Janji Zorbas dan Bacaan Anak yang Dibutuhkan

Ananda Bintang
1073 views
','

' ); } ?>

Di suatu celah Instagram, di sore hari yang buta, saya menemukan satu novel anak yang saya rasa menarik untuk dibaca. Novel itu berjudul Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang karya Luis Sepulveda yang memiliki sampul buku menggemaskan dan ramah anak. Karya dari penulis asal Cile ini diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dan diterbitkan Marjin Kiri Oktober 2020 kemarin.

Novel ini merupakan novel pertama dari seri buku Marjin Kiri bernama Pustaka Mekar. Jika di tahun 2003-2008 kita akrab dengan KKPK (kecil-kecil punya karya), sebuah seri khusus bacaan remaja dari penerbit Mizan. Novel terbitan Pustaka Mekar ini menjadi sebuah bacaan alternatif bagi anak-anak selain KKPK.

Pustaka Mekar sendiri, bertujuan untuk memberi anak-anak bacaan yang mengasah kepekaan, empati, dan kesadaran kritis anak-anak melalui karya-karya berlatar aneka permasalahan sosial. Sudah barang tentu, proyek ini menjadi secercah harapan baru untuk perkembangan sastra dan bacaan anak di Indonesia ke depannya.

Sesuai judulnya, buku ini bercerita tentang seekor kucing yang mengajari seekor camar terbang. Berlanskap tema pencemaran lingkungan, novel ini agaknya sukses membuat adik saya—yang dulunya pembaca novel KKPK juga—semakin menyayangi kucing peliharaannya dan cukup tergugah hatinya ketika ia melihat ulah manusia yang merusak laut lalu mengakibatkan seekor camar terperangkap minyak dan tertinggal dari kawanan lainnya.

Camar yang kesusahan terbang itu tak sengaja bertemu dengan Zorbas, kucing hitam pesisir laut yang berniat untuk membantu camar itu lepas dari perangkap minyak kapal-kapal laut jahat. Di tengah sekaratnya camar itu, ia meminta Zorbas untuk menjaga anaknya yang sedang ia kandung. Ketika Zorbas dan kawan-kawan kucingnya hendak membantu camar itu, mereka menemukan sebutir telur keluar dari camar itu, yang sayangnya tidak bisa lagi ia tolong hajat hidupnya.   

Dari sini cerita pun dimulai. Luis Sepulveda dengan jelinya menggambarkan kekikukan seorang induk hewan yang harus mengasuh dan memberi kasih sayang lebih pada anak yang bahkan tidak satu spesies dengannya. Tanggung jawab dan janji antara dirinya dan induk camar sebelum meninggal itu membuat Zorbas harus menjaga dan menyayangi seorang anak yang berbeda dan lain dengan dirinya sendiri. Hingga camar itu (yang kelak dinamakan Fortuna oleh para kucing) menetas dan dewasa, Zorbas pun harus mengajarinya terbang untuk melanjutkan takdirnya sebagai burung camar.

Selain membuat pembaca (anak-anak) peka terhadap kondisi lingkungan bumi yang semakin hari semakin memprihatinkan, Luis Sepulveda juga berpesan agar para pembaca (anak-anak) menyayangi seseorang tanpa mengindahkan perbedaan diantara mereka. Meskipun ketika dewasa kita semakin mengerti bahwa setiap orang berbeda, bagi anak kecil yang baru mengenal dunia, pemahaman ini sangat penting ditanamkan sejak dini.

“Kami tidak sanggup menolong indukmu, tetapi kami bisa menolongmu. Kami melindungimu dari sejak saat kau menetas. Kami mencurahkan semua kasih sayang kami tanpa pernah berpikir untuk menjadikanmu kucing. Kami mencintaimu sebagai camar. Kami merasa kau juga mencintai kami, bahwa kami temanmu, keluargamu, dan kami ingin kau tahu bahwa bersamamu kami belajar sesuatu yang membuat kami sangat bangga: kami belajar menghargai, menghormati, dan mencintai makhluk yang berbeda dari kami. Mudah sekali menerima dan mencintai mereka yang sama seperti kita, tetapi mencintai yang berbeda itu sangat berat, dan kau membantu kami melakukan itu.” (hlm. 67)

Di Indonesia sendiri, kita acap kali mendengar—bahkan saya alami sendiri—sekelompok anak-anak yang malah enggan berteman hanya karena berbeda, baik itu secara fisik, ras, agama, dan lain sebagainya. Novel-novel yang bertemakan bagaimana kita menghadapi perbedaan seperti yang ditulis Luis Sepulveda inilah yang perlu direproduksi lebih banyak oleh penulis-penulis lain, apalagi oleh penulis-penulis sastra anak Indonesia.

Novel-novel anak harus memiliki cerita yang ringan dan variatif, juga harus memiliki sesuatu yang bertujuan untuk mengasah kepekaan dan daya kritis anak. Bukan novel-novel anak yang hanya berkutat pada tema gebyar-gebyar kekayaan, impian-impian tidak logis, menyebarluaskan agama dengan “memaksa”, dan hal-hal dangkal lainnya yang sebenarnya bisa merusak logika masa depan anak Indonesia di kemudian hari seperti yang pernah KKPK lakukan sewaktu dulu.

Editor: Irna Rahmawati

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran