Patah Hati Pas Pandemi, Sakitnya Meningkat Berkali-kali

Redaksi Pena Budaya
5560 views
','

' ); } ?>

Di balik usaha mereka, kesehatan mental remaja yang diputusin pas lagi sayang-
sayangnya yang putus cinta ketika pandemi, berhasil meningkatkan efek stress hampir seribu
persen. Wah iya, data dari mana, tuh? Nih, dari hati terdalam.

Kadang, saya gak habis pikir, kok bisa-bisanya sih kisah cinta yang saya bangun
bertahun-tahun malah ambruk begitu saja di waktu yang sangat tidak tepat.
Padahal saya sudah pernah membuat rencana, jika patah hati, saya akan bolos kuliah
lalu pergi mengelilingi Kota Bandung tanpa tujuan. Syukur-syukur jika hujan, saya mau
menangis sekeras-kerasnya agar dramatis perasaan saya lega.

Ehh, rencana saya malah gagal total. Patah hati yang saya alami malah dikirim Tuhan
ketika pandemi. Saya hanya bisa nangis pas mandi dan diam-diam meneteskan air mata saat
main handphone.

Pokoknya jika bisa, saya ingin patah hatinya diundur lagi!

Pembaca yang budiman, alangkah baiknya jika kita sama-sama menekan KPAI untuk
melarang kata “putus” daripada kata “anjay”. Sebab beban psikologis yang saya hadapi kami
(para korban putus pandemi) hadapi, sangat-sangat berat sampai rasanya susah makan dan
tidur.

Kalau sudah begini, keadaan hati dan fisik sangat rentan terkena penyakit.
Membahayakan banget kan untuk diri sendiri, keluarga, tetangga, dan tentunya Indonesia,
dong.

Kita semua kan gak mau angka Covid naik hanya karena diawali dari ketidaksehatan
mental remaja-remaja yang patah hati.
Sungguh, nasihat “makannya jangan pacaran” sangat tidak saya terima. Apalagi
bawa-bawa hukum agama. Lho, siapa yang pacaran. Orang kami hanya dekat bertahun-tahun
lalu tiba-tiba ada kata pisah.

Kok ada sih orang yang kayak gitu? Ya adaa.. Ini saya buktinya..
Kalau gitu saya tambahkan ungkapan permohonannya, ya, kepada KPAI, saya mohon
untuk melarang penggunaan kata “putus” dan “pisah” sebab perpisahan dengan atau tanpa
status sangat membuat para korban putus jadi manusia setengah gila.

Saya jadi berandai-andai. Andaikan saya putus bukan saat pandemi. Mungkin saya
akan ambil banyak kepanitiaan. Kalau bisa, sepuluh kepanitiaan dan organisasi saya ambil.
Saya bawa baju ganti ke kampus untuk menghindari nangis bombay di kamar kos,
tapi apa daya, pandemi membuat saya menahan tangis di rumah, meskipun di dalam kamar
saya sendiri.

Sekarang saya kecewa betul, kenapa orang tua saya belum kunjung membenarkan
pintu kamar yang copot dari enam tahun yang lalu! Saya ingin privasi untuk mengenang si
diaaa!

Untungnya setelah menangis berhari-hari, berhenti makan nasi, dan berteman dengan
lamunan tanpa henti, saya mulai membuat motivasi untuk diri sendiri.
Memang agak menyedihkan, tapi lumayan untuk membuat saya berhenti meneteskan
air mata barang satu atau dua jam.

Saya teringat pada Nabi Yaqub A.S yang kehilangan Yusuf hingga ia terus menangis
dan menangis, bahkan mata Nabi Yaqub hingga memutih lalu akhirnya buta karena
kebanyakan menangis.

Bertahun-tahun lamanya beliau kehilangan sosok anak yang sangat ia cintai, tapi
beliau tegar, hingga kemudian Allah mengembalikan Yusuf meskipun dalam waktu yang
sangat lama.

Saya jadi tersadar bahwa patah hati yang saya alami tidak ada apa-apanya dibanding
patah hati Nabi Yaqub.

Lagi pula, bukan hanya saya yang patah hati disaat pandemi begini. Mungkin ada
ratusan, ribuan, bahkan jutaan yang menanggung nasib sama. Sedang berjuang menangis di
bawah bantal agar sekolah, kuliah, atau pekerjaannya tetap lancar meski WhatsApp-nya jadi
sepi.

Barangkali orang yang memutuskan hubungan dengan saya pun merasa demikian,
tapi kami tidak punya alasan untuk saling bertahan.

Banyak kemungkinan dan cerita inspiratif yang membantu saya menghadapi patah
hati selama pandemi. Namun alangkah baiknya jika didukung oleh KPAI.
Kisah Yusuf yang kemudian dikembalikan kepada Nabi Yaqub oleh Allah meskipun
dalam waktu yang lama, membuat saya yakin bahwa akan ada cinta sejati yang nantinya tidak
perlu lagi saya tangisi.

Kita semua pasti mengalami banyak masalah, tapi kalau boleh memilih, saya yakin
bahwa orang-orang akan memohon agar masalah mereka diturunkan secara bertahap.
Bagi sebagian orang, termasuk saya, patah hati ketika pandemi ibaratnya seperti jatuh
tertimpa tangga. Suatu masalah yang menyakitkan belum selesai, tapi masalah lebih besar
malah turun tanpa ampun.

Meski begitu, selaku manusia yang punya keterbatasan, kita harus belajar lebih dalam
tentang makna kata “berserah”.

Penulis: Rahel
Editor: Azaina

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran