Kumpulan Puisi Rifqi Septian Dewantara
Wulang
kelak kau akan mengerti, petuah sari yang dicium dari rahimakallah, menjadi kelopak melati depan teras rumahmu. hati bukanlah musabab pada segala yang tak berucap. melainkan susur doa yang terselip pada tubuh-adab-akalmu. lalu hamparan harap menyanjung-nyanjung, membuka semua sejarah luka, tentang kalabendu, tentang arti sembuh, suluh matanya menyinari cahaya api. terangnya masuk ke dalam batin. kata kata berhantaran, menghantam tindak tanduk semua sejarah luka, darah, dan kerelaan. kelak semua memahami, pengultusan pada jiwa-jiwa yang lenyap, dikebumikannya ingatan. dirawatnya benda-benda pusaka sebagai memori kesadaran yang digelayuti gema doa nenek moyang, gamelan, keris, air kembang tujuh rupa, bara dupa yang melingkar di ubun-ubun malam; dan engkau akan berjalan di antara arwahnya yang disapu nanar, hanya guratan kecil tersembunyi di liang tanah, menuntunmu pada sabda yang tak tertulis, pada kitab dan bait-bait yang dilukis dengan tanah liat dan air hujan
2025
Hanca
hari-hari terasa seperti menunggu kalender tahunan yang tak pernah berjalan. terlalu gaduh—tagihan ibadah, deadline keimanan, dan rapuhnya kebaikan. tenagaku lenyap bahkan sebelum memulai. janji-janji yang dulu ingin kuhabiskan; menumpuk—seperti angan-angan yang kutulis di halaman akhir buku agama. beribu-ribu (semoga) ku-julat-kan, tersimpan rapi, tetapi semakin ditilik, semakin membikin diri ini pusing. ah tak lunas! aku menyalahkan tubuhku. kupukul kepalaku, dadaku, dan juga kekalahanku. salah sendiri kenapa terus berdiam diri? waktu memang tak mengenal malas, hanya keinginan manusia yang membuat itu semua menjadi jeda, merasa sia-sia
2025
Kaladurga
maka kutahu, ketika di atas tebing lolongan serigala-serigala itu bersahutan, kutemui segerombol amarah para dewa angkara. mantra kehancuran yang dibukanya setelah kian lama terkungkung, mempertontonkan segudang dendam dan raungannya yang gila. mereka semua menunggangi ambisi. tamaknya, angkuhnya digelar semegah-megahnya ke dalam rohnya.
aku pun mendongak ke atas, menjilat ludah dan merasa tak berdaya dibuatnya
2025
Nulipara
aku meraba-raba diriku sebagai wujud yang cacat, menelusuri lorong waktu, menemui dua
pintu yang saling mengintip dari kejauhan, cahaya tak pernah mengizinkanku untuk
melihatnya. gumpalan darah dari dinding sunyi tempat doa dan kata terpantul, kupelihara ia
seperti benih tanpa tanah; lalu berguguran sebelum sempat menyebut namanya sendiri
dan aku bertanya apakah kehidupan hanya sekadar menunggu dibatalkan, atau ketiadaanku
selalu kembali ke kehampaan yang sama— takdirku belum sempat dicetak, rahim semesta
pun lupa menamai anaknya
2025
Budak Tuhan
kami rela setiap saat menjadi budak dunia yang selalu kau perintahkan dan kau berikan peringatan jika kami silaf dalam mencurangi sebuah pencaharian
kami ikhlas menjadi budak, hanya untuk mendapat sebuah upah berupa pahala-pahalamu
kami sadar untuk sebisa mungkin melawan mahluk-mahluk asing yang mengganggu di setiap kenisbian
kami jalani semua itu, setiap khusyuk
sakramental-Mu
dengan keadaan dibawah alas sujud-Mu
di hadapan dinding,
lingkungan alam; hutan-hutan, sungai, udara,
di ruang-ruang yang hampa,
di keabadian yang nyata,
kami selalu terbayang-bayang dengan
janji-janji sucimu yang kita harapkan
menangis sepanjang malam
menangis untuk kebajikan
abadi dan terselamatkan dari dunia singgasana
memohon harapan
jiwa-raga yang sehat
pikiran-pikiran yang khidmat
hingga menjadi manusia-unggul di dalam kehidupan
menggapai keharmonisan, keserasian, keselarasan,
dengan Tuhan yang sering terabaikan
2025
Klandestin
Wahai sang penyendiri
Aku ingin kembali dengan percakapan-percakapan dahuluku
Dunia yang kuciptakan
Ialah setumpak parunan
Yang melintang dan terbuang
Hanya ada kalut yang carut marut
Hanya ada carut yang berpagut lutut
Tersaruk-saruk sebuah cerita
Melangut semu kalbu beliak
Wahai sang penyendiri
Di memoar bahasa ini
Aku trauma dengan kata kabar
Aku jera dengan sifat sabar!
2025
Rifqi Septian Dewantara asal Balikpapan, Kaltim. Merupakan alumnus Telkom University Bandung. Karya-karyanya tersebar di berbagai media massa seperti Media Indonesia, BeritaSatu, Suara Merdeka, Borobudur Writers & Cultural Festival, Bali Politika,dll. Buku antologi puisinya LIKE (2024) dan SHARE (2025) diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Ekspresi. Buku kumpulan puisi terbarunya “Aku Tidak Datang dari Masa Depan” (Langgam Pustaka, 2025). Bisa disapa melalui instagram @rifqiseptiandewantara