Tidak Akan Ada Gelombang Kedua

Redaksi Pena Budaya
668 views

(Foto diambil dari freepick.com)

Kebijakan silih berganti, usaha dan terobosan dilakukan untuk mengontrol laju pergerakan penderita Covid-19 di Indonesia. Opsi dan program pemerintah sudah timbul tenggelam di pikiran masyarakat dan media.

Sebut saja lockdown, Germas, karantina wilayah, PSBB, dan juga yang terbaru New Normal, silih berganti menjadi “obat” yang berfungsi untuk menciptakan kedamaian atau ketenangan di tengah masyarakat.

Masyarakat banyak mengira bahwa kebijakan tersebut bisa melandaikan kasus terbaru Covid-19 dan mengembalikan keadaan seperti semula. Setelah dilaksanakan, kita pun dapat menilai sendiri apakah kebijakan pemerintah ini sama atau berbeda dengan yang ada di pikiran masyarakat.

Segala kebijakan pemerintah dengan narasi-narasinya tak ayal menjadi rujukan dan panutan, diharap memberi ketenangan, dan andal menyelesaikan masalah bagi masyarakat ketika tengah genting dalam situasi krisis. Namun, merujuk beberapa waktu ke belakang, apakah benar adanya seperti itu?

Masih segar dipikiran kita dengan pernyataan-pernyataan pihak terkait tentang pandemi ketika awal kedatangan virus korona di Tanah Air. Indonesia, walau dekat hubungannya dengan negara asal mula virus ini muncul—yang bisa dilihat dari intensitas penerbangan antara kedua negara—masih dengan sombongnya menyangkal dan membual tentang virus ini. Narasi dan kebijakan rezim pun seakan kompak untuk menyepelekan sekaligus membingungkan masyarakatnya.

Berbagai pernyataan dari pemangku kebijakan, atau lebih tepatnya pemangku kepentingan, sangatlah tidak bisa dijadikan panutan dan rujukan. Masyarakat justru dibuat gegabah dan sombong dalam menyikapi pandemi ini.

Dari mulai pernyataan mortalitas virus ini tidak lebih berbahaya dari flu musiman, nasi kucing  dan kerokan adalah penyebab Indonesia kebal virus, hingga pernyataan berbau menyangkal para ahli epidemiologi baik nasional maupun internasional, seolah menjadi panggung unjuk gigi siapa yang paling “berbunyi” dalam berdeklarasi.

Narasi-narasi nyeleneh itu cukup menjadi ironi, sebab banyak pernyataan yang mereka buat, justru berbalik pada diri mereka sendiri. Misalnya saja, sang bad apple yang mengatakan perihal nasi kucing, malah menjadi salah satu pasien positif Covid-19. Belum lagi deklarasi meremehkan mengenai mortalitas virus. Nyatanya, Indonesia pernah menjadi salah satu negara terburuk dalam penanganan Covid-19 di Asia.

Memasuki masa genting, para oportunis malah menjadikannya aji mumpung dengan mendatangkan TKA dari negara luar dan berusaha meloloskan RUU kontroversial. Internal pemerintah yang banyak tidak sependapat, sukses memperkeruh keadaan. Di hadapan perkara ekonomi dan nyawa rakyat, petinggi-petinggi Indonesia malah mengeluarkan kebijakan ambigu dan setengah-setengah. Hasilnya jelas, rezim lebih memilih mengorbankan keduanya.

Pernyataan ini diperkuat dengan dikeluarkannya kebijakan New Normal yang berarti perintah agar masyarakat “berdamai” dengan pandemi. Garis haluan yang ketika ditinjau ulang merupakan antitesis dari karantina, usaha pelandaian kurva pandemi, atau representasi keinginan essential workers dan daya tampung infrastruktur kesehatan nasional. Semua menjadikan New Normal bak seleksi alam di alam rimba, tanpa kemanusiaan dan etis sosial masyarakat.

(Mortalitas Covid-19 di negara-negara)

Bukan tanpa sebab kebijakan New Normal diumpamakan sebagai hal-hal yang demikian. Sepatutnya  relaksasi isolasi (PSBB) di masyarakat diberlakukan ketika kurva pandemi menurun, tetapi hal yang diberlakukan malah sebaliknya, ketika kurva dalam tahap kritis, pemerintah justru menyudahi kebijakan isolasi dan membiarkan transmisi virus berkembang pesat di masyarakat.

Masih lebih baik misalkan pemerintah menyiapkan langkah antisipasi yang jelas dalam New Normal pandemi ini dengan membuat fasilitas tes yang terjangkau oleh masyarakat dan tracking contact yang tepat dalam perjalanannya.




(Jumlah rasio tes yang sudah dilakukan tidak sampai 1/1000 orang)

Kenyataannya, rezim memperbolehkan rakyat berpergian dengan surat keterangan uji Covid-19 atau bebas flu berjangka 3-7 hari yang dikeluarkan oleh puskesmas. Semua biaya ditanggung oleh pribadi masing-masing

Dengan uji Covid-19 yang saat ini hanya bisa 10.000 per hari atau 0,1 per 1000 penduduk, penambahan kasus harian pasti kian memburuk. Kapasitas tes tak ditambahkan, tetapi pasien positif terus melejit ke puncak kurva.


(Jumlah kasus aktif yang semakin naik. Data diambil dari OurWordInData.org)

Tak ayal, langkah New Normal besutan rezim “Terbarukan” ini sukses membuat gelombang kedua  tak akan pernah ada, sebab gelombang pertama pun belum terlihat kapan akan membaiknya. (Alf/Zai)

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran