SUARA MORRISON & COBAIN DALAM BAYANG-BAYANG CLUB 27

Qois Hidayatullah Basayev
79 views
','

' ); } ?>

Sebuah resensi reflektif untuk telinga yang peka dan jiwa yang masih belajar membaca suara di balik musik.

Ada sesuatu yang ganjil ketika memutar kembali lagu-lagu Jim Morrison dan Kurt Cobain setelah saya tahu mereka sama-sama berhenti hidup di angka 27. Suara mereka terdengar lain: lebih berat, lebih jujur, bahkan kadang terasa seperti surat pamit yang ditulis tanpa niat untuk disampaikan secara terang-terangan.

Ada momen ketika mendengar vokal Morrison yang sedikit slurred atau jeritan Cobain yang mentah; keduanya membuat saya bertanya-tanya: Apakah mereka sebenarnya sudah memberi kode sejak lama? Pertanyaan itu menggantung, dan mungkin memang dibiarkan menggantung karena musik mereka jarang terasa final. Selalu ada sesuatu yang belum selesai.

Tulisan ini mencoba membaca ulang karya mereka dengan kacamata seorang penikmat musik dan seseorang yang mencoba memahami tekanan emosional di balik estetika dua ikon yang hidup di era berbeda, tetapi tenggelam dalam bayangan Club 27.

Morrison: Penyair yang Kebetulan Jadi Rock Star

Jim Morrison, vokalis The Doors yang suka menulis puisi sebelum menulis lagu sering disebut liar. Namun, kalau kamu mendengar “The End,” atau bahkan “People Are Strange,” kamu akan sadar bahwa keliaran itu bukan soal pesta dan alkohol saja. Ada struktur mental tertentu yang berusaha dia jaga untuk tetap waras. Musiknya menjadi ruang pelarian yang kadang berhasil, kadang gagal.

“People Are Strange” adalah salah satu lagu Morrison yang seakan-akan terdengar ringan, tetapi sebenarnya menyimpan pengakuan kecil yakni ketika Morrison merasa terputus dari dunia. Penggalan lirik lagu berikut, “Faces look ugly when you’re alone” terdengar seperti ucapan seorang penyair yang sedang mengintip dunia dari balik kaca jendela tanpa tahu apakah dia ingin keluar atau tetap bersembunyi.

Kesan ini akan semakin kuat kalau kamu menonton rekaman konser mereka. Morrison berdiri seperti seseorang yang ingin dekat dengan penonton, tetapi tetap menjaga jarak. Gerak-geriknya seperti permainan tarik ulur: maju selangkah, mundur dua langkah. Itu bukan karakter panggung, itu kegelisahan yang terpapar.

Kemudian, kalau ada satu lagu yang terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir, itu adalah “The End”. Strukturnya panjang, liriknya nyaris seperti monolog panggung, atmosfernya gelap yang mencekik. Semuanya seperti peta isi kepala Morrison.

Kadang saya berpikir, Morrison bukan musisi yang tenggelam dalam ketenaran. Dia justru musisi yang sejak awal sudah terjebak di dalam kepalanya sendiri. Industri musik hanya mempercepat proses itu. Anehnya, saya dapat merasakan hal itu di suara baritonnya yang tenang, seolah ia berbicara dari ruang yang jauh lebih gelap daripada panggung konser.

Cobain: Penulis yang Tidak Suka Jadi Ikon Generasi

Kalau Morrison seperti penyair yang “diseret” ke panggung rock, Cobain adalah anak grunge yang tiba-tiba dijadikan messiah oleh media. Cobain membenci itu. Karya-karyanya selalu menolak rapi. Tulisan-tulisannya pendek dan langsung, seperti catatan harian yang dilempar begitu saja, tetapi di situlah letak kekuatannya. Dia jujur dan tidak berusaha terdengar puitis—dan kejujuran itu terkadang lebih tajam daripada metafora paling rumit sekalipun.

“Smells Like Teen Spirit” lagu yang terdengar anthemic, tetapi bagi Cobain adalah parodi. Dia ingin mengejek budaya mainstream, tetapi malah lagu itu yang menyeret Nirvana menjadi ikon budaya. Ironi pahit itu terasa jelas terutama ketika Cobain menyanyikannya secara live. Dia sering terdengar letih, seperti sedang membawakan lagu yang tidak lagi miliknya.  Ada tanggung jawab yang tidak diminta, ekspektasi yang tidak pernah dia sepakati. Kamu bisa melihat bagaimana hal itu menggerusnya dari waktu ke waktu.

Selain itu, kalau kamu memutar “Something in the Way,” ada jeda yang panjang di antara kata-kata Cobain. Rasanya seolah-olah ia mencoba menahan sesuatu yang jauh lebih berat dari sekadar melodi. Suara lirihnya seperti gumaman seseorang yang sudah terlalu lelah menjelaskan dirinya. Di balik unsur minimalisnya, terdengar kepedihan yang tidak dibuat-buat. Kamu akan tahu lagu ini jujur karena ia tidak berusaha menutupi kesedihan dengan metafora. Ia memotret rasa kosong secara polos dan itu terasa menyakitkan.

Dua Era, Satu Trauma yang Sama

Mungkin perbedaan paling kentara antara Morrison dan Cobain terletak pada gaya mereka. Morrison suka bunga-bunga bahasa; Cobain menolak retorika. Morrison membangun dunia simbolik; Cobain merobek dunia itu sampai tinggal serpihan. Namun, apabila ditelusuri lebih jauh lagi, keduanya membawa beban yang mirip—beban yang tidak mereka mengerti sepenuhnya atau mungkin tidak ingin mereka akui.

Keduanya menjadi musisi sekaligus cermin generasinya. Morrison mewakili generasi yang gelisah terhadap perang Vietnam, psikedelia, dan disorientasi budaya. Cobain menjadi wajah generasi yang kecewa pada kapitalisme, keluarga yang berantakan, dan budaya pop yang membungkus luka dalam glitter. Mereka menulis hal-hal yang dilihat banyak orang, tetapi tidak berani diucapkan. Itulah yang membuat karya mereka terasa seperti bisikan yang tidak sengaja terdengar.

Ekspektasi Industri dan Tekanan yang Tidak Pernah Redup

Ini bagian yang sering terlupakan, bahwa baik Morrison maupun Cobain tidak pernah sepenuhnya nyaman dengan posisi mereka di mata industri. Morrison dikenal sulit dikendalikan label. Dia sering tidak mengikuti skrip konser, mengubah lirik di panggung, bahkan menolak wawancara. Cobain lebih ekstrem: dia secara eksplisit menolak menjadi simbol apa pun bagi generasinya, entah itu tren musik sampai gaya berpakaian.

Sayangnya industri tidak peduli. Ketika sebuah suara menghasilkan uang, suara itu akan diminta untuk terus berbunyi, bahkan ketika si pemilik suara sudah hampir kehilangan dirinya. Akhirnya, panggung yang seharusnya menjadi tempat mereka bebas justru berubah menjadi arena tekanan. Tekanan itu kemudian menjadi salah satu benang yang sering ditemukan pada kepergian para anggota Club 27.

Jujur saja, mendengarkan The Doors atau Nirvana setelah mengetahui nasib Morrison dan Cobain membuat saya menangkap nuansa yang dulu mungkin terlewat. Seperti ketika tiba-tiba kemarahan Cobain terasa lebih rapuh, ketika keheningan di antara vokal Morrison terasa lebih panjang, serta ketika lirik-lirik yang dulu terdengar keren kini terasa seperti potongan “curhat” yang tidak pernah selesai.

Saya mendengarnya bukan sebagai harmoni atau noise, tetapi sebagai semacam memoar emosional yang tak pernah ditulis. Ada semacam duka yang datang terlambat (late grief) karena saya menyadari mereka meninggalkan banyak tanda, tetapi saya baru memahaminya setelah mereka pergi. Mungkin itu pula sebabnya mengapa mereka masih relevan. Sebagai legenda, Morrison dan Cobain menjadi pengingat bahwa suara-suara paling lantang kadang datang dari jiwa yang paling rapuh.

Mengapa Suara Mereka Masih Menggema?

Mungkin karena saya juga hidup di zaman yang penuh tekanan, meskipun bentuknya berbeda. Kegelisahan Morrison tentang alienasi sosial dan kegundahan Cobain tentang ekspektasi publik kini terasa sangat dekat. Terutama di era media sosial ketika semua orang dituntut menjadi baik—atau setidaknya terlihat baik.

Keduanya memberi bahasa untuk rasa yang sulit dijelaskan. Pada akhirnya, mereka menjadi alasan untuk terus hidup dalam headphone saya. Morrison dan Cobain, meskipun berasal dari dua dunia yang berbeda, mengajarkan hal yang sama bahwa musik bukanlah pelarian dari diri saya, melainkan cara paling jujur untuk mengakui bahwa saya sedang berjuang.

Referensi

Cross, C. R. (2002). Heavier than heaven: A biography of Kurt Cobain (1st pbk. ed.). Hyperion.

Densmore, J. (2009). Riders on the storm: My life with jim morrison and the doors. Random House Publishing Group.

Kurbanova, L. I. (2025). Club 27: the tragedy of talented musicians – a script of the defeated?. Transactional Analysis In Russia, 5(2), 45-51. doi: 10.56478/taruj20255245-51

Markowitz, D. M., & Hancock, J. T. (2016). The 27 Club: Music Lyrics Reflect Psychological Distress. Communication Reports, 30(1), 1–13. https://doi.org/10.1080/08934215.2016.1210663

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya