Api yang Membara dan Tak Pernah Padam

Yogi Dwi Pradana
1306 views

Seorang perempuan berjalan di tengah keramaian. Ia suka menyendiri di tengah keramaian. Bahkan, di dalam sebuah pesta yang bergemuruh, ia hanya duduk dengan tatapan mata yang kosong. Sudah lebih dari 13 kali ia diingatkan untuk tidak melamun, nanti kesurupan. Ah, agaknya terlalu berlebihan untuk menganggap hal tersebut sebagai tanda seorang kesurupan. Di tempat ini tak ada setan, setan ada di dalam diri kalian, bukan dari dunia gaib.

“Marlina, Mar, heh sedang apa kau di atas tumpukan beras itu? Ayo minggir! Aku mau memindahkan beras yang kau duduki,” seru seorang lelaki yang menggunakan kaos putih dengan bercak cokelat tanpa lengan dan otot lengannya kekar.

Bintang mencoba menggerak-gerakkan tangannya di depan mata Marlina. Marlina tak goyah sama sekali, tatapan matanya masih kosong dan tak ada suara keluar dari mulutnya. Bintang kebingungan, ia mendengar suara teriakan dari arah belakangnya.

“Kebakaran, kebakaran, kebakaran!” suara dari belakang Bintang.

“Siap, Tuan! Segera, segera, segera,” sahut Bintang.

Bintang yang sudah dikejar rasa takut akan suara tersebut langsung mengambil tindakan yang agresif. Bintang membopong tubuh perempuan kecil yang sedang duduk di atas beras tersebut, sebisa mungkin dengan badannya yang kerempeng berotot memindahkan tubuh Marlina. Marlina baru tersadar dan terkejut karena gerakan yang dilakukan Bintang.

“Eh, Bang Bintang mau ngapain kok ngangkat aku?” sergah Marlina.

“Kamu ini siang-siang yang lain pada kerja malah melamun saja. Itu ada kebakaran, awas minggir!” seru Bintang.

“Hah, kebakaran? Di mana kebakaran? Aku suka api. Pasti ada dia di dalam kobaran api yang memanas di sana,” jawab Marlina.

“Api-api apa? Dia siapa? Aku tak peduli. Awas kamu minggir, aku tidak punya air yang bisa memadamkan kebakaran itu!” seru Bintang.

Marlina menggeser tubuhnya dan mulai menjauhi tumpukan beras yang semula ia duduki. Bintang dengan tubuhnya yang sudah penuh keringat dan mulai loyo jalannya masih terlihat penuh semangat dari matanya. Tubuh Bintang memang terlihat ringkih, tapi semangat membara di dalam tubuhnya tak pernah usai.

Bintang meninggalkan Marlina yang masih diam di tempatnya dengan beban yang ada di pundaknya. Hari ini kelihatan sekali anak dan istri Bintang akan makan ayam dan minum susu pada makan malam. Sisa upahnya juga bisa Bintang belikan rokok ketengan di sudut tempat ini. Marlina masih termenung dan pikirannya terlihat penuh penasaran. Di mana kebakaran itu terjadi, aku ingin mencari dia.

“Mar,” suara Mak Beti dengan gerakan tangan memanggil Marlina.

“Iya, Mak?” jawab Marlina.

“Sini! Bantuin Mak Beti,” pinta Mak Beti.

“Bantuin apa, Mak?” tanya Marlina.

“Antarkan kobis ini ke seorang laki-laki yang sedang duduk di atas tempat tunggu parkir! Ia menggunakan kemeja lengan pendek dengan motif bunga, kulitnya putih bersih. Dia ingin kau yang mengantarkan kobis itu padanya, Mar. Tolong ya,” Mak Beti memohon.

“Tumben sekali ada pelanggan Mak Beti yang minta diantarkan belanjaannya, biasanya mereka datang kemari sendiri, Mak?” tanya Marlina.

“Entah, katanya ia ingin bertemu denganmu di sana,” jawab Mak Beti.

“Siapa dia, Mak?” tanya Marlina penasaran.

“Mak Beti tak tahu siapa dia, temui saja dia,” jawab Mak Beti.

Marlina menerima satu plastik yang berisi kobis kurang lebih ½ kg tersebut. Ia berjalan meninggalkan lapak Mak Beti. Ada seruan dari balik punggung Marlina.

“Tunggu sebentar Mar, ini sedikit untukmu,” memberikan uang yang sudah dilipat kepada Marlina.

“Terima kasih, Mak,” tersenyum dan menerima pemberian Mak Beti.

Marlina berjalan dengan membawa plastik berisi kobis. Rambutnya tergerai dan kusut. Pakaian belakangnya terdapat sedikit noda hitam karena cipratan air yang menggenang di tempat itu. Ia tak peduli, di sini ia merasa nyaman. Tak ada tempat paling nyaman selain tempat ini menurut Marlina.

Melewati lapak-lapak yang masih ramai pengunjung, Marlina menundukkan kepala dan sesekali tersenyum kepada setiap orang. Kadang mendapat lemparan senyum balik, kadang ia mendapat kacang. Karena keramaian yang begitu mencekam, Marlina merasakan sebuah ketenangan. Ia selalu merasa sepi ketika berada di tengah keramaian. Begitu pun hal aneh yang ia alami, ia selalu merasa ramai di tengah kesepian. Marlina tak suka di tempat yang sepi, karena di tempat yang sepilah ia akan merasakan keramaian yang bergejolak di hati dan pikirannya.

Kaki Marlina sudah basah dengan sisa air pembuangan dari lapak-lapak yang ada di tempat itu. Ia tak peduli seberapa kumal dirinya ketika akan bertemu dengan seseorang yang menginginkannya untuk bertemu. Marlina melihat tak ada siapapun di atas tempat tunggu parkir. Tak ada sedikit pun tanda-tanda, kecuali di sana terlihat seorang bocah yang sedang berdiri di tengah jalan. Memakai topi dan tangannya aktif sekali menuntun pengguna jalan yang melintas.

“Bang, tadi ada orang yang di tempat tunggu parkir?” tanya Marlina pada Bang Jarot yang sedang mengatur lalu lintas di depan pasar.

“Ya, tadi dia meninggalkan sesuatu, katanya untukmu, Mar,” jawab Bang Jarot.

“Meninggalkan apa, Bang?” Marlina mengeraskan suaranya dari kejauhan.

Belum ada jawaban, karena ada mobil yang melintas dari ruas kanan jalan. Bang Jarot tertutupi oleh mobil tersebut. Marlina bersabar menunggu di tempatnya semula. Ia melihat Bang Jarot sedang berjalan pelan menuju arahnya ketika jalanan sudah mulai lengang. Bang Jarot tak langsung menjawab pertanyaan Marlina, entah karena tak mendengar atau karena tak ingin menjawabnya saja. Bang Jarot berjalan menuju tempat tunggu parkir

“Ini, katanya untukmu,” memberikan sekotak mirip kotak sepatu kepada Marlina.

“Apa ini, Bang?” Marlina bertanya.

“Ngga tahu, buka aja sendiri,” berjalan meninggalkan Marlina dan menjadi penguasa jalanan depan pasar.

Marlina duduk di tempat tunggu parkir dan mencoba meletakkan satu plastik kobis yang ada di tangan kanannya. Marlina masih penasaran dan membolak-balik apa isi dari kotak seukuran kotak sepatu tersebut. Marlina mencoba membuka perlahan plester yang membalut kotak tersebut dan perlahan suara plester yang merekat dari kardus kotak itu terdengar.

Marlina menyelesaikannya dengan baik. Kardus kota itu terbuka dan berisi gaun yang amat cantik. Marlina menjereng gaun tersebut di kedua tangannya, mata Marlina luluh melihat gaun yang begitu indah ini. Marlina tiba-tiba meletakkan gaun tersebut di tempat duduk tunggu parkir tersebut. Ada selembar kertas putih yang jatuh ke bawah tanah. Untung saja tidak tepat di atas genangan air, hampir saja basah kertas itu.

Tertulis dalam sebuah kertas tersebut sebuah kata-kata yang akan membuat Marlina teringat banyak hal yang menyakitkan, tapi Marlina akan memberanikan diri untuk membacanya.

Untuk Marlina,

Sudah sekian tahun aku meninggalkan tempat ini dan aku masih menjadi pecundang ketika pertama kali menginjakkan kakiku lagi di tempat ini. Ampuni aku, Marlina. Dengan diriku yang masih saja menjadi pengecut ini, aku belum berani menampakkan wajahku di hadapanmu. Aku ingin kau membenciku saja karena diriku yang memang pantas untuk kau benci, Marlina. Bawa pulang kobis itu untuk kau bakar dan jadikan makan malammu Marlina. Salam.

Surat yang tanpa dibubuhi nama terang dan alamat pengirim ini sampai di tangan Marlina dan terjatuh di genangan air yang kotor. Marlina terdiam dan tatapan matanya kosong. Marlina membayangkan kejadian masa lalu ketika beberapa lapak yang ada di pasar ini terbakar dan dia pergi begitu saja meninggalkan Marlina di tengah kobaran api. Bagi Marlina kobaran api itu tak pernah padam sebelum dia muncul di hadapan mata Marlina dan menemui Marlina untuk memberikan penjelasan mengapa ia pergi dan tak pernah kembali.

Yogyakarta, 28 Mei 2021.

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran