Fenomena seorang laki-laki mengenakan kebaya dalam acara wisuda beberapa waktu lalu memunculkan polemik di ruang publik. Peristiwa tersebut memantik diskusi luas di media sosial, terutama X, dan membuka kembali wacana mengenai hubungan antara simbol budaya, identitas gender, serta batas-batas kebebasan berekspresi dalam ruang publik yang sakral. Kebaya, yang secara historis dipersepsikan sebagai simbol identitas perempuan Indonesia, tiba-tiba dipakai dalam konteks yang tidak lazim oleh laki-laki memunculkan respons emosional yang beragam dari masyarakat.
Dalam kajian sosiologis, pakaian selalu dipahami sebagai penanda identitas yang berbicara lebih lantang daripada kata-kata. Ia menunjukkan gender, status sosial, bahkan posisi seseorang dalam masyarakat. Sebagai sarana komunikasi sosial, pakaian turut memengaruhi pembentukan identitas, baik identitas yang ditetapkan oleh struktur sosial maupun yang dicapai melalui pengalaman hidup. Identitas yang dikomunikasikan oleh pakaian juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, standar moral, dan estetika masyarakat. Karena itu, jenis dan properti pakaian tertentu dapat berubah seiring transformasi ekonomi, demografi, dan dinamika sosial lainnya (Eicher, 2015).
Dalam masyarakat Indonesia, kebaya memegang kedudukan simbolik yang kuat sebagai representasi identitas dan kehormatan perempuan. Ia membawa sejarah tentang bagaimana perempuan menegaskan eksistensinya di tengah tekanan kolonial dan patriarki. Ia bukan hanya pakaian tradisional, melainkan wujud konstruksi sosial tentang feminitas yang lembut, sopan, dan anggun (Trismaya, 2018). Dalam kebaya, perempuan menemukan ruang untuk tetap berbudaya sekaligus berdaya. Maka ketika kebaya dikenakan dalam ruang formal seperti wisuda oleh seseorang yang berada di luar kategori gender yang umumnya diasosiasikan dengannya, terjadi benturan makna antara simbol yang telah mapan secara historis dan penafsiran baru yang muncul dari konteks kekinian.
Dari perspektif budaya, simbol tradisional memang cenderung terbuka terhadap pembacaan ulang. Budaya bukan entitas statis, melainkan terus berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Karena makna-makna ini dinegosiasikan, ditafsirkan ulang, dan diterapkan dalam interaksi sosial yang nyata, budaya secara inheren bersifat dinamis dan adaptif (Geertz, 2017). Meskipun demikian, reinterpretasi terhadap simbol yang mengandung memori kolektif dan pengalaman historis, seperti kebaya, menuntut adanya sensitivitas kultural. Penafsiran baru yang tidak mempertimbangkan konteks historis tersebut dapat mendorong terjadinya pergeseran makna yang oleh sebagian kalangan dirasakan sebagai bentuk ketidakhati-hatian kultural.
Kita hidup pada masa ketika batas-batas identitas kian cair. Dalam ruang seni dan budaya, kebebasan berekspresi menjadi mantra yang sering diucapkan. Dari sisi etika budaya, kebebasan berekspresi memang diakui sebagai bagian dari dinamika seni. Bahkan, kebebasan berekspresi menjadi hak yang dijamin secara hukum, baik dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 3 maupun instrumen internasional seperti ICCPR Pasal 19. Namun, kebebasan tanpa kesadaran akan konteks dapat dinilai sebagai bentuk ego karena seni tidak pernah benar-benar bebas dari nilai. Ia selalu berdialog dengan budaya tempatnya tumbuh.
Sebagian pihak mungkin melihat tindakan mengenakan kebaya oleh laki-laki sebagai langkah progresif dalam membebaskan simbol budaya dari belenggu gender. Namun, perlu diketahui bahwa ada batas antara kebebasan berekspresi dan ketidaktahuan terhadap makna kultural. Penggunaan simbol budaya dalam ruang publik formal seperti wisuda perlu mempertimbangkan nilai-nilai emosional dan historis yang menyertainya. Tanpa mempertimbangkan konteks tersebut, ekspresi seni berisiko dibaca sebagai tindakan yang tidak selaras dengan etika budaya. Seni idealnya menafsir dengan empati, bukan sekadar meminjam simbol untuk menciptakan sensasi. Sebab ketika makna budaya direduksi menjadi alat provokasi visual, yang tersisa hanya estetika kosong. Indah dipandang, tetapi kehilangan jiwa.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa seni dan tradisi berada dalam hubungan yang dinamis. Seni memang membutuhkan kebebasan, tetapi kebebasan itu berjalan berdampingan dengan tanggung jawab sosial. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, setiap perubahan makna terhadap simbol budaya perlu melalui dialog yang peka terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Apalagi dalam konteks acara sakral seperti wisuda yang merepresentasikan pencapaian akademik, penghormatan, dan formalitas. Menggunakan ruang itu sebagai wadah ekspresi pribadi, tanpa memahami sensitivitas budaya, berpotensi menimbulkan ketegangan antara kebebasan individu dan etika kolektif.
Tradisi memang harus berdialog dengan zaman, tetapi dialog itu tidak berarti meniadakan makna lama. Perubahan idealnya lahir dari pemahaman terhadap akar sejarahnya. Kebaya dapat saja berevolusi pada masa depan, namun evolusi yang sehat adalah yang berangkat dari dialog dan pemahaman, bukan sekadar perbedaan demi sensasi visual. Ketika simbol budaya mengalami pergeseran makna tanpa refleksi etis, risiko yang muncul bukan hanya hilangnya nilai estetis, tetapi juga terputusnya hubungan dengan sejarah sosial yang membesarkannya. Di tengah arus kebebasan berekspresi, menjaga agar makna kebaya tetap hidup bukanlah tindakan menolak perubahan, melainkan upaya merawat warisan kultural yang menjadi bagian dari identitas bersama.
Referensi:
Eicher, J. (2015). Dress and Identity. Oxford Bibliographies.
Geertz, Clifford. (2017). The Interpretation of Cultures. Basic books.Trismaya, Nita. (2018). Kebaya dan Perempuan: Sebuah Narasi Tentang Identitas. Jurnal Senirupa Warna, 6(2), 151-159.