Paragraf Pertama

Wildan Nurhayat
92 views
','

' ); } ?>

“Demikian yang dapat disampaikan, saya Sri Wulandari melaporkan dari lokasi kejadian.” Seorang mahasiswi berseragam Pers Mahasiswa meliput aksi demo di depan gedung DPR bersama beberapa rekannya. Liputan itu disiarkan secara langsung di Instagram, dan seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya menonton siaran langsung itu.

“Ngapain, sih, orang-orang pada demo? Gak ada kerjaan banget, teriak-teriak gak jelas, panas-panasan, kayak yang bakalan didenger aja sama pejabat.” Mahasiswa yang menonton siaran langsung itu menggerutu, semua teman dekatnya ikut turun aksi ke Gedung DPR, dia selalu menolak setiap kali diajak, yang akhirnya dia duduk sendirian di kantin kampus, di meja yang biasanya menjadi tempat berkumpul teman-temannya.

Namanya Raka, mahasiswa tahun kedua yang terpaksa berkuliah di Fakultas Ilmu Budaya. Dia adalah anak yang cukup berprestasi sewaktu SMA, dia pernah mengikuti Olimpiade Sains Nasional dan mendapatkan medali perak, seharusnya prestasi yang ia raih layak membuat dia lolos seleksi perguruan tinggi, tetapi takdir berkata lain, kerja kerasnya tidak sesuai dengan hasilnya. Entah karena saingannya terlalu banyak atau jurusan dan kampus yang ia inginkan terlalu berat, ia tidak lolos mengikuti seleksi perguruan tinggi lewat prestasi. Ia tidak menyerah, ambisinya untuk mengejar jurusan yang dia inginkan yaitu Farmasi membuat dia belajar lebih giat untuk persiapan mengikuti seleksi perguruan tinggi lewat tes. Hampir setiap hari dia belajar, banyak buku latihan yang ia lahap, dan berkali-kali mengikuti try out. Tetapi takdir masih tak mengizinkan dirinya untuk berkuliah di Fakultas Farmasi, karena terlalu banyak belajar, ia lupa istirahat, sehari sebelum tes dia jatuh sakit, dengan badan yang tidak fit, ia memaksakan diri untuk mengikuti seleksi yang akhirnya membuat dia jatuh pingsan di tengah seleksi. Hal itu tentu membuatnya tidak lolos tes perguruan tinggi.

Raka pasrah, ayahnya bekerja sebagai karyawan di pabrik pembuatan tisu, gaji ayahnya hanya cukup membayar UKT jurusan termurah di kampusnya. Akhirnya ia mendaftar seleksi mandiri dan diterima menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Selama tahun pertama, dia sama sekali tidak menikmati masa kuliahnya, mempelajari sastra tidak pernah terbesit di kepalanya, ia sering bolos dan menitip presensi manual, tugas-tugasnya tak pernah ia kerjakan dengan serius, hanya memparafrase milik temannya, atau menggunakan AI. Kegagalan dalam mengejar jurusan impiannya membuat perubahan drastis pada sifatnya. Ia menjadi apatis terhadap banyak hal, jangankan untuk kebijakan pemerintah yang sedang ramai dibicarakan, nilai kuliahnya saja tidak ia pedulikan.

Seorang sekuriti menghampiri Raka, ia bertanya kenapa Raka duduk sendirian di kantin, sedangkan hari ini kuliah libur dan hari sudah mulai gelap. Raka tidak menjawabnya, ia beranjak pergi meninggalkan kantin lalu pergi ke parkiran dan pulang ke kosan dengan mengendarai sepeda motornya. Di tengah perjalanan, dia melihat banyak poster perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang ditempel di sembarang tempat. Lagi-lagi dia berpikir, “Kenapa orang-orang mau repot nempel poster? Kayak yang bakal dibaca pejabat aja.”

Sesampainya di kosan ia merasa lapar, lalu pergi ke sebuah rumah makan untuk membeli seporsi mi tek-tek, ia sudah lama tidak memakannya.

“Bang, mi tek-tek kuah satu porsi, makan di sini.”

“Pedes?”

“Iya.”

Beberapa menit kemudian semangkuk mi tek-tek kuah yang asapnya mengepul tersaji di depan Raka, ia pun melahapnya sedikit demi sedikit sambil menonton reels Instagram, lagi-lagi banyak berita yang membahas kebijakan pemerintah, ia muak dan akhirnya mematikan ponselnya. Selepas makan, Raka memberikan selembar uang sepuluh ribuan pada penjaga warung itu, tapi ternyata harga mi tek-tek naik menjadi dua belas ribu rupiah. Raka terkejut, ia tidak tahu jika harganya naik, akhirnya ia menambah selembar uang dua ribu dan pergi meninggalkan warung itu.

“Gila …, udah lama gak beli tiba-tiba naik harganya.” Raka berjalan dan melihat sebuah warung yang menyediakan sembako, ia memutuskan untuk membeli beras dan bahan masakan lainnya supaya menghemat pengeluaran, sudah seminggu lebih dia tidak memasak dan selalu membeli makan di luar kosan.

Raka membeli beras, telur, mie instan, minyak goreng, tahu tempe, dan beberapa bumbu instan. Saat hendak membayar, ia terkejut karena harga sembako pun naik hampir lima puluh persen.

“Ini serius harganya naik, Bu?” tanya Raka.

“Iya, Mas. Emang lagi naik dari sananya. Malah di warung lain lebih mahal lagi, itu juga kan telur yang Mas beli stok terakhir, karena di sini paling murah.”

Raka menggelengkan kepala, ia tidak tahu bahwa kebijakan pemerintah yang sedang ramai dibicarakan dan didemo teman-temannya ternyata memang separah itu. Tapi ia tak begitu memikirkannya, kenaikan harga sembako ia anggap sebagai hal yang memang biasa terjadi. Setelah selesai berbelanja, ia langsung pulang ke kosannya, di tengah jalan, ia membaca sebuah poster di tiang listrik yang bertuliskan “Katanya Dewan Perwakilan Rakyat. Rakyat mana yang diwakili?”

***

Keesokan harinya, Raka masuk kuliah karena harus presentasi di kelas, tugas presentasi berkelompok, mau tidak mau ia harus datang dan mempresentasikan materi bagiannya. Sebelum kelas dimulai, teman-temannya menceritakan betapa serunya aksi demo yang mereka ikuti di hari Minggu kemarin.

“Gila sih itu polisi yang dorong orang lagi orasi, padahal kita gak melakukan sesuatu yang anarkis.”

“Iya, kita cuma teriak doang, ngomong doang, minta para pejabat itu datang nemuin kita.”

“Demo baik-baik gak didengerin, demo anarkis…, ya gak baik.”

“Kalian gak takut ditangkap polisi apa? Diculik, dihilangkan kayak tahun sembilan delapan.” Raka yang dari tadi hanya menyimak ikut berkomentar. Suasana menjadi hening sejenak.

“Tumben lu ikutan bahas demo, biasanya gak peduli.”

“Iya, kemasukan apa lu?”

Raka menghela napas, “Bukannya gua mikirin dan peduli sama demo, ya gua takut aja kalian kenapa-kenapa.”

Teman-temannya tertawa mendengar itu, sampai akhirnya dosen yang mengajar mereka masuk ke ruangan kelas, dan seisi kelas pun menjadi hening.

“Ya kalo kita kenapa-kenapa, lu harus turun tangan buat bebasin kita, bantuin kita.” Johan, salah satu teman Raka berbisik-bisik, dan percakapan pun berakhir karena dosen mulai berbicara.

“Baik, selamat pagi mahasiswa sekalian, sebelum kelas dimulai, mari kita berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Berdoa, dimulai.”

Setelah berdoa, kelas pun dimulai dengan presentasi kelompok Raka, dia dan empat temannya mempresentasikan tentang budaya politik di Indonesia. Saat sesi tanya jawab, seorang mahasiswa bertanya bagaimana pendapat kelompok Raka jika keadaan politik Indonesia terus memburuk.

“Jika keadaan politik Indonesia semakin memburuk, tentu dampak buruknya akan meluas ke banyak tempat. Dengan kebijakan pemerintah yang sekarang saja, yang banyak membuat masyarakat marah karena tidak masuk akal, banyak massa yang mendemo ke gedung-gedung DPR. Sekarang banyak kenaikan harga sembako, bahan bakar, bahkan makanan di sekitaran kampus juga naik harganya. Kalau kenaikan harga itu masih berlanjut, mungkin bukan hanya kebutuhan pokok seperti makanan yang akan naik, tapi juga kebutuhan sekunder atau bahkan tersier yang lain. Nah, itu baru di bidang ekonomi, belum lagi yang lainnya.” Fathir, mahasiswa yang turun aksi demo kemarin menjawab pertanyaan itu.

Sesi tanya jawab berlanjut beberapa menit kemudian, mahasiswa ramai membicarakan kebijakan pemerintah, aksi demo, dan solusi dari masalah ini yang tidak kunjung diselesaikan oleh pemerintah. Lima belas menit terakhir, dosen menyimpulkan hasil diskusi, lalu menutup kuliah pagi ini, para mahasiswa pun berhamburan meninggalkan kelas. Raka dan teman-temannya pergi ke kantin untuk makan siang.

Di kantin, Raka tidak membeli makanan seperti biasanya, hari ini dia membawa bekal yang dimasaknya sendiri, kenaikan harga membuat dirinya harus lebih berhemat.

“Tumben bawa makan siang, Rak.”

“Biar hemat.”

Sambil mengobrol, Raka dan teman-temannya mulai menyantap makan siang mereka. Di tengah makan siang, ponsel Raka berbunyi, itu panggilan telepon dari ibunya. Ia pun mengangkat teleponnya dan menjauh dari meja makan.

“Halo, Bu. Ada apa?” Raka bertanya karena setelah mengangkat teleponnya, ibunya tidak berbicara sepatah kata pun.

Ibu Raka masih diam, terdengar suara samar percakapan ibunya dan orang lain dari ponselnya, mungkin ayahnya.

“Halo, Bu….” Raka mulai khawatir dengan ibunya.

Akhirnya, ibu Raka mulai berbicara, ibu Raka menceritakan dengan hati-hati bahwa tadi pagi ketika ayahnya bekerja, dia dipecat oleh atasannya tanpa diberikan pesangon. Ayahnya tidak tahu apa alasan di balik pemecatannya, yang dia tahu memang banyak karyawan pabrik itu yang sama-sama dipecat tanpa alasan yang jelas. Ibunya hampir menangis mendengar kabar itu, orang tuanya tidak memiliki sumber penghasilan mulai sekarang. Raka ikut terdiam, dia juga merasa sedih, sekaligus marah kepada atasan ayahnya.

“Untuk uang kuliah, kamu jangan khawatir, bapak masih punya tabungan untuk membiayai kamu beberapa minggu ke depan. Kamu yang benar saja kuliahnya.” Ibunya berusaha menenangkan kekhawatiran Raka.

Meskipun sudah merasa lebih tenang, tetapi dia tetap marah atas kejadian ini, ia butuh tempat pelampiasan, akhirnya ia menceritakan kejadian ini kepada teman-temannya.

“Kayaknya ini ada kaitannya sama demo kemarin,” ucap Alfan, teman Raka yang sangat suka membahas politik.

“Ah, lu, semuanya aja dikaitin sama demo.” Tukas Raka.

“Tapi emang bener, sebelumnya juga pernah ada PHK besar-besaran gara-gara kebijakan pemerintah. Ini ada hubungannya sama krisis ekonomi yang terjadi sekarang, jadi banyak pekerja yang dipecat karena duitnya gak cukup buat menggaji mereka. Mungkin bapak lu juga begitu.”

Raka terdiam, masuk akal juga pikirnya. Teman-temannya mengajak dia untuk ikut aksi demo lagi minggu depan dan seperti biasa, Raka masih menolak. Di kantin, mereka melihat dua orang mahasiswa berseragam pers sedang meliput dan mewawancarai salah satu penjaga kantin, samar-samar terdengar bahwa mereka sedang membahas kenaikan harga.

Setelah selesai makan siang, mahasiswa pers itu berganti narasumber, mereka mewawancarai Raka dan teman-temannya terkait kenaikan harga makanan sekitaran kampus. Raka pergi duluan, dia tidak mau menjadi narasumber, dia masih berpikir bahwa mau berbicara sebanyak apa pun, suaranya tidak akan didengar, dan berita-berita dari pers mahasiswa itu hanyalah formalitas.

Di tengah perjalanan menuju kelas untuk mata kuliah selanjutnya, di majalah dinding Raka melihat poster yang berisikan informasi kelas pengganti hari ini. Saat membuka ponselnya, ternyata memang mata kuliah hari ini akan diganti ke kelas penulisan, seorang jurnalis senior akan menjadi pembicara pada kelas pengganti ini. Karena tidak ada presensi manual, Raka memilih untuk pulang. Siapa pula yang ingin jadi penulis? pikirnya.

***

Hari berganti bulan, aksi demo masih terus dilakukan setiap akhir pekan. Para anggota dewan masih tidak mau menemui pendemo, bahkan mereka bekerja dari rumah untuk menghindari kericuhan yang terjadi. Ya, banyak oknum yang memulai kerusuhan dengan melempar molotov, memukul aparat polisi, bahkan membakar fasilitas umum pada malam hari, lalu para oknum itu kabur begitu saja. Kerusuhan itu membuat beberapa pendemo ditangkap oleh aparat, entah dibawa ke mana. Bahkan Raka kehilangan kabar teman-temannya yang mengikuti aksi demo, hari ini adalah hari ketiga teman-temannya menghilang tanpa kabar. Ia kebingungan, tidak tahu harus melakukan apa, ingin lapor polisi, tetapi justru polisilah yang menangkap para pendemo.

Kuliah dilakukan secara daring, meskipun begitu, banyak mahasiswa yang tidak hadir, dan Raka salah satunya. Ia berkali-kali menghubungi ponsel teman-temannya, tetapi tidak ada jawaban, pesan yang ia kirim tidak dibaca, entah di mana mereka, bagaimana keadaan mereka. Ia ingin mencari teman-temannya ke tempat aksi demo kemarin, tetapi orang tuanya melarangnya, keadaan sedang tidak kondusif, bisa jadi justru dia ikut ditangkap oleh aparat.

Raka galau, dia mulai membaca-baca berita dan mencari informasi tentang demo kemarin, dia mencari nama teman-temannya, berharap berita yang selama ini dia sepelekan membahas kabar teman-temannya yang hilang. Seharian mencari informasi, tidak banyak nama mahasiswa yang dimuat di berita, mungkin belum terdata siapa saja yang hilang, mungkin juga media masih bungkam, entahlah.

“Ya kalo kita kenapa-kenapa, lu harus turun tangan buat bebasin kita, bantuin kita.” Suara Johan beberapa pekan lalu kembali terngiang di kepala Raka. Ia merasa memikul beban yang berat atas hilangnya kabar teman-temannya. Ia harus turun tangan, harus membebaskan mereka jika memang mereka ditangkap, entah dengan cara apa.

Di tengah kegalauannya, sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.

“Selamat malam, Kak Raka Pratama. Saya Sri Wulandari dari Pers Mahasiswa Lentera Budaya. Saya ingin bertanya apakah kakak salah satu teman dekat dari mahasiswa yang saat ini tidak ada kabar? Jika iya, saya minta ketersediaannya untuk menjadi narasumber besok pagi.”

Raka terkejut, mungkin UKM Pers Mahasiswa yang selalu ia anggap hanya formalitas ini menjadi jalan untuk mendapatkan informasi tentang teman-temannya. Ia menyetujui permintaan itu, besok dia akan menjadi narasumber, sekaligus mengajak mereka untuk bekerja sama menemukan teman-temannya. Malam ini dia mempersiapkan jawaban atas kemungkinan pertanyaan yang akan dihadapinya, juga beberapa rencana terkait pencarian teman-temannya itu.

Besok paginya, Raka pergi ke tukang fotokopi untuk menduplikat poster yang telah ia buat semalam. Poster itu berisi foto teman-temannya yang hilang dengan tulisan “Hilang karena bersuara. Mungkin kita korban berikutnya”. Setelah itu, ia menemui mahasiswa yang kemarin memintanya menjadi narasumber, untuk pertama kalinya dia bersedia menjadi narasumber. Wawancara pun dimulai, beberapa pertanyaan seputar teman-temannya berhasil dijawab dengan lancar oleh Raka.

“Sudah berapa kali teman kakak turun ke jalan mengikuti aksi demo?” tanya Sri Wulandari.

“Saya tidak tahu pasti kapan aksi ini dimulai, tapi kalau demo ini dimulai dari sebulan lalu, teman-teman saya ini mengikuti aksi setiap minggunya.” Raut muka Raka masih terlihat cemas dan khawatir.

“Apakah teman-teman kakak terlihat seperti orang yang berani dan akan melakukan hal anarkis jika situasi memburuk?”

Raka berpikir sejenak, kemudian menjawab. “Jujur, saya gak tahu apa yang terjadi di sana sebenarnya, tapi teman saya sangat menolak hal-hal yang anarkis itu, dan saya dengar dari mereka kalau pada aksi demo sebelumnya memang sempat terjadi kerusuhan yang dimulai oleh para oknum pendemo. Mungkin oknum itulah yang melakukan tindakan anarkis sehingga teman saya serta mahasiswa yang lain terkena dampaknya, dan akhirnya ditangkap atau entahlah saya tidak tahu.”

Beberapa pertanyaan dilontarkan lagi kepada Raka, akhirnya wawancara pun selesai dan pihak UKM Pers Mahasiswa itu menyetujui ajakan kerja sama Raka untuk membantu menemukan mahasiswa yang hilang. Mulai dari menempelkan poster orang hilang, meminta informasi dari Pers Universitas, bahkan dengan koneksi yang dimiliki Pers Mahasiswa itu, kantor berita pun bersedia untuk berbagi informasi dan membuat berita lebih banyak terkait hilangnya mahasiswa yang turun ke jalan ini.

Dengan banyaknya berita kehilangan dan tuntutan dari para netizen supaya aparat mengembalikan pendemo yang ditangkap, berselang beberapa hari akhirnya satu persatu mahasiswa kembali dipulangkan dan Raka pun kembali bertemu dengan teman-temannya. Para mahasiswa yang ditangkap itu turun dari sebuah bus milik kampus, Raka dan mahasiswa lain yang tidak ikut demo atau tidak ditangkap aparat menunggu di parkiran bus.

“Gila, gak nyangka lu bakal beneran turun tangan buat bantuin kita.” Johan memeluk erat tubuh Raka.

Raka menepuk-nepuk punggung Johan, air matanya mengalir. “Kalian diapain bisa sampe babak belur begini? Berhari-hari gua mikirin kalian … untung kalian masih hidup.” Raka terisak, Alfan dan Fathir ikut memeluknya.

Empat sekawan itu berpelukan, mereka tidak menyangka ketakutan Raka sebelumnya menjadi kenyataan, begitu pun dengan pesan Johan pada Raka. Sekarang Raka sadar bahwa bersikap apatis terhadap dunia politik, menyepelekan pers, dan berpikiran buruk tentang dunia kepenulisan itu bukanlah hal yang baik.

Beberapa hari kemudian, tidak ada lagi aksi demo, harga bahan bakar dan sembako kembali stabil, para pendemo berhasil membuat sebagian kebijakan pemerintah ditarik mundur, meskipun tidak bertemu langsung dengan para pejabatnya. Pada awal semester tiga ini, Raka mulai merasakan esensi dari jurusan yang ia jalani, dia mulai membaca buku fiksi, bahkan mendaftar ke UKM Pers Mahasiswa di fakultasnya. Ia berniat untuk menulis, menyuarakan kebenaran, membela kaum marjinal, dan melawan ketidakadilan. Tulisan pertama yang ia buat adalah sebuah cerpen tentang betapa pentingnya bersuara, betapa pentingnya media massa, dan tentang teman-temannya yang dibungkam oleh sewenang-wenang oleh pemerintah. Cerpen itu ia beri judul “Paragraf Pertama”.

***

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya