Program Olah Kreativitas dan Kewirausahaan Mahasiswa (OKK) merupakan salah satu mata kuliah wajib Universitas Padjadjaran yang diikuti oleh mahasiswa baru pada Tahap Persiapan Bersama (TPB). Melalui OKK, mahasiswa diarahkan untuk melakukan kegiatan pengabdian masyarakat di wilayah Jatinangor dengan tujuan menumbuhkan kreativitas, semangat kewirausahaan, dan keterampilan sosial. Secara ideal, program ini menjadi bentuk nyata penerapan poin ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pengabdian kepada masyarakat.
Namun, di balik idealisme itu, muncul pertanyaan mendasar:
Apakah OKK benar-benar menjadi wadah mahasiswa untuk mengabdi dan menciptakan perubahan nyata di masyarakat atau justru hanya menjadi formalitas tahunan yang dijalankan sekadar demi memenuhi nilai akademik?
Pelaksanaan yang Belum Efektif
Banyak mahasiswa menilai pelaksanaan OKK masih jauh dari kata efektif. Permasalahan muncul sejak dari sistem dasar hingga implementasi di lapangan. Satu di antara yang paling sering dikeluhkan adalah topik pengabdian yang ditentukan secara sepihak. Tema yang ditetapkan sering sekali tidak relevan dengan kondisi masyarakat Jatinangor.
Misalnya, ketika tema besar yang diangkat adalah ketahanan pangan, muncul pertanyaan:
Apakah isu tersebut benar-benar menjadi masalah utama di masyarakat sekitar? Apakah sudah dilakukan riset mendalam sebelum mahasiswa diminta menyusun program terkait? Tema yang kurang tepat menyebabkan mahasiswa kesulitan merancang solusi yang konkret dan berkelanjutan. Padahal, pengabdian masyarakat semestinya berangkat dari kebutuhan dan aspirasi masyarakat, bukan sekadar wacana yang lahir dari ruang kelas.
Minimnya Arahan dan Pendampingan Dosen
Kelemahan lain yang sering dikeluhkan adalah minimnya keterlibatan dosen pembimbing. Banyak mahasiswa merasa dibiarkan tanpa arahan yang jelas. Satu di antara mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya yang diwawancarai pada 19 Oktober 2025 menuturkan:
“Saat persiapan kegiatan, hanya 3–4 orang yang aktif, sementara yang lain absen dengan berbagai alasan. Tapi saat hari H semua hadir untuk dokumentasi dan presensi. Ketika dilaporkan ke dosen, responnya hanya ‘yasudahlah, biarkan saja’. Rasanya tidak adil bagi kami yang benar-benar bekerja.”
Kisah ini mencerminkan lemahnya koordinasi antara dosen dan mahasiswa. Dosen seharusnya menjadi pembimbing aktif yang memastikan kegiatan berjalan sesuai tujuan, bukan sekadar pengawas administratif. Tanpa keterlibatan yang tegas, mahasiswa pun kehilangan arah dan tanggung jawab moral terhadap kegiatan pengabdian mereka.
Misunderstanding
Akibat minimnya bimbingan dari dosen terkait, makna pengabdian pun sering disalahpahami, banyak mahasiswa yang akhirnya memandang OKK hanya sebagai kewajiban akademik berupa tugas yang harus diselesaikan demi angka, bukan demi makna. Ketika semangat pengabdian tergantikan oleh kepentingan nilai, maka esensi program pun hilang. Padahal, pengabdian masyarakat bukan sekadar turun ke lapangan, melainkan proses memahami, berempati, dan berkontribusi pada masyarakat dengan pengetahuan yang dimiliki.
Melihat dari Kacamata Masyarakat
Sebelum berbicara tentang pengabdian, kita harus bertanya: dari mana masalah itu dilihat?
Apakah dari kacamata kampus, dosen, atau masyarakat itu sendiri?
Sering sekali, program pengabdian lahir dari sudut pandang akademisi yang merasa tahu kebutuhan masyarakat, padahal masyarakat punya realitas dan prioritas yang berbeda.
Mahasiswa perlu belajar melihat langsung dari kacamata masyarakat, mendengar keluhan mereka, memahami konteks sosial-budaya setempat, lalu menyesuaikan program yang benar-benar relevan dan bermanfaat.
Potensi Besar yang Belum Dimaksimalkan
Jika OKK dijalankan secara serius, potensinya luar biasa besar. Dengan ratusan kelompok yang tersebar di berbagai titik, ribuan aksi sosial bisa lahir dari program ini. OKK seharusnya mampu menjadi jembatan antara dunia akademik dan masyarakat, tempat mahasiswa belajar berpikir kritis, berempati, sekaligus berinovasi.
Faktanya, banyak mahasiswa Unpad telah membuktikan potensi itu. Pada tahun 2024 misalnya, muncul berbagai proyek kreatif seperti pemberdayaan UMKM lokal, edukasi lingkungan, hingga pelatihan literasi digital di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa semangat untuk berkontribusi sebenarnya ada, hanya saja bergantung pada bagaimana sistem dan pembimbingannya dapat mendukung dan memfasilitasi dengan tepat.
Program OKK semestinya tidak berhenti pada seremonial dan laporan akhir. Ia harus menjadi ruang pembelajaran sosial yang bermakna, tempat mahasiswa belajar mengabdi dengan hati, bukan sekadar memenuhi nilai. Sudah saatnya pihak universitas meninjau ulang mekanisme pelaksanaan OKK: mulai dari relevansi tema, peran dosen pembimbing, hingga evaluasi keberlanjutan dampak di masyarakat.
Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan setiap tahun, bukan hanya pada aspek administratif, tetapi juga pada dampak sosial dan kualitas keterlibatan mahasiswa di lapangan. Selain itu, kolaborasi dengan pihak desa, lembaga masyarakat, dan UMKM lokal dapat menjadi langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan program setelah mahasiswa selesai menjalankan tugasnya.
Bayangkan jika setiap kelompok OKK mampu meninggalkan satu hasil konkret yang bisa terus berjalan setelah program berakhir, entah itu pelatihan rutin, sistem pengelolaan sampah sederhana, atau forum anak muda desa. Dampaknya tidak hanya terasa bagi masyarakat, tetapi juga bagi mahasiswa yang belajar tentang tanggung jawab sosial dan kepemimpinan nyata.
Akan lebih baik pula jika universitas menyediakan platform tindak lanjut berupa pameran hasil OKK, publikasi proyek terbaik, atau dukungan dana lanjutan untuk program yang berpotensi dikembangkan menjadi gerakan sosial berkelanjutan. Dengan begitu, mahasiswa dapat melihat bahwa kerja keras mereka bukan sekadar formalitas satu semester, tetapi bagian dari kontribusi besar Unpad terhadap perubahan sosial.
Karena sejatinya, pengabdian tidak berhenti di laporan akhir, melainkan hidup dalam jejak nyata yang dirasakan masyarakat. Dan di titik itulah, OKK Unpad bisa benar-benar menjadi wajah dari Tri Dharma yang sesungguhnya, bukan sekadar tugas, tetapi aksi nyata.