Feminisme dalam “Enola Holmes”

Redaksi Pena Budaya
15940 views

Sumber foto: fixindonesia

[SPOILER ALERT!!!]

Siapa sih yang tidak kenal dengan Sherlock Holmes? Sang detektif jenius yang terkenal se-Inggris Raya berkat kelihaiannya dalam memecahkan kasus-kasus dari tingkat sulit hingga paling sulit.

Tidak heran jika kemampuannya yang terbilang langka ini membuahkan pujian dari banyak warga Inggris saat itu. Selain seorang detektif, Sherlock merupakan anak kedua dari tiga Holmes bersaudara. Kakaknya bernama Mycroft dan adiknya bernama Enola.

Perlu diketahui, rentang usia Enola jauh lebih muda 20 tahun dari Sherlock. Selain itu, kemampuan Enola ini bisa dibilang menyamai kemampuan Sherlock dalam memecahkan masalah.

Wah, siapakah gerangan Enola Holmes ini?

Enola sendiri hanya seorang gadis biasa. Namun sejak kecil, dia diajari oleh ibunya, Eudoria Holmes, untuk membaca, berpikir, bahkan bertarung sehingga Enola tumbuh menjadi berbeda dari gadis pada umumnya.

Enola dan Eudoria juga saling menyayangi dan mendukung satu sama lain. Bagi Enola, hidupnya sangat indah jika bersama ibunya.

Hingga semuanya berubah di hari ulang tahunnya yang ke-16 saat ibunya tiba-tiba menghilang.

Tidak hanya itu, di hari yang sama, sang ibu juga meninggalkan hadiah untuk anak putri semata wayangnya sebagai petunjuk pertama untuk mencari tahu keberadaan ibunya.

Di tengah-tengah pencarian, secara tidak sengaja Enola bertemu dengan Viscount Tewkesburry, Marquess of Basilwether yang melarikan diri dari keluarganya.

Pertemuannya dengan Viscount ini bisa dibilang ajaib. Enola awalnya tidak mau menolong pria itu, tetapi setelah mengetahui rencana pembunuhan terhadap Viscount, niatnya berubah.

Film ini merupakan adaptasi dari novel karya Nancy Springer, The Enola Holmes Mysteries: The Case of the Missing Marquess, yang mengambil latar era Victoria.

Pada masa itu, hak dan peran wanita–baik lajang maupun sudah menikah–sangat dibatasi sehingga beberapa kelompok wanita merasa tertekan dan membuat gerakan aksi feminis untuk mengubah pandangan dunia terhadap kaum mereka.

Selain menonjolkan kelihaian Enola serta sejarah sekilas mengenai era Victoria, film ini juga memamerkan unsur feminisme sebagai unsur utamanya.

Unsur feminisme yang paling terlihat dalam film ini adalah Enola, seseorang yang tumbuh menjadi gadis takbiasa dan memilih untuk tidak meleburkan diri dalam masyarakat–termasuk menikah dan menjadi ibu rumah tangga.

Hal inilah yang membuat Mycroft marah pada Enola dan tetap memaksanya untuk masuk ke sekolah asrama khusus wanita.

Wajar saja dalam film ini Mycroft sangat membenci kelompok wanita yang membuat gerakan aksi feminis saat itu. Bagaimana dengan Sherlock? Sayangnya, perannya di sini kurang menonjol dan hanya menjadi supporter Enola saja.

Unsur feminisme lainnya yang terlihat adalah Eudoria dan teman-teman seperjuangannya yang memiliki visi untuk mengubah pandangan dunia terhadap wanita.

Untuk menjalankan misi tersebut, mereka menyusun rencana yang bisa membahayakan nyawa warga Inggris saat itu.

Konsep yang ditawarkan dalam film ini terbilang unik. Selain menjadi tokoh utama, Enola juga berperan sebagai narator sepanjang film. Bahkan, di beberapa adegan, Enola berinteraksi langsung dengan penontonnya.

Sayangnya, walau berlatar era Victoria, rasanya masih kurang menonjolkan gaya hidup era Victorian, seperti gaya bicara salah satunya.

Secara keseluruhan, film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton bersama keluarga dan aku sangat berharap mereka melanjutkan kisah Enola Holmes itu sendiri.

Tonton di sini.

Judul: Enola Holmes (2020) | Adaptasi: “The Enola Holmes Mysteries: The Case of the Missing Marquess” oleh Nancy Springer | Sutradara: Harry Bradbeer | Produser: Mary Parent | Pemain: Millie Bobby Brown, Sam Claflin, Henry Cavill, Helena Bonham Carter, Louis Partridge, Burn Gorman, Adeel Akhtar, Susie Wokoma, Hattie Morahan, David Bamber, Frances de la Tour, Claire Rushbrook, Fiona Shaw, Ellie Haddington | Perusahaan Produksi: Legendary Pictures, PCMA Productions | Negara: Amerika Serikat | Tanggal Rilis: 23 September 2020 | Durasi: 123 menit

Penulis: Shannon Leonatte

Editor: Azaina

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran