Politik tanpa Telinga: Ketika Media Sosial menjadi Arena Protes bagi Generasi Z

Dyahayu Armynati
143 views
','

' ); } ?>

Fenomena politik Indonesia belakangan ini kembali diramaikan oleh gelombang kritik publik terhadap DPR. Pemicunya adalah isu kenaikan tunjangan anggota dewan yang mencuat pada akhir Agustus lalu. Keputusan ini, yang muncul di tengah kondisi ekonomi rakyat yang masih goyah dan harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, segera menimbulkan kekecewaan luas. Namun, yang menarik bukan hanya soal substansi kebijakan tersebut, melainkan cara publik, khususnya Gen Z, menyampaikan protesnya. Media sosial menjadi arena utama dan istilah tone deaf kian populer sebagai label yang disematkan pada elite politik yang dianggap abai pada penderitaan masyarakat.

Tone Deaf: Ketika Politik Menjadi Lagu Tanpa Irama

Secara harfiah, tone deaf berarti tidak peka nada dalam musik. Namun, dalam konteks sosial-politik, istilah ini digunakan untuk menggambarkan ketidakpekaan figur publik atau institusi terhadap situasi, kondisi, dan aspirasi masyarakat. Tone deaf menandakan adanya jurang komunikasi, yaitu ketika masyarakat menuntut keadilan, tetapi para pemegang kuasa justru memperlihatkan sikap atau kebijakan yang bertolak belakang dengan aspirasi publik. Dengan kata lain, tone deaf bukan sekadar sikap tidak peka, melainkan cerminan dari kegagalan membaca denyut nadi publik.

Dalam kasus tunjangan DPR, kritik tone deaf merebak karena publik menilai elite politik sedang berpesta di tengah himpitan ekonomi rakyat. Alih-alih fokus pada isu-isu mendesak seperti pengendalian harga pangan, pengangguran, dan kualitas pendidikan, DPR seakan sibuk mengurus privilese internal mereka. Kesan inilah yang kemudian memicu gelombang demonstrasi dan aksi protes digital yang besar.

Media Sosial: Arena Protes Digital

Gen Z sering dipandang apatis terhadap isu politik. Namun, fenomena protes digital membantah stereotip tersebut. Gen Z justru menunjukkan bahwa keterlibatan politik tidak harus selalu berbentuk aksi turun ke jalan, tetapi dengan memanfaatkan media sosial. Gen Z, yang lahir dan tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi, lebih memilih meluapkan keresahan melalui Twitter (kini X), Instagram, TikTok, hingga Thread di forum daring. Kritik melalui media sosial memungkinkan partisipasi lebih luas, lintas daerah, bahkan lintas kelas sosial. Siapa pun dengan akses internet dapat berkontribusi dalam percakapan politik.

Gen Z menghadirkan budaya kritik baru, yaitu mengawinkan isu serius dengan humor, kreativitas, dan narasi visual yang mudah dicerna. Tagar-tagar bernada kritik seperti “#BubarkanDPR” dan “#ResetIndonesia” dengan cepat menduduki trending topic. Visualisasi sindiran berupa meme, video satir, hingga poster dengan color palette tertentu secara mudah tersebar luas. Bentuk-bentuk protes ini bukan sekadar hiburan semata, tetapi alat untuk membangun kesadaran kolektif bahwa ada yang salah dalam sistem representasi politik kita. 

Protes Digital: Antara Kesadaran dan Keterbatasan

Meski begitu, protes digital juga punya keterbatasan. Kritik di media sosial sering berhenti pada tataran wacana tanpa menghasilkan perubahan nyata dalam kebijakan. Dengan demikian, timbul pertanyaan: apakah protes digital sudah cukup efektif dalam menggoyahkan kebijakan politik yang salah? Atau justru, gerakan ini hanya berhenti pada ruang maya tanpa menimbulkan dampak nyata seperti demonstrasi yang turun ke jalan?

Di satu sisi, protes digital memungkinkan partisipasi luas dan cepat, serta menjangkau ribuan suara dalam hitungan menit. Namun, di sisi lain, demonstrasi langsung masih dianggap sebagai simbol keberanian kolektif yang menghadirkan tekanan fisik dan visual bagi pengambil kebijakan. Kedua bentuk protes ini mencerminkan dua wajah perlawanan generasi kini —yang satu bersuara melalui gawai dan yang lain menegaskan keberadaannya di jalanan.

Untuk memperoleh sudut pandang yang lebih beragam serta memahami bagaimana Gen Z memaknai fenomena protes digital, penulis melakukan wawancara dengan tiga mahasiswa dari berbagai fakultas. Melalui percakapan ini, muncul beragam pandangan yang mencerminkan cara Gen Z menilai sensitivitas sosial dan peran media sosial sebagai ruang berekspresi sekaligus berprotes.

Zaim, mahasiswa aktif Ilmu Hukum angkatan 2024, memiliki pandangan bahwa protes digital di media sosial tidak dapat menggantikan peran demonstrasi secara utuh. Kedua hal ini perlu dikolaborasikan agar semakin efektif, dengan peranan demonstrasi sebagai ujung tombak utama dalam menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah, sedangkan protes digital menjadi wadah bagi seluruh masyarakat untuk turut menggaungkan keresahan publik agar semakin terdengar. 

Sementara itu, Ghilman, mahasiswa aktif Matematika angkatan 2024, juga turut berpendapat mengenai tantangan terbesar dalam menyuarakan protes digital agar tidak berhenti sebatas viral, tetapi dapat berdampak nyata pada perubahan kebijakan. Menurutnya, tantangan paling berat adalah bagaimana suara kita mampu “didengar” oleh para pemangku kebijakan. Ia menegaskan bahwa percuma jika kita bersuara sekeras dan semasif apapun, tetapi dari ‘atas’ tidak mau mendengar aspirasi yang kita suarakan. Kita harus menindaklanjuti melalui langkah advokasi langsung agar suara kita dapat didengar dan tidak berhenti sebatas viral.

Di sisi lain, Ririn, mahasiswa aktif Sastra Indonesia angkatan 2025, memberikan pandangannya terkait solusi bagi Gen Z atau generasi yang ‘melek’ teknologi agar protes digital lebih terarah dan efektif dalam jangka panjang. Menurutnya, sebagai generasi yang peka terhadap perkembangan teknologi dan dinamika isu-isu yang terjadi, Gen Z harus konsisten dalam menyuarakan aspirasi yang ada serta tidak boleh tone deaf atau bersikap abai terhadap isu-isu ketidakadilan sekecil apapun.

Pada akhirnya, fenomena tone deaf dan perlawanan digital Gen Z menjadi cermin penting bagi demokrasi kita. Jika elite politik terus menutup telinga, mereka akan semakin kehilangan legitimasi di mata publik. Sebaliknya, jika elite politik mau mendengar, media sosial bisa menjadi jembatan antara aspirasi rakyat dengan kebijakan publik. Gen Z telah membuktikan bahwa protes tidak selalu harus dengan megafon dan spanduk; terkadang, sebuah meme satir dengan ribuan share bisa lebih menohok daripada orasi panjang. Dengan demikian, suara rakyat akan terus menemukan jalannya, meski harus lewat layar gawai.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya