Katanya Tuhan adalah yang Maha Adil.
Katanya Tuhan tak akan meninggalkan hambanya.
Katanya juga Tuhan akan selalu ada…
Tapi, mengapa aku seperti ditinggal Yang Kuasa?
Hidup di wilayah yang katanya indah dan ramah, sebuah sebutan yang sering keluar dari bibir sang pelancong. Kulitnya bukan sawo matang seperti diriku, namun orang sekitarku memperlakukan mereka bagaikan raja daripada ke sesama mereka. Selain mereka, ada juga alien yang datang entah dari mana tapi selalu dijunjung seperti Tuhan kedua. Aku lebih suka menyebut alien ini sebagai entitas X karena wajah mereka yang selalu berubah-ubah.
Seperti sekarang, entitas X yang kemarin berwajah tikus, entah mengapa minggu ini berubah wajahnya menjadi wajah menawan bak malaikat. Entitas X mengeluarkan kalimat-kalimat manis yang menurutku seperti secercah harapan. Ia berkata bahwa ia akan menjadikan wilayah hina ini menjadi surga bak di Negeri Paman Sam. Janji manis yang menyapu pikiranku itu, seolah-olah seperti kunci kebahagiaan yang tak boleh aku lewatkan. Apalagi para pemegang kunci surga itu mengatakan bahwa entitas X adalah pilihan yang tepat dan akan membawa kekayaan pada wilayah ini.
Tentu hal ini tak mungkin kulewatkan. Aku harus membuat putri kecilku bahagia, bagaimanapun caranya. Sebagai seorang ayah, aku rela melakukan apapun demi kebahagiaan Lara, malaikat kecilku. Semoga saja entitas X bisa menyelamatkanku. Aku sangat berharap pada mereka karena kurasa Tuhan sudah meninggalkanku. Entah kemana Tuhan asliku ketika aku sangat memerlukannya. Saat aku bertaruh banyak uang demi anakku, memutar roda penentu nasib dari ponsel usangku, aku selalu berdoa agar kata besar berkilau emas itu memancar dari layar ponselku. Namun, hari demi hari aku hanya ditampar oleh kekalahan demi kekalahan.
Aku mendengus kasar ketika melihat jumlah saldoku terpotong lagi karena kekalahan satu putaran roda nasib pagi ini. Kekalahan itu membuatku termenung, memikirkan cara agar bisa lepas dari penderitaan ini. Lamunanku terhenti ketika Lara menepuk pundakku sambil menunjukkan senyuman secerah matahari, seolah-olah ia tetap bahagia walau dalam keadaan seperti ini.
Ia meloncat kecil dengan semangat sambil berkata, “Bapak, bapak! Ayo siap-siap! Cepetan, Lara enggak sabar jualan bakso bareng Bapak.”
Putriku berucap dengan gembira. Jujur saja, aku ingin sekali menangis sekarang juga karena merasa menjadi ayah yang gagal. Untuk makan saja sulit, apalagi untuk sekolah. Putriku tak pantas putus sekolah karena tidak becusnya aku. Siapapun kumohon dengarlah doaku … apabila Tuhan asliku tak mendengarkanku, kumohon … setidaknya Tuhan kedua, sang entitas X mendengarku.
Hari demi hari berlalu, secara ajaib sang entitas X menjawab doaku. Entitas itu datang ke wilayah kumuh kami sambil tersenyum hangat. Pidatonya tegas namun kena ke hatiku. Ia sangat peduli dengan wilayah ini sampai sampai ia rela mengeluarkan uang yang jarang kusentuh, uang berwarna merah. Aku kebingungan, kenapa ada makhluk sebaik ini?
Entitas ini pun tak meminta macam-macam, hanya menandatangani kertas yang ia bawa dan berjanji akan memilihnya sebagai pemimpin wilayah ini maka ia akan memberikan uang merah ini, uang seratus ribu.
Selembar uang seratus ribu mungkin bukanlah apa-apa bagi kaum dari wilayah surga dunia, tapi bagi wilayah hina seperti tempatku, selembar seratus ribu ini benar-benar berharga. Dengan selembar uang seratus ribu ini, aku yakin bahwa entitas X adalah pilihan yang tepat, bahkan Tuhan saja tidak bisa memberikan selembar seratus ribu secara langsung. Namun, sang entitas X … entitas yang disebut sebagai Tuhan kedua malah bisa memberikan uang seratus ribu dengan syarat yang mudah.
Mulai dari saat itu, aku bersemangat membela sang entitas X, mulai dari melawan kaum si paling cendikiawan sampai mengajak semua orang di wilayah hina ini untuk memilih sang entitas X. Hari demi hari tanpa lelah aku berlagak bagaikan ksatria untuk menyanjungnya. Suruhan dari sang entitas X pun benar benar sangat baik. Aku terkadang mendapat dua puluh ribu sampai lima puluh ribu untuk beberapa kali membela sang entitas X, Tuhan keduaku. Kuharap perjuanganku dapat membuat semua orang senang termasuk keluarga kecilku.
Sudah berapa minggu berlalu, sang entitas X berhasil terpilih menjadi pemimpin wilayah hina ini. Aku sangat yakin ia adalah sosok yang tepat.
Kukira begitu, tapi kenyataannya sungguh menggelikan. sang entitas X malah menekan kami semua dengan segala kebijakannya yang rancu. Kekacauan, kesedihan, pengkhianatan muncul dimana-mana.
Kenapa?
Kenapa?
Kenapa jadi begini?
Semuanya kacau seperti sedang kiamat. Aku tak tahu mengapa orang-orang yang menjadi ksatria untuk sang entitas X malah mengalami penyakit aneh. Mereka sekarat, sekarat lalu mati layaknya bangkai tikus. Tidak ada yang peduli dan si cendekiawan mulai menyumpahi semua orang di wilayah hina itu dengan kalimat yang menyakitkan.
“Matilah dasar bajingan!”
“Dasar makhluk tak berguna, mati saja dan jadilah bangkai yang hina!”
“Orang hina seperti kalian memang tak pantas hidup.”
“ Orang bodoh lebih baik mati saja.”
Suara-suara itu menghantuiku di setiap tidur. Apa salahku? Aku tak mengerti. Aku hanya tahu, mereka telah memberi kami peringatan agar tak memilih Tuhan keduaku, tapi aku tak mengerti penjelasan mereka yang terlalu menyulitkan karena menurutku sederhana: sang entitas X adalah makhluk yang baik. Aku merasa bodoh, benar-benar bodoh. Apa benar orang hina sepertiku tak layak hidup? Lalu, kenapa aku lahir di dunia kalau peranku hanya menjadi boneka bodoh?
Tak ada gunanya hidup, kita semua akan mati … mati karena uang seratus ribu. Mati sebagai boneka bodoh yang dibeli dengan harga seratus ribu. Semuanya kacau dan mengerikan. Aku melihat beberapa tetanggaku mulai mengalami hal janggal. Tetanggaku yang menerima uang seratus ribu seperti diriku secara perlahan beberapa anggota tubuhnya terlepas. Teriakan histeris dari keluarga dan para warga memenuhi wilayah hina ini.
Aku bisa mendengar seorang wanita berteriak histeris karena matanya terlepas dari tempatnya. Seorang pemuda menggeliat seperti cacing karena tangan dan kakinya terlepas. Beberapa laki-laki penikmat judi hanya bisa menangis sesenggukan setelah lidahnya terlepas dengan mudah seperti ekor cicak. Satu per satu mereka mati dalam dosa karena uang seratus ribu. Darah dan organ berceceran dimana-mana, entah milik siapa.
Lara—putriku, tak selamat. Aku hanya bisa memeluknya erat ketika putri kecilku memuntahkan semua organ dalamnya. Lambung, ginjal, hati, hingga usus yang tersangkut di tenggorokan putriku. Lara beberapa kali menepuk pundakku, bukan dengan lembut seperti biasanya, namun dengan keras karena kesakitan. Lara seolah memberi isyarat agar aku menarik ususnya yang tersangkut di mulutnya. Putriku tidak kuat menahan rasa sakit. Tanganku bergetar ketika menyentuh ususnya itu, menariknya dengan kuat, agar putriku bisa bebas dari rasa sakitnya. Aku merasa mual seperti ingin mati, ketika melihat usus Lara keluar bersama jantungnya yang membuat anak malang ini mati.
Pada akhirnya, aku sendiri lagi, tidak ada siapapun di sini. Semuanya mati, mati, dan mati. Tidak ada yang bisa menyelamatkanku di sini … Tidak ada. Mungkin pada akhirnya, aku memang ditakdirkan sendiri dalam menyambut kematianku. Waktu menipis, tapi akhirnya aku menyadari bahwa mati bukanlah hal yang buruk. Kematian terasa lebih baik daripada harus bertahan hidup sebagai makhluk hina di tanah yang menjijikkan ini.
Aku sadar, pada akhirnya Tuhan asliku dan sang entitas X yang disebut sebagai Tuhan Kedua tetap tak bisa menyelamatkanku karena aku hanyalah orang yang hina seharga seratus ribu.