Saya jadikan tulisan ini sebagai surat terbuka untuk para calon diktator di mana pun Anda berada. Alangkah masyhur pepatah bahwa raja yang berhasil adalah mereka yang paling memahami rakyatnya sendiri.
Semakin hari, generasi menjadi tidak sama lagi. Jangan menggunakan cara-cara kolot untuk menghadapi generasi yang hidup di dunia dengan cara pandang sama sekali baru. Anda akan terlihat tolol jika masih menggunakan cara-cara lama pada generasi yang lahir dua puluh tahun setelahnya. Berikut kiat-kiat agar bisa menang menghadapi generasi yang hidup dan besar dengan teknologi.
Pertama, saat terjadi demonstrasi, jangan membuat propaganda seperti mereka membakar fasilitas umum atau melakukan penjarahan. Saya tahu, niat awal Anda mungkin ingin mengalihkan atensi masyarakat agar sibuk menyalahkan demonstran daripada fokus pada kelalaian dan ketidakbecusan pemerintahan Anda yang membuat mereka turun ke jalan. Di sinilah letak pentingnya memahami karakteristik masyarakat yang mengikuti mayoritas massa aksi ini hari.
Mereka adalah generasi yang lebih rela menghabiskan sepertiga dari gajinya untuk membeli kopi daripada ditabung untuk membeli rumah. Sulit untuk membuat orang percaya bahwa mereka bersedia membeli berjerigen-jerigen bensin hanya untuk membakar halte—yang juga akan mereka gunakan besok paginya.
Apalagi, Tapscott (2009) menyatakan bahwa generasi yang hidupnya bersinggungan dengan dunia digital setiap hari ini biasanya memiliki pola pikir yang lebih kritis. Hidup pada era banjir informasi membuat mereka terbiasa membandingkan dan menyelidiki satu informasi dengan informasi lain sebelum memercayainya. Bagai telah membangun sistem imun di dalam tubuh mereka. Digital Natives cenderung lebih waspada akan segala hal yang telah banyak merugikan kaum-kaum sebelum mereka. Termakan hoax dan provokator adalah sebuah aib karena mencerminkan kekolotan dan ketidakcermatan. Sekali lagi, pada era digital seperti ini, Anda tidak boleh mengabaikan kekuatan media informasi.
Juga, jangan menuding mereka sebagai otak di balik penjarahan di rumah-rumah para pejabat. Ingat, Anda tidak sedang berhadapan dengan generasi kolot, sumbu pendek, dan reaksioner. Generasi ini punya cara balas dendam yang jauh lebih efisien. Cukup dengan stalking akun-akun lama para pejabat-pejabat itu, lalu aib-aibnya diambil, kemudian dijadikan meme. Jauh lebih memuaskan ketika melihat mereka menjadi bahan tertawaan satu negara daripada melihat rumah-rumahnya dijarah. Namun, meski terdengar konyol, jangan menganggap remeh kebiasaan generasi muda ini. Shifman (2014) justru memperhitungkan produk budaya populer seperti meme sebagai bentuk komunikasi baru yang sederhana, tetapi memiliki pengaruh besar terutama di era digital. Di saat politisi rela mengeluarkan dana miliaran untuk membangun citra positif, sebuah meme bisa menghancurkan dan membangun citra baru yang lebih melekat di kalangan pengguna media sosial dengan bumbu humoris dan terlihat jauh lebih organik.
Kedua, jangan gunakan narasi usang seperti perbedaan suku, agama, dan ras untuk mengadu domba mereka. Sebab jangankan berbeda suku, agama, dan ras, pada yang berbeda alam dan dimensi seperti tokoh fiksi dan karakter video game pun mereka bisa jatuh cinta. Jangan harap narasi-narasi kolot macam itu bisa memprovokasi mereka. Paparan informasi dan budaya global membuat mereka memiliki pandangan humanis dan egaliter. Mereka terbiasa dengan keterbukaan dan keberagaman sehingga sangat sulit diprovokasi oleh narasi eksklusif dan sektarian (Tapscott, 2009).
Ketiga, generasi sekarang ini memiliki satu karakteristik khas yang perlu mendapat perhatian, yaitu oversharing. Sikap yang terlalu terbuka sering sekali membuat mereka bahkan sulit membedakan mana konsumsi publik dan mana yang rahasia. Terkadang, asas viral dijunjung lebih tinggi dari keselamatan diri dan negara. Oleh karena itu, berhati-hatilah jika berbagi informasi dengan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Saat menawarkan kerjasama untuk menjadi pendengung pemerintah, misalnya. Hal sesederhana salah menulis nama di kopi yang dipesannya bisa saja dijadikan unggahan di media sosial, apalagi ditawari menjadi buzzer pemerintah dengan upah puluhan hingga ratusan juta.
Apalagi, mereka memiliki satu kemampuan yang tidak Anda miliki, yaitu membuat dan membongkar narasi secara organik. Kemampuan mengolah fakta dan peristiwa menjadi konten-konten menarik itu perlu diwaspadai karena bisa membuat kebodohan sesaat Anda menjadi jejak digital yang akan menjadi bahan tertawaan satu negara.
Anda tidak lagi hidup pada era ketika satu-satunya berita hanya berasal dari ucapan pejabat atau televisi swasta. Maka dari itu, harus Anda sadari betul betapa penting dan besarnya peran media sosial dalam lanskap perpolitikan hari ini. Ruang media telah menjadi ruang perlawanan baru. Segala macam tipu daya dan intimidasi bisa berbalik arah. Alih-alih menjadi instrumen represi, malah berbalik menjadi alat memobilisasi massa. Aktivisme generasi sekarang ini jelas berbeda dari generasi sebelum-sebelum mereka. Kemajuan teknologi dan globalisasi membangun pola pikir mereka menjadi kritis, kreatif, sekaligus humanis yang diekspresikan dengan humor dan budaya-budaya populer.
Tapi ada generasi-generasi ini yang melempar molotov dan ikut menjarah! Sayang, itu namanya oknum. Kalau hanya bicara tentang itu, oknum polisi yang melindas orang sampai mati juga ada ‘kan?
Jadi, nasihat terakhir: jika Anda ingin berkuasa pada zaman ini, lupakan cara-cara lama. Lebih baik Anda membenahi pemerintahan yang amburadul daripada nanti dipermalukan oleh generasi yang paham betul cara mengolah data dan opini. Sebab, di medan perang narasi digital, satu cuitan cerdas bisa lebih berbahaya daripada seribu pentungan.
Referensi
Basuki, D. (2019, 27 April). Generasi digital yang mencengangkan. Indonesiana. Diakses dari https://www.indonesiana.id/read/19581/ns
Dewi, R. S. “MEME” sebagai sebuah pesan dan bentuk hiperrealitas di media sosial. [Universitas Andalas]. Diunduh dari https://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/mediakom/article/download/1879/pdf