MENEMUKAN KEMBALI YANG HILANG MELALUI TOKOH MEI: INTERPRETASI PSIKOLOGI DALAM MY NEIGHBOUR TOTORO

Redaksi Pena Budaya
1052 views
','

' ); } ?>

 

My Neighbour Totoro atau secara bebas bisa diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Tetanggaku Totoro adalah film animasi keluaran tahun 1988 dari Studio Ghibli yang mengambil latar Jepang pasca-Perang Dunia II. Film ini adalah sebuah cerita sederhana dan tidak memiliki tokoh villain (penjahat) melawan superhero (pahlawan) seperti kebanyakan film animasi lain; hidup digambarkan sederhana, harmonis, dan masalah kehidupan bukanlah petaka melainkan hanya bagian dari rangkaian kehidupan itu sendiri. Secara awam film animasi ini terlihat seperti film fantasi anak-anak belaka tetapi, jika kita teliti karakter dalam film ini, kita dapat menggali pemahaman yang lebih luas mengenai pesan yang ingin disampaikan sang animator, Hayao Miyazaki, dengan menggunakan intrepretasi psikologi melalui karakter yang ada di film ini, khususnya Mei.

Miyazaki sendiri sebenarnya membebaskan para penonton untuk memiliki interpretasinya terhadap film ini. Seperti kebanyakan sastra anak-anak dan film anak-anak, Totoro adalah karya yang jika dinikmati oleh orang dewasa dan anak-anak akan menimbulkan efek yang berbeda. Bagi orang dewasa yang besar dalam kondisi hidup yang masih sederhana ketika teknologi belum banyak mencengkram kebahagiaan masa kecilnya, film ini lebih mirip seperti jalan-jalan ke dunia nostalgia masa kecil, sedangkan bagi anak-anak mungkin film ini adalah cerita fantasi yang sangat mengasyikkan dengan figur Totoro yang sangat menggemaskan. Bagi para kritikus, tentunya film Totoro dapat menjadi bahan yang asyik untuk dipreteli dan dianalisis baik simbol-simbol maupun segala elemen yang ada di dalamnya.

Shinichi Takada, seorang psikolog klinis dan juga seorang profesor psikologi, telah memelajari simbolisme dari Totoro, Sang Roh Penjaga Hutan. Tanaka berpendapat bahwa figur Totoro menarik perhatian anak-anak, salah satu alasannya adalah karena film ini menunjukkan suatu tantangan psikologis terhadap anak-anak ketika mereka beranjak besar. Dalam film ini, dikisahkan bahwa Mei dan Satsuki, dua anak gadis dari seorang profesor bernama Tatsuo Kusakabe, adalah anak-anak yang tumbuh sehat dan periang tetapi, terpisah dari ibunya yang menderita sakit berkepanjangan. Mereka sekeluarga pun pindah ke sebuah rumah yang dekat dengan rumah sakit tempat ibu mereka dirawat. Rumah yang disebut-sebut berhantu itulah yang kemudian menjadi jembatan bagi Mei dan Satsuki untuk bertemu dengan Totoro yang tinggal di sebelah rumah mereka, di rimbunnya hutan. Hilangnya sosok ibu dalam kehidupan merekalah yang membuat anak-anak dapat bersimpati terhadap keadaan mereka, terlebih ketika Satsuki dan Mei dilanda kesedihan ketika mengetahui ibunya tidak bisa pulang ke rumah karena kata orang-orang ibunya masih mengalami sedikit demam sehingga harus dirawat lebih lama.

Totoro adalah figur yang menggantikan peran ibu tersebut. Ia adalah pengejawantahan dari kerinduan manusia terhadap alam (Inggris: Mother Nature) yang bersifat memenuhi kebutuhan manusia dan sekaligus menjadi sahabat bagi kita. Apa sejatinya Totoro masih menjadi perdebatan, tapi bagi Mei yang masih kecil dan polos, dia adalah sosok yang hangat, enak dipeluk, dan melindunginya dari bahaya, entah itu pada saat malam yang mencekam seperti ketika Mei dan Satsuki harus menunggu lama ayahnya pulang dari universitas di tempat pemberhentian bus atau pun ketika ia tersesat di jalan menuju rumah sakit untuk menemui ibunya ketika ia sedih ibunya tidak jadi pulang. Dapat kita katakan bahwa sosok Totoro yang kita temukan dalam film ini adalah fantasi dan imajinasi Mei dan Satsuki, yang dalam cerita diceritakan Totoro mirip seperti tokoh dalam buku cerita yang mereka baca dan orang dewasa tidak dapat melihat Totoro maupun kawan-kawannya seperti Totoro berukuran kecil, Totoro berukuran sedang, ataupun kucing berbentuk bus (nekobasu).

 

Ilustrasi: Totoro menemani Satsuki dan Mei ketika menunggu ayahnya pulang dari universitas. Gambar dilansir dari https://www.rogerebert.com/reviews/great-movie-my-neighbor-totoro-1993

Dalam menginterpretasikan fantasi, kita dapat merujuk pada pemahaman Jungian. Menurut Carl G. Jung, seorang psikolog Swiss yang juga murid dan sahabat dari Sigmund Freud, dalam The Psychology of the Child Archetype pada esainya “Essay on a Science of Mythology: The Myth of the Divine Child and the Mysteries of Eleusis” mengatakan bahwa, produk aktivitas dari fantasi yang tidak disadari dapat ditafsirkan “sebagai gambaran diri terhadap apa yang terjadi pada alam bawah sadar, atau sebagai pernyataan dari jiwa tak sadar tentang dirinya sendiri” (74). Jung mengkategorikan fantasi ke dalam dua kategori, yaitu “fantasi… dari karakter personal (diri sendiri)” yang “kilasbalik pada pengalaman pribadi, memori yang terlupakan atau ditekan (masuk ke dalam ketidaksadaran personal)” dan “fantasi…dari karakter impersonal (bukan diri sendiri atau berupa sebuah figur—dalam kasus ini Totoro)” yang “tidak dapat direduksi ke dalam pengalaman-pengalaman pribadi di masa lalunya.” (74). Kategori kedua ini ia namakan ketidaksadaran kolektif.

Sederhananya, Totoro adalah fantasi dari Mei dan Satsuki yang menyentuh universalitas dalam ketidaksadaran kolektif manusia. Jung menyebut ketidaksadaran kolektif sebagai pemahamannya tentang keterhubungan seluruh umat manusia dalam berpikir dan bertindak yang didasari terhadap satu perasaan dan pemikiran yang diwujudkan dalam berbagai macam produk, contohnya saja kita dapat melihat persamaan antara cerita Oedipus (yang menceritakan kisah anak jatuh cinta pada ibu kandungnya sendiri) di Yunani dengan cerita rakyat Sangkuriang dari Jawa Barat, atau Amphitrite (dewi penguasa laut) dari Yunani yang perannya mirip dengan Nyi Roro Kidul. Keterhubungan berupa keserupaan inilah yang menjadikan mudah bagi seluruh penonton dari beragam usia dan gender untuk bersimpati pada tokoh Mei. Mei adalah simbol kesegaran masa kanak-kanak yang tumbuh secara organik bersama alam, bersahabat dengan alam, dan mengalami kesedihan anak-anak yang sangat mendasar: kebutuhan akan seorang ibu yang mengayomi dan melindunginya dari ancaman yang anak kecil belum mampu menghadapinya, dan Totoro memenuhi peran itu.

Mei adalah jembatan bagi pertemuan dunia roh (fantasi anak-anaknya) dengan dunia nyata. Tidak ada kesulitan bagi Mei untuk memercayai keberadaan Totoro, sosok yang tidak begitu jelas ada atau tidaknya. Sedangkan bagi Satsuki yang umurnya sudah beranjak remaja, agak susah untuk memercayai Totoro, meski dia memiliki keyakinan suatu saat akan bertemu dengannya. Karakter Satsuki mirip seperti Wendy dalam film Peterpan yang memiliki sedikit masalah dalam memercayai dunia Neverland, yang adiknya tidak memiliki kesusahan sama sekali dalam memercayainya. Dan bagi orang dewasa, rasa-rasanya sangat sulit untuk memercayai dunia ataupun tokoh yang tidak dapat terlihat secara kasat mata. Dengan menyelami dunia fantasi anak-anak seperti Mei dan Satsuki, kita dapat menemukan kembali apa yang sempat ada dan menghilang dalam hidup kita.

Pada saat film Totoro pertama rilis, terdapat tagline pada pembukaan film ini yang berbunyi wasuremono wo todokenikimashita yang dapat diterjemahkan secara bebas menjadi “kami membawakanmu apa yang telah kau tinggalkan.” Apa yang telah kita tinggalkan dengan gambaran Miyazaki dalam animasi ini berupa pedesaan yang masih asri, anak-anak yang bebas bermain di alam, makanan organik yang sederhana, dan tingginya kepedulian terhadap sesama, seperti ketika Mei hilang dan seluruh warga desa ikut dalam pencarian itu. Hal-hal kecil yang dulu tidak begitu terasa spesial kini menjadi begitu langka dan kita, warga masa kini, merindukannya.

Tatsuo, ayah Mei dan Satsuki, adalah seorang ayah yang mampu mendengarkan cerita-cerita fantasi anak-anaknya dengan penuh perhatian dan tidak menyangkal sedikit pun imajinasi mereka. Terbukti ketika Mei sempat hilang dari rumah dan ditemukan tertidur di hutan samping rumah mereka dan ia menceritakan pada ayahnya bahwa ia baru saja bertemu Totoro. Tatsuo tidak menyangkal cerita berapi-api dari Mei, ia mengatakan Totoro akan hadir jika ia mau, dan kita dapat melihatnya jika kita sedang beruntung. Tindakan ini dapat menjadi pedoman dalam bersikap pada imajinasi anak kecil, bahwa masa kecil adalah masa keemasan ketika anak-anak dibentuk kepercayadiriannya dan kemandirian berpikirnya, dimulai dari hal-hal yang mungkin terlihat tidak logis, tetapi ke depannya akan menjadi awal dari sumber pengetahuan. (TA)

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran