Kemenangan Messi Melawan Nasib Buruk

Raihan Rizkuloh GP
809 views

Menghirup udara. Bagi Lionel Messi, mengangkat sebuah trofi di Barcelona, jika boleh dibandingkan, ibarat menghirup udara. Tarikan napasnya mantap, ia mendapatkan segalanya yang ia inginkan untuk tetap hidup. 30 gelar lebih diraihnya di tanah Catalunya. Karena itu, wajahnya tetap menunjukkan ketenangan -sisi La Pulga yang biasa kita lihat- tatkala ia mengangkat suatu piala bagi klubnya.

Tetapi, itu hanya berlaku di Barcelona saja. Di La Albiceleste, ia sempat kesulitan bernapas, bahkan berjalan pun enggan. Copa America 2016 lima tahun lalu menjadi penegasan bahwa di Argentina, Tuhan sudah memperlakukannya dengan terlalu buruk.

Setelah tendangan penaltinya menembus cakrawala yang sekaligus membuat Argentina tunduk untuk kedua kalinya dari Chile di partai puncak, Messi hancur lebur. Sang Juru Selamat Argentina ini memutuskan untuk pensiun dari Timnas. Biang keladinya adalah 4 final (Copa America 2007, Piala Dunia 2014, Copa America 2015, dan Copa America 2016) yang selalu berakhir dengan tundukan kepala. Lagi dan lagi. Khusus yang terakhir, ia bahkan menangis luar biasa seolah-olah ingin berkata pada Tuhan, “Kenapa selalu berakhir seperti ini?”

Messi merasa upaya-upaya yang ia lakukan untuk Timnas Argentina selalu berakhir sia-sia. Oleh karena itu, ia enggan menjalani hidup yang tidak berpihak padanya. Udara di Argentina terlalu menyesakkan dan terasa berat baginya. Dunia geger terhadap kabar pensiunnya Messi. Banyak sahabat, keluarga, rekan seprofesi, bahkan masyarakat Argentina hingga Presidennya mewejangi Si Kutu untuk memikirkan kembali keputusannya ini dengan masak-masak.

Dengan pelbagai dukungan itu, Messi akhirnya mencoba menegakkan kembali kepalanya. Ia memutuskan untuk kembali bermain melawan Sang Nasib Buruk. Dan kini, Messi dan kawan-kawannya mengempaskan dan membuat Sang Nasib Buruk itu terkencing-kencing.

**

Sesaat setelah peluit akhir pertandingan ditiupkan, Messi tak kuasa menahan air mata. Wajahnya seolah tak percaya bahwa hari ini dia benar-benar mempersembahkan trofi internasional pertamanya untuk Argentina. Sejurus kemudian, Acunha, De Paul, dan Tagliafico (lalu diikuti pemain-pemain Argentina lain) memeluk dan menyelamati sang kapten dengan penuh penghormatan. Setidaknya, pada saat melawan Brazil kemarin, pemain-pemain Argentina bermain untuk dua entitas: pertama, untuk publik Argentina dan kedua, tentu saja, untuk Lionel Messi.

Mereka tahu, dari rupa-rupa yang menghiasi Timnas Argentina, tanpa merendahkan pemain lain, Messi adalah sosok yang paling banyak (dan berkali-berkali) jatuh-bangun menghadapi cacian dan, oleh karena itu, layak diberikan ganjaran yang sepadan, yakni gelar juara. Dedikasinya untuk timnas Argentina selama 16 tahun memang tak patut diragukan. Dan Tuhan, akhirnya membalas semua itu dengan sebuah gelar juara.

“Saya merasa Tuhan menyimpan momen ini untuk saya, melawan Brasil di final dan di negara mereka,” ucap Messi pada sesi wawancara.

**

Que la mano de Leo Messi” berkumandang di mana-mana. Hari kemarin akan diingat publik Argentina sebagai salah satu dari utang besar Messi yang sudah terbayarkan. Bagi rakyat Argentina, 28 tahun penantian adalah waktu yang terlampau lama. Namun, toh, pada akhirnya mereka sekarang bisa menikmati euforia gelar juara ini kembali. Hanya tinggal satu piala lagi yang kurang untuk menggenapkan “ketuhanan” El Messiah, yakni Piala Dunia (yang akan digelar tahun depan)

Copa America memang sebegitu berartinya bagi Lionel Messi. Kita melihat sisi lain yang sudah lama sekali tidak kita temui dalam dirinya. Apa-apa yang membentuknya (4 Final yang berujung kekalahan, kekecewaan rakyat Argentina, harapan Diego Maradona, dan sebagainya) kini tumpah ruah dan mewujud sebagai air mata kebahagiaan. Messi mengangkat trofi itu tanpa pernah berpaling sedikit pun. Ia melihat piala itu layaknya seorang bayi yang baru saja lahir. Dan kita tahu bahwa akhirnya nasib baik berpihak pada dirinya. Selamat Argentina! Selamat Messi!

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran