Menjadi Pejabat DPRD adalah Jalan Ninja agar Acaramu di Tengah Pandemi Tidak Dibubarkan Pihak Berwenang

Redaksi Pena Budaya
763 views

Pandemi Covid-19 memang jadi mimpi buruk untuk sebagian besar orang, tak terkecuali ibu-ibu kita semua yang punya sifat ribet. Semenjak pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia, banyak aktivitas harian yang berubah total.

Dimulai dari belajar dan bekerja yang dipindahkan ke rumah hingga ibadah serta kegiatan-kegiatan lain yang berubah sifat menjadi daring. Aktivitas kita seolah-olah dibuat menjadi sepraktis mungkin dengan memakai pedoman menghindari kerumunan.

Dari sini sebenarnya sudah jelas hal-hal yang menjadi mimpi buruk bagi ibu-ibu kita yang punya sifat ribet.

Selain arisan dan ngerumpi yang sekarang jadi serba daring, kegiatan lain seperti syukuran keluarga—sunatan, pernikahan, syukuran usaha baru, dan tetek bengeknya—yang wajib bagi ibu-ibu dengan gengsi setinggi Burj Khalifa ini terpaksa harus menghadapi dua pilihan berat, yakni tetap ada tetapi daring atau ditunda hingga pandemi selesai.

Sayangnya, kita semua tidak tahu pasti kapan selesainya pandemi ini. Bisa tahun depan, lima tahun lagi, atau bahkan sepuluh tahun lagi (prediksi yang terakhir kebangetan).

Jadi, kebanyakan ibu-ibu yang biasanya menjadi ketua panitia alias yang paling ribet dalam kegiatan syukuran keluarga terpaksa harus melakukan kegiatan syukuran via daring, daripada nggak dilakukan sama sekali.

Bahkan, di beberapa tempat termasuk lingkungan sekitar rumah saya di kawasan Jakarta Utara, ada yang tetap nekat melakukan syukuran besar-besaran dengan hiburan full dangdut.

Meski ending-nya kita semua tahu, syukuran tersebut dibubarkan paksa oleh pasukan Satpol PP. Mungkin keluarga penyelenggara memakai prinsip “if you never try, you’ll never know”, jadi seenggaknya udah bangga mencoba walau akhirnya dibubarkan paksa.

Selain miris, melihat usaha-usaha seperti itu sebenarnya bikin iba juga. Membayangkan banyaknya uang yang terbuang demi membuat syukuran tetapi harus dibubarkan paksa.

Kalau kata anak sekarang mungkin “kentang” alias “kena tanggung”, tapi, ya gimana.

Tindakan pihak berwajib juga sudah betul, karena lebih baik dibubarkan daripada timbul klaster baru penularan Covid-19 yang dampak buruknya bisa lebih besar ketimbang sekadar rugi materi akibat syukuran.

Keibaan saya terhadap penyelenggaraan syukuran di lingkungan sekitar rumah semakin menjadi-jadi ketika melihat berita pesta pernikahan besar-besaran yang diselenggarakan saat pandemi berlangsung.

Pesta pernikahan yang digabung dengan syukuran khitan tersebut diselenggarakan di Tegal pada Rabu (23/9).

Parahnya lagi, ini bukan sekadar pesta pernikahan, tapi konser dangdut yang menghadirkan ribuan massa. Diketahui, kegiatan ini digelar oleh Wakil Ketua DPRD Kota Tegal, Wasmad Edi Susilo.

Dilansir dari Kompas, Kapolsek Tegal Selatan, Kompol Joeharno mengatakan bahwa yang bersangkutan telah mengajukan izin acara sejak 1 September lalu.

Awalnya, tuan rumah mengajukan izin untuk menggelar acara hiburan sederhana dengan panggung kecil untuk sekadar menghibur tamu.

Namun faktanya, pada hari H, tuan rumah menggelar konser megah dengan panggung yang besar.

Setelah tahu, Polsek Tegal Selatan langsung mencabut izin acara tersebut. Sayangnya, konser itu tetap digelar hingga malam hari dengan alasan sudah terlanjur menyiapkan acara.

Yang membuat diri saya gregetan lagi, mengapa pihak kepolisian tidak membubarkan paksa saja kegiatan tersebut? Padahal, sudah jelas-jelas hal itu melanggar hukum dan tidak memiliki izin dari kepolisian.

Polsek setempat beralasan bahwa pihak penyelenggara adalah seorang pejabat keterbatasan personel membuat pihaknya tidak dapat membubarkan jalannya acara. Jawaban yang tidak masuk akal sekali.

Bisa dibayangkan betapa kesalnya penyelenggara pesta pernikahan di lingkungan rumah saya ketika membaca berita ini, karena dirinya diperlakukan berbeda oleh pihak berwenang.

Mungkin dari sini mereka belajar bahwa satu-satunya jalan agar acara mereka di tengah pandemi tidak dibubarkan oleh pihak berwenang adalah harus adanya anggota keluarga yang menjadi pejabat daerah terlebih dahulu.

Dari peristiwa ini, saya mengambil kesimpulan singkat, bahwa menjadi seorang pejabat daerah itu memiliki keuntungan yang besar (sekali).

Sebab selain mendapatkan gaji bernominal tinggi, mereka juga sudah pasti mendapatkan privilegeprivilege seperti ini.

Tinggal bagaimana seorang pejabat tersebut bersikap; tetap menjunjung tinggi norma atau tega melanggar aturan demi mengambil keuntungan pribadi.

Penulis: Raihan Hasya

Editor: Azaina

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran