Ngobrol Bareng Ketua Satgas PPKS Unpad: Bagaimana Mereka Akan Mencegah dan Menangani Kekerasan Seksual?

Raihan Rizkuloh GP
864 views

Jalan panjang untuk menciptakan ruang aman dari kekerasan seksual di lingkungan Universitas Padjadjaran (Unpad) akhirnya menemui langkah pertamanya, terbentuknya Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual atau Satgas PPKS. 

Pada 29 Agustus 2022 kemarin rektor Universitas Padjadjaran, Rina Indiastuti, melalui  Keputusan Rektor Nomor 3881/UN6.RKT/Kep/HK/2022 secara resmi mengumumkan 9 sivitas akademika yang akan bekerja sebagai Satgas PPKS Unpad periode 2022-2024. Kesembilan sivitas tersebut berasal dari kalangan dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa. Tugas Satgas PPKS sendiri berdasarkan SK Rektor tersebut meliputi 9 hal yang bisa dibaca melalui tautan ini.

Menarik untuk menunggu kiprah dari Satgas PPKS Unpad ke depannya mengingat kasus kekerasan seksual di Unpad sendiri bukan isapan jempol semata. Misalnya, di 2021 kemarin, Aliansi Pers Mahasiswa (Persma) se-Unpad membuat sebuah liputan kolaborasi yang merangkum bagaimana kebanyakan dari para penyintas kekerasan seksual tidak berani atau kebingungan untuk melaporkan kejadian yang menimpa mereka. 

Di tahun 2022, berbagai kasus kekerasan seksual di Unpad juga menyeruak ke publik. Dimulai dari sanksi pemberhentian tidak hormat yang diberikan oleh BEM Mahasiswa Keluarga Pertanian (BEM KMFP) kepada stafnya bernama Gani Lanuda Afriadi, lalu dari RadioMU kepada Abdul Hafizh Ghozi Nur Ichsan, kemudian BEM Gama FIB yang menerapkan sanksi pemberhentian tidak hormat kepada stafnya DDM. Selain ketiga kasus tersebut, jumlah kasus kekerasan seksual di Unpad dipercaya lebih banyak, mengingat hanya sedikit korban yang berani untuk melapor. Rentetan kasus di atas membuktikan bahwa Unpad memang belum menjadi ruang aman dari kekerasan seksual. 

Pena Budaya berkesempatan untuk mewawancarai Ketua Satgas PPKS Unpad, Antik Bintari pada Jum’at (23/9). Antik sendiri adalah salah satu dosen di program studi Ilmu Pemerintahan Unpad. Sebelum menjadi Ketua Satgas PPKS, ia aktif dalam membantu hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan seksual. Kami menanyakan beberapa hal terkait apa saja rencana Satgas PPKS ke depannya dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. 

Pena Budaya: Kapan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk Penanganan Kekerasan Seksual Bisa Diumumukan ke Publik?

Antik Bintari: Kami perlu kehati-hatian dalam penyusunannya karena kami masih menunggu petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak) dari Permendikbud No. 30 Tahun 2021 yang terbaru. Waktu itu memang sudah ada juknis dan juklaknya, namun ternyata sudah diperbarui setelah adanya peraturan menteri terbaru.

Peraturan mengenai juknis dan juklak terbaru ini baru saja disosialisasikan kepada seluruh perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta, yang sudah maupun yang belum memiliki satgas. Kami gak  ingin terlalu terburu-buru dalam menyusun alur penanganan dan pengaduan, dikarenakan ingin sesuai prosedur juknis dan juklak yang dikeluarkan oleh Kemendikbud Ristek.

Sebetulnya, kami sudah ada draf alur penanganannya, tapi kami harus menyesuaikan lagi dengan juknis dan juklak terbaru tersebut. Namun pada dasarnya, meski masih menyusun alur penanganan (dan pengaduan), kami tetap menerima pelaporan. Insya Allah minggu ini drafnya sudah selesai dan kemudian minggu depan akan kami koordinasikan dengan pihak rektorat agar bisa tersebarluaskan.

Di poin ke-3 dan 9 dalam SK Rektor terkait tugas dan fungsi Satgas PPKS, apakah hasil survei dan laporan kegiatan “hanya” akan disampai ke pimpinan rektorat saja? Atau apakah akan ada forum dengan mahasiswa untuk menyampaikan apa saja yang sudah dilakukan oleh Satgas PPKS?

Sejauh ini saya belum bisa jawab, ya, karena belum ada koordinasi lebih lanjut. Secara formal Satgas PPKS itu berada di bawah rektorat. Jadi secara normatif, Satgas PPKS memang harus melaporkan survei dan laporan kegiatan tersebut pada rektorat. Namun, itu hanya normatif saja.

Idealnya, kami kan bertugas untuk seluruh sivitas, ya. Jadi dengan berbagai pertimbangan, saya, sih, berpikir positif bahwa itu (hasil survei dan laporan kegiatan) dapat dipublikasikan jika memang dibutuhkan dan menjadi keharusan. Kami juga masih mempelajari hal ini di juknis dan juklak terbaru. Jika memang diharuskan, ya, tentu akan kami lakukan.

Langkah konkret seperti apa yang akan dilakukan berkenaan tugas dan fungsi satgas nomor 4 (Menyosialisasikan pendidikan kesetaraan gender, kesetaraan disabilitas, pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi, serta pencegahan dan penanganan kekerasan seksual bagi warga kampus)? 

Untuk pencegahan, sebenarnya sudah mulai bisa dilakukan. Misalnya dengan FEB prodi Akuntansi, 2 minggu lalu kami sudah melakukan sosialisasi (kekerasan seksual) dengan mereka.

Kemudian, berkaitan dengan langkah pencegahan itu bermacam-macam, bukan hanya sosialisasi tapi juga edukasi. Misalnya, edukasi ini bisa dilakukan dengan memasukkan materi tentang pencegahan kekerasan seksual ke dalam kurikulum. Artinya, itu (kekerasan seksual) menjadi sebuah kewajiban untuk diketahui bersama.

Lalu kedua, kalo berbicara soal sosialisasi, kami akan bikin clustering. Jadi ada cluster untuk mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan (tendik). Selama ini, kami melihat isu-isu ini (kekerasan seksual) lebih banyak ditransfer knowledge-nya ke mahasiswa, tapi belum ke level dosen dan tendik. Jadi, ini menjadi sebuah target. 

Bagaimana penyusunan modul pembelajaran itu juga penting karena dengan modul pembelajaran ini, suka tidak suka, seluruh fakultas harus punya, tuh, proses penyosialisasiannya. Semisal di PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru), karena di PMB  materi ini harus tersampaikan. Ini menarik ya, karena kemarin Unpad belum ada tuh pas PMB masuk isu ini, tapi saya diundang oleh UNJANI pada saat PMB mereka. Saat PMB lalu, Unpad belum menyosialisasikan isu KS dikarenakan memang satgas juga belum terbentuk. Namun kampus lain mengundang kami, saya khususnya, untuk menjadi narasumber di PMB mereka (UNJANI) karena mereka juga membutuhkan informasi terkait pembentukan satgas. Saya harap sih ke depannya PMB Unpad ini terintegrasi, ya, dan saya pikir itu bukan sesuatu yang sulit kalo misalnya memasukan materi ini ke PMB.

Lalu mungkin yang agak ada tantangannya itu masuk ke kurikulum karena tidak semua fakultas itu concern (terhadap isu ini), kecuali fakultas-fakultas ilmu sosial yang sudah sangat familiar dengan isu-isu gender, kekerasan berbasis gender. Jadi nanti bertahap. 

Jadi ke depannya mulai dari ospek universitas, fakultas, bahkan sampai jurusan pun bakal ada pematerian soal kekerasan seksual?

Harusnya ada, karena pengalaman tahun kemarin sih sebetulnya Direktur Kemahasiswaannya, Pak Boy, itu mengundang Pusat Riset Gender —kebetulan saya juga dulu ada di sana, di kegiatan PMB di tahun 2021 terkait pencegahan kekerasan seksual untuk menindaklanjuti Peraturan Rektor terdahulu (tahun 2020) sebelum ada Permendikbud. Jadi, sebetulnya Unpad itu cepat tanggap, lho, sebelum ada peraturan menteri ini.

Bagaimana kelanjutan Hopehelps Unpad, Girl Up, dll? Apakah Satgas PPKS akan bekerja sama dengan mereka?

FISIP itu punya tim ad-hoc sebelum adanya satgas ini sebagai bentuk penanganan awal dan respons jika ada kasus kekerasan seksual. Kalo di FIB kan itu ada Halo, Bu Dekan. Meskipun baru, menurut saya ini merupakan inisiatif yang sangat luar biasa dari masing-masing fakultas, ya. Termasuk ada Hopehelps dan Girl Up, itu kan juga inisiatif dari mahasiswa. Jadi saya meyakini di tiap fakultas itu punya berbagai metode (pencegahan & penanganan), ada yang ada yang secara eksplisit tersampaikan seperti FISIP dan FIB. Tapi, ada juga yang mungkin berprosesnya itu tidak diformalkan. 

Kalau mengacu ke Permendikbud, kami itu kan harus bekerja sama dengan mitra lainnya, baik itu di dalam maupun di luar kampus. Kalo di dalam kampus, jelas kami harus bekerja sama dengan pusat-pusat riset, Biro Bantuan Hukum, layanan psikologi Unpad. Pokoknya semua lembaga yang memungkinkan seperti BEM Universitas, Fakultas, sampai Himpunan perlu jadi partner kami. Makanya, survei nanti juga harus dengan teman-teman statistik, dengan Pusat Riset Gender, dengan Girl Up, Hopehelps, itu semua harus bermitra termasuk dalam penanganan. Hal ini karena pintu-pintu pelaporan kan bisa dari berbagai macam, ya. 

Jadi, sistem pelaporannya bisa, misalnya, Hopehelps, Girl Up, Tim Adhoc Fisip, atau Halo Bu Dekan itu menjadi pintu pertama kami untuk kemudian memfasilitasi proses pendampingan menuju satgas. Jadi kan gak harus selalu lewat satgas. Malah ke depannya kami berharap tiap fakultas punya inisiatif itu sehingga berjenjang. Kalau menurut saya, tiap fakultas harus punya mekanisme internal yang kemudian nanti bisa dikoordinasikan dengan kami.

Bagaimana dengan pihak luar? Tentu kami harus bermitra dengan teman-teman yang mungkin nantinya kasusnya berhadapan dengan pihak luar. Misalnya ke depannya dengan pihak kepolisian —jika memang kasusnya terlaporkan ke sana. Kedua, dengan UPTD (Unit Pelaksana Teknik Daerah) di level Jawa Barat: ada UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak), bisa juga dengan P2PT2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak). 

Lalu, kemudian kita juga sangat mungkin bermitra dengan NGO (Non-Governmental Organization) seperti LSM dan layanan pendamping kasus yang sudah biasa menangani kekerasan seksual seperti SAMAHITA, LSM JARI, Yayasan Aretha, Sapa Institute. Jadi, sebetulnya kami sangat mungkin bermitra dengan semua yang memiliki concern di kekerasan seksual dan, saya pikir, itu akan sangat membantu. Untuk memastikan kampus aman, ya, memang harus bersinergi. 

Bagaimana tanggapan Ibu mengenai Unpad Cabul yang ramai kemarin-kemarin—dan diikuti juga oleh kampus-kampus lainnya?

Kalo ini versi statement saya pribadi, ya, karena saya tidak mewakili satgas untuk menjawab ini. Kalo saya melihatnya begini, semangat untuk membantu menyampaikan pesan-pesan bahwa ada kebahayaan pada sebuah perilaku itu dimaklumi dan bahkan adalah langkah yang baik gitu, ya. Namun niat baik dan langkah yang baik harus diikuti dengan metode dan cara yang baik gitu, lho. 

Kalo tidak, maka itu akan menjadi feedback yang buruk juga ke kitanya yang sebetulnya berniat baik. Kalo saya prinsipnya gitu: berniat baik atau ada rencana baik, harus dilakukan dengan cara yang baik supaya hasilnya baik. Karena kalau dilakukan dengan cara yang kurang tepat, itu malah akan jadi serangan balik, sebetulnya. 

Kedua, terkait pemilihan namanya sendiri ini menarik karena pemilihan diksinya pun salah. Tidak mungkin sebuah institusi melakukan kegiatan yang sifatnya kasuistik. Ini kan (yang melakukannya) personal. Jadi pemilihan kata pun akan sangat berbahaya, sehingga nantinya akan sangat mungkin jika Unpad pun memberikan somasi, lho. Kan jadi salah, ya? Padahal niatnya itu kan baik, dan saya sangat bisa memahami bahwa ada kegelisahan dari teman-teman mahasiswa, bahwa ada kecemasan, kekhawatiran. Tetapi, jika pola penyampaian kekhawatiran itu salah, maka akan berbahaya bagi yang bersangkutan juga. Misalnya dengan UU ITE, dan lain-lain.

Selain itu, perlu juga kehatian-kehatian bahwa dikatakan kasus itu “selesai” dan “tidak selesai” itu pun harus di ranah formal universitas. Katakanlah bahwa organisasi kemahasiswaan itu punya peran untuk mengatakan bahwa, “eh, lu itu salah!”, tapi untuk menetapkan sanksi secara akademik itu tetap ada di kami (universitas). Untuk itu, jika ingin menyampaikan sebuah pesan maka harus dibantu dengan strategi komunikasi yang baik.

Korban juga belum tentu nyaman. Nah, kita kan harus berperspektif korban? Apakah korban setuju dan memberikan consent (untuk mempublikasikan pelaku)? Jadi, kasus seperti ini memang perlu banyak kehati-hatian, karena menyangkut psikis baik pelaku maupun korban. Kalo perspektifnya korban, maka korban juga akan sangat terganggu, sebetulnya. Bisa jadi korban yang asalnya sudah gak mikirin lagi pelaku, tapi malah diingetin lagi.

Jadi respon saya, siapapun itu, jika ingin mengungkap sebuah kasus maka sebaiknya dipikirkan dengan baik-baik caranya yang tidak merugikan pelapor, tidak merugikan korban yang akan dibantu, dan juga tidak ada feedback buruk dari yang dilaporkan.

Bagaimana tanggapan Ibu soal banyaknya kampus yang belum memiliki Satgas PPKS-nya sendiri?

Saya, sih, maklum sekali. Artinya begini, kebetulan saja ya ini saya mengapresiasi rektor kita itu perempuan. Dengan adanya rektor perempuan, kami lebih mudah, ya, untuk menyampaikan pesan-pesan ini. 

Kedua, SDM. Karena, untuk membentuk Pansel (Panitia Seleksi) saja itu ada kriteria gitu, lho. Tahapannya, kan, ada rekrutmen pansel. Dan persyaratan yang paling berat, menurut saya, adalah mengetahui atau pernah melakukan pendampingan, memahami isu kekerasan seksual. Kan, gak semua orang atau kampus terbiasa dengan pola-pola itu, apalagi kalau kampus-kampus yang kecil. Itu mereka juga belum tentu punya strategi yang sistematis sebelumnya seperti kami, misalnya. Jadi, bisa dimaklumi.

Ketiga, isu kekerasan seksual itu sensitif, ya. Ada yang belum paham bahwa yang dimaksud kekerasan seksual itu apa. Jadi belum apa-apa udah prasangka, dianalisis dulu, dipelajari dulu, dan itu perlu proses. Menurut saya banyak pertimbangan dan gak masalah berproses itu. Karena ini sesuatu yang baru, tentunya tidak mudah juga. Kemarin saja pas penjelasan dari kementerian, banyak sekali pertanyaan bahkan sampai ratusan karena memang teknisnya tidak boleh sembarangan.

Bagaimana jika pelaku sudah menjadi alumni? Apakah itu tetap masuk pada concern Satgas PPKS?

Pada prinsipnya, kalo mau melaporkan mah melapor saja, ya, karena kami kan memang memberi ruang itu. Dan kami itu sifatnya memberikan rekomendasi, sebetulnya. Jadi semua keputusan itu ada di rektorat. Jadi ada pembuat keputusan lanjutnya, ya. Positioning kami itu sebenarnya menerima laporan, penanganan awal supaya minimal pelapor bisa tahu ada institusi yang membantu, lalu ketiga kami memberikan rekomendasi. Nah, rekomendasinya itu ditolak atau tidak, itu persoalan lain gitu, lho. Tapi, minimal kami sudah memberikan rekomendasi itu dan yang bersangkutan juga sudah nyaman menyampaikan ceritanya pada kami. 

Jadi kalo salah satu korban/pelaku sudah jadi alumni, Satgas PPKS dapat mengakomodasinya selama pelaku atau korban lainnya masih tercatat menjadi sivitas. Contohnya korban sudah jadi alumni, tapi pelakunya masih menjadi mahasiswa/dosen/tenaga kependidikan aktif maka itu 

masih bisa difasilitasi oleh satgas. 

*Bagi teman-teman yang ingin melaporkan kasus kekerasan seksual yang melibatkan Sivitas Akademika Unpad, untuk sementara bisa menghubungi Satgas PPKS melalui surel: satgasppks.unpad@gmail.com.

BACA JUGA Tulisan lain dalam rubrik Liputan dan Berita atau tulisan Raihan Rizkuloh G.P lainnya.

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran