakin menjauh dari keimanan.”

Dia dengan baju putih usang lusuh itu pun berlalu. Napasnya yang sudah tersenggal karena memikul dua ikat kayu bertambah berat karena bibirnya terus-menerus bergumam. Entah bisa disebut bergumam atau tidak jika orang-orang sampai melihat kepadanya dan melihat kepadaku. Bagai saja aku ini seorang heretik yang lantang berkata tidak akan sudi lagi mendatangi Upacara Perjamuan Air Garam.

Kuteguk air di tanganku. Kubayangkan seteguk sari apel segar yang rasanya manis sedikit asam, melewati kerongkonganku yang kering kerontang. Bagai air gunung yang pertama kali melewati tanah tandus di hujan pertama setelah kemarau panjang. Hanya saja, rasanya tetap hambar. Aku menghela berat dan berdecak. Kupejamkan mata ini lagi, menelannya seteguk kembali. Coba kuingat-ingat petuah Para Pemintal Doa yang berkata, “Kalau kausungguh beriman, seteguk air bahkan bisa mengisi penuh ususmu sampai berhari-hari.” Setelah membuka mata, aku kembali tersenyum. Tidak berani berkata bahwa air itu bahkan tidak mampu menuntaskan dahaga.

***

Masing-masing satu keresek garam di tangan kanan dan kiriku. Bersyukur aku karena harga garam tidak semahal gandum. Juga Para Pemintal Doa tidak meminta gading lembu dan buah segar. Jika iya, mungkin aku tidak akan menjadi petani dan mengolah ladang, melainkan pergi ke pusat kota, mengambil langsung makan malam raja. Tidak apa setelahnya dipenggal tentara. Setidaknya pembelaanku di hadapan Tuhan adalah tidak ingin Ibuku mati kelaparan, menyiksa diri puasa empat hari tiga malam karena merasa bersalah tidak dapat melakukan persembahan di malam perjamuan.

Kulihat orang-orang sama hilir-mudik membawa sekantong garam masuk ke dalam rumah mereka. Beberapa tadi berjalan beriringan bersamaku, beberapa lagi hanya berjalan melewat atau sekedar melempar senyum saat berpapasan. Hari sebelum Malam Perjamuan memang tidak pernah sepi. Suara anak-anak yang menyanyikan syair saduran dari Kitab Firman mengganti keheningan desa dengan kehangatan. Atau para ibu yang kulihat tengah menyapu halaman rumah kini yang tidak lama lagi pun akan berkeliling menyebarkan air doa ke setiap sudut desa. Wajah-wajah yang begitu sumringah dan ceria. Meski aku tidak tahu kapan butir gandum atau manis madu masuk ke perut-perut mereka.

Namun, inilah yang disebut berkah. Para Pemintal Doa memuji kami yang tetap tersenyum meski di tengah perut yang lapar. Yang tidak pernah keluar sekali pun dari lisan-lisannya kecuali puji dan syukur. Mereka yang telah mengikis jauh dunia di bawah rasa percaya bahwa semua penderitaan yang mereka rasakan akan berbuah surga. 

Jalan kakiku terhambat oleh suara derap kaki kuda. Tidak lama, kulihat tetanggaku berlari dari dalam rumahnya, tergopoh-gopoh menciumi tangan seseorang yang bahkan belum beranjak dari tempat duduknya di dalam kereta. Wanita setengah baya itu adalah istri dari seorang pria yang tidak keluar rumahnya lebih dari tiga belas hari. Terakhir kujenguk kala bersama Ibu, badannya menggigil, dingin bukan main. Tatapan matanya kosong. Bibir pucatnya bergetar dengan kulit yang terbelah-belah. Bagai tanah yang tidak disirami hujan beberapa dasawarsa.

Dugaanku meleset jauh ketika yang datang bukan tabib dari kota, melainkan seorang Pemintal Doa dari Bukit Dara bersama kendi saktinya yang kutahu berisi air garam. Dan sehelai kain yang telah direndam bersama lontar bertulis firman. Ia datang tidak memeriksa nadi, tidak pula menyentuh dahi. Hanya mengulur tangan dari daun pintu. Ia berlutut, menegadahkan tangan, menghadap atap dengan mata terpejam. Atas adik perempuanku kala itu, ia berkata, “Tuhan tengah mengujimu dan putri bungsumu. Biarkan rasa sakit menggerogoti tubuhnya. Jika sakit dan derita telah menjadi saudara tua, maka surga telah di depan mata. Takdir Tuhan ada untuk dinikmati, Anakku. Jangan memusuhinya.”

Semua orang mengangguk penuh khidmat. Bahkan ibuku, yang tidak tahu akan kehilangan putri bungsunya setelah itu, mengabaikan kata-kataku untuk mencoba pergi ke kota. Pengobatan telah mujur di sana. Hanya siapa percaya pada kata-kata pemuda yang datang ke altar setahun sekali di hari raya? Penderitaan masyhur rencana ilahi, menghindari dan melenyapkannya adalah tindakan yang keji. Memilih tidak pasrah adalah bentuk pembangkangan. Setelah dipukuli rotan, tiga hari aku luntang-lantung di hutan, tidak dibiarkan pulang apalagi diberi makan.

Sampai aku di rumah. Pintu tidak perlu kuketuk karena terbuka lebar. Ibu duduk di tengah rumah, menghitung uang recehan dalam mangkuk tembaga di pangkuannya.

 “Untuk pajak udara, Nak,” jawabnya saat kutanya. “Bisa jadi nanti kita gagal panen lagi. Pemintal Doa bilang ini tahun-tahun sulit awal akan datang paceklik.

Kusimpan dua kresek garam itu di samping tungku yang sudah tidak berasap selama lebih dari dua hari. Kuraih arit yang tersampir di dinding anyaman rotan dan sapu lidi. Rumput di pekarangan sudah mati dan tidak elok untuk dipandang. Belum lagi kaki menapak tanah, sudah terkejut aku saat melihat tiga orang tentara berdiri tepat di halaman rumah tetanggaku. Yang datang tidak lama menuntun seekor sapi dari belakang rumahnya. Sapi berwarna cokelat terang yang masyhur sampai ke desa-desa seberang. Aku tidak tahu apa yang membuat wajahnya begitu semringah padahal pasti ternaknya hanya dibeli separuh harga.

“Sapiku akan dimakan raja!” teriaknya pada kami yang berjejer di masing-masing halaman rumah. “Doaku akan mengalir di tubuh raja, bersama keringatku di dalam daging sapi yang kurawat, yang akan menjadi bagian dari tubuhnya. Betapa terhormat aku! Tuhan tidak akan menolak doa-doaku!”

Turut senang aku mendengar itu. Sudah kuhampiri untuk ketepuk bahunya mengucap selamat, jika saja tidak teringat dua anaknya yang kemarin meraung karena tidak memakan roti selama dua hari.

***

Tidak berjarak sepanjang tiga langkah sepanjang jalan setapak, kecuali nyala obor memandu kami  menuju Bukit Dara. Lampu-lampu pijar menghiasi hampir tiap sudut puncak bukitnya. Tidak tahu aku dari mana mereka membeli minyak tanah itu padahal selama berbulan-bulan saja dagangan seorang penjual roti tawar tidak pernah habis sampai setengah karena tidak ada yang mampu membelinya. Tampak bodoh aku mengasihani orang-orang yang berjalan lunglai seperti mayat hidup kemarin. Mereka mungkin hanya berpura-pura tidak kaya. Atau melakukan penghambaan sempurna.

Bendera-bendera putih dinaikkan. Altar kayu dikelilingi lampu pijar, harum semerbak bunga mawar. Lain dengan bau buah busuk dan kotoran binatang ternak di rumah bawah sana yang kami tinggal dalam gelap gulita. Para Pemintal Doa, dengan jubah kuning bersulam emas, pun berdiri di atas altar, membacakan firman-firman dengan merdu dan penuh khidmat.

Di depannya, anak-anak duduk bersila berusaha khusyuk memanjatkan doa. Para ibu menangis terharu sambil memeluk bayi-bayi mereka. Dan para lelaki menunduk hening tidak ada barang satu pun yang membuka suara. Lantas seorang dari Pemintal Doa membuka upacara Perjamuan dengan khotbah.

“Bersyukurlah atas rasa lapar karena itu membuat kita ringan menuju surga. Jangan pedulikan gandum yang langka. Biarlah itu menjadi ujian agar surga semakin dekat pada kita. Syukuri semua rasa sakit karena itu sungguh menggugurkan dosa-dosa. Hanya sabar dan pasrah yang membuat dunia sempit ini terasa lapang.”

Air perjamuan dibagikan dalam sebuah cawan tanah liat. Orang-orang bagai unta yang kehausan. Bagai seorang musafir yang meneguk sari buah anggur setelah dua bulan terkatung-katung di padang nan gersang. Bagai pahit air garam terselimuti manisnya iman. 

Aku yang berdiri di kejauhan memilih berbalik badan. Kulewati kembali jalan setapak yang kulalui. Lalu di sebuah sumur tua aku berhenti. Dari lubangnya yang gelap itu, hela napas beratku bergema. Aku masih terbayang bagaimana rasa sepotong apel di pasar tadi pagi. Atau dimasak apa kiranya sapi gemuk tetanggaku itu oleh raja malam ini.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya