‘Ave Maryam’ adalah sebuah film Indonesia yang dirilis pada tahun 2019 lalu dengan durasi 72-74 menit. Kenapa durasinya tidak pasti? Karena sebagian percaya ada beberapa scene film yang dipotong karena menampilkan adegan dewasa. Bahkan info yang saya dapat, semula film ini berdurasi 85 menit. Walaupun begitu, film ini membawa warna baru di dunia sineas Indonesia. Karena sebelumnya belum pernah ada film yang mengangkat konflik batin dengan memadukan cinta terlarang dan agama. Terlepas dari segala perdebatan yang terjadi, film ini layak mendapat apresiasi besar dari masyarakat.
Berlatar di kota Semarang pada tahun 1980 yang menyuguhkan visual pemandangan yang epik. Bangunan tua di Semarang yang bergaya Eropa dan suasana vintage seakan mengajak penonton untuk masuk ke era itu. Film ini mengangkat konflik antara dua tokoh terhormat dalam agama Katholik, yaitu seorang pastor dan biawarati yang merupakan pengucap kaul kekal dan janji untuk hidup selibat (tidak menikah) di hadapan Tuhan Yesus.
Oleh karena itu, hubungan cinta yang terjadi antara seorang biarawati bernama Suster Maryam, diperankan oleh Maudy Koesnaedi, dan seorang pastor yang dikenalkan dengan sebutan Romo Yosef, diperankan oleh Chicco Jerikho, menjadi terlarang dan memunculkan pergolakan batin sendiri diantara keduanya.
Secara umum, cerita utama dari film cukup sederhana. Seperti film dengan konflik percintaan pada umumnya yang dipisahkan oleh suatu sebab. Namun hal yang membuat Ave Maryam dapat perhatian lebih dari saya adalah penggambaran karakter Maryam sekaligus perubahan emosinya di sepanjang film.
Diawal film, Maryam digambarkan sebagai sosok yang ramah, periang dan taat. Maryam seorang biarawati yang sehari-hari mengurus suster-suster yang sudah sepuh di kesusteran. Mulai dari menyiapkan makanan, memandikan, hingga membersihkan gereja.
Kemudian Maryam dipertemukan dengan Romo Yosef, seorang pastor yang diperbantukan di Gereja tersebut hingga Natal. Yosef diceritakan sebagai pastor yang tampan dan handal dalam berorkestra. Benih-benih cinta mulai tumbuh diantara keduanya, dan Maryam seperti menyimpan keraguan dan pergulatan batin yang terlihat dari raut wajah dan perubahan tingkah lakunya.
Namun sayang, permasalahan hubungan antara Maryam dan Romo Yosef kurang dieksplorasi secara mendalam. Seperti apa yang sebenarnya terjadi antara Maryam dan Yosef ketika di pantai tidak diperlihatkan secara jelas. Entah karena memang kurangnya menit dalam durasi atau memang karena saya menonton versi ‘director cut’. Tapi yang jelas, pergulatan emosi antara Maryam dan Yosef kurang maksimal.
Dilihat dari alurnya, film ini memiliki alur lambat dan dialog yang minim. Namun semua terbayar dengan visualisasi melalui ekspresi dan raut wajah para pemainnya. Ertanto Roby, sang sutradara mampu membawakan cara lain agar maknanya tetap sampai pada penonton walaupun film minim dialog. Seperti adegan Maryam dan Yosef pergi untuk makan malam berdua di sebuah restoran. Tidak ada dialog yang keluar diantara mereka. Namun apa yang masing-masing dari mereka rasakan, sudah diwakilkan dari percakapan dalam film yang diputar di restoran tersebut.
Setidaknya ada dua adegan dalam film yang sangat berkesan bagi saya. Pertama adalah kehadiran Suster Moniq, yang mengetahui apa yang telah terjadi antara Maryam dan Yosef. Bukannya menasehati apalagi menghakimi, Moniq yang paham betul bagaimana perasaan Maryam memilih untuk menyerahkan segalanya pada Maryam. Seperti kutipan dialognya:
“Jika surga saja belum pasti untuk saya, untuk apa saya mengurusi nerakamu?”
Bagi saya, potongan dialog ini cukup dalam dan membekas. Sadar betul bahwa dunia belakangan ini kerap kali mencampuri kehidupan orang lain, terutama perihal salah dan benar. Seakan-akan mendahului Tuhan untuk menjadi hakim atas tindak-tanduk orang lain.
Selanjutnya adalah adegan sakramen pengakuan dosa Maryam di akhir film. Di bilik pengakuan, Maryam bersimpuh dan mengakui dosanya, mengucapkan penyesalan dan meminta dihapuskan dosanya. Namun yang paling menyentuh adalah pastor yang melayani pengakuan dosa Maryam adalah Romo Yosef itu sendiri.
“Bapa, dalam perjalanan saya dalam memenuhi panggilanmu, Ya Tuhan Yesus. Saya bertemu dengan seseorang yang mengisi relung hati dan kekosongan jiwa saya. Yang kehangatan dan kehadirannya memberikan cinta kasih dalam hidup saya, yang membuat saya melakukan perbuatan menyimpang dari ajaran kasihmu. Saya jatuh cinta pada seorang Romo …”
Film ini cukup menguras emosi dan berhasil membuat saya menangis di akhir film. Adegan haru saat sakramen tadi adalah juaranya bagi saya. Film ini mengandung makna yang mendalam. Walaupun mengambil banyak latar di gereja dan menampilkan banyak simbol kekristenan, film ini bukanlah film religi. Ave Maryam mengajak penonton untuk menyelami cinta dari sudut pandang lain.
Editor : Irna Rahmawati