Islam dan Agraria, Perihal Kendeng dan Kasus Lainnya

Redaksi Pena Budaya
777 views
','

' ); } ?>

Ilustrasi: M. Iqbal

Tanah merupakan salah satu unsur utama kebutuhan hidup manusia karena dari tanahlah manusia pertama hidup dan tanahlah tempat manusia itu hidup. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat pesat tidak berbanding dengan luas tanah sebagai faktor produksi yang bersifat statis. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan antara kapasitas penduduk dengan luas tanah yang ada. Luas tanah yang ada terus dieksploitasi guna percepatan infrastruktur di berbagai daerah di Indonesia. Akan tetapi hal tersebut tidak dibarengi dengan memperhatikan fungsi lahan sebagai sumber pangan atau dampaknya terhadap kehidupan masyarakat. Lalu bagaimana permasalahan agraria ini ditelaah dalam perspektif Islam?

Islam adalah agama rahmatan lilalamiin. Islam hadir membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, diantaranya aspek teologis, ekonomi, sosial—termasuk di dalamnya persoalan agraria, politik dan lainnya. Nabi Muhamad SAW bisa disebut sebagai revolusioner kehidupan masyarakat. Beliau merubah pola pikir, kepercayaan, sistem kemasyarakatan, takhayul, penindasan, perbudakan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat Arab. Pembebasan untuk mengangkat harkat martabat manusia.

Pada masa kenabiaan, ketika Nabi Muhammad SAW mendakwahkan ajaran Islam di Mekkah, masyarakat disana sedang berisitegang dengan beliau. Harta kekayaan menumpuk di tangan orang kaya tanpa adanya keadilan distribusi ditambah pula orang kaya tidak peduli dengan keadaan fakir miskin dan anak yatim. Tentu saja masyarakat bawah merasa ada marginalisasi sosial. Melihat kondisi itu, Nabi Muhammad merasa sedih dan dalam dakwahnya menyampaikan bahwa orang-orang kaya itu seperti mendustakaan agama (QS. Al-Maun).

Kondisi tersebut akhirnya memaksa 11 kepala keluarga bermigrasi ke Abissinia yang kemudian diikuti oleh sekitar 83 kepala keluarga lainnya pada tahun 615 M. Tahun berikutnya, Nabi Muhammad mengizinkan 300 orang pengikutnya untuk menghindari kekejaman kaum Quraisy di Mekkah secara diam-diam ke Madinah. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan Hijrah Kenabian. Sebenarnya, peristiwa hijrah Nabi bukan sepenuhnya pelarian, namun sudah direncanakan 2 tahun sebelumnya. Selain itu, masyarakat Madinah mengundang Nabi untuk dapat menyatukan suku Anshor dengan suku Muhajiriin. Dengan silaturahmi yang sudah terjalin dengan baik, Nabi Muhammad SAW menanamkan kesadaran pada suku Anshor untuk memberikan sebagian tanah garapannya kepada suku Muhajiriin. Hal itu dikarenakan mengingat suku Muhajiriin yang pada waktu itu tidak mempunyai harta dan tempat tinggal.

Islam memandang adanya kepemilikan tanah yang sah, antara lain kepemilikan tanah yang diperoleh dari:

  • al-istila’al-mubah (pemerolehan suatu kepemilikan yang tidak dimiliki oleh siapapun dengan jalan yang sah), seperti ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati/non-produktif),
  • ‘uqud (akad jual beli yang sah dan dilandasi kerelaan dua belah pihak),
  • khalafiyyah (pergantian status kepemilikan tanah yang sah) berupa tanah warisan atau ganti rugi (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, V: 501)

Di Indonesia pasca kemerdakaan, negara ini fokus menata sistem agrarianya dengan cara membuat UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) yang menjadi payung hukum atas berbagai pelaksanaan dan problematika agraria. Secara historis, pembentukan UUPA tak lepas dari konstribusi umat Islam didalamnya. Karena banyak dipelopori oleh ulama Islam, seperti diantaranya H.A Sjaichu, Manniudin Brojotruna dan Ketua DPR Gotong Royong K.H. Zainul Arifin seorang ulama NU.

Di era reformasi, peran UUPA tidak terlalu berdampak baik terhadap kehidupan masyarakat. Alih-alih mengatur dan memaksimalkan potensi agraria Indonesia untuk kesejahteraan rakyat, justru berdampak negatif bagi petani karena dampak dari percepatan infrastruktur yang terus digalakan tanpa memperhatikan faktor lahan produksi pangan. Sumber Daya Alam sebagai sasaran produksi terus dieksploitasi dan diekspor untuk memenuhi pasar tanpa memperhatikan kebutuhan dalam negeri, serta watak produksi yang mulai individualis-liberal mengakibatkan pemodal hanya memikirkan untung dan rugi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat luas.

Pembangunan pabrik baru di Kendeng oleh PT. Semen Indonesia jika ditelaah dengan prespektif hukum Islam jelas memenuhi kriteria kemungkaran, yaitu ditemukannya indikasi pelanggaran hukum dan adanya manipulasi data faktual di lapangan yang bisa dikategorikan berdusta. Tak hanya itu, adanya klaim kepemilikan tanah oleh satu pihak tanpa sepengetahuan warga setempat jelaslah pelanggaran hukum. Hal tersebut menimbulkan kesengsaraan masyarakat lantaran eksploitasi daerah pegunungan Kendeng yang berdampak pada daerah pertanian warga dan ekosistem.

Begitu pula dengan pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) yang sangat merugikan masyarakat. Karena daerah yang seharusnya merupakan daerah strategis produksi pangan berubah wajah menjadi daerah industri. Maka timbul pertanyaan, untuk siapa pembangunan ini? Untuk rakyatkah atau pemodal? (AL)

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran