Pernahkah kamu merasa bingung dan cemas tentang apa yang akan terjadi di masa depan? Jika iya, bisa jadi kamu sedang berada dalam fase yang dikenal sebagai quarter-life crisis. Dewasa ini, banyak remaja, khususnya mahasiswa yang merasa dirinya tengah berada dalam fase ini. Quarter-life crisis atau krisis seperempat abad merupakan kondisi psikologis yang biasa dialami oleh individu berusia 18 hingga 30 tahun. Pada fase ini, seseorang merasa khawatir, bingung, kehilangan arah, dan cenderung overthinking terhadap masa depannya karena ketidakpastian hidup.
Quarter-life crisis umumnya dirasakan oleh generasi muda ketika sedang mengalami masa transisi menuju kedewasaan. Masa ini merupakan salah satu fase penting dalam hidup, ketika seseorang mulai dituntut untuk mandiri secara finansial, mencari pekerjaan, hingga tekanan sosial untuk “sukses” dalam karir.
Mahasiswa tingkat akhir menjadi salah satu kelompok yang paling rentan mengalami quarter-life crisis karena mereka mulai dihadapkan pada keputusan besar terkait rencana masa depannya. Sementara itu, fresh graduate atau lulusan baru juga sering menghadapi kenyataan bahwa dunia kerja tidak selalu sesuai dengan harapannya. Persaingan yang ketat dan tekanan sosial yang tinggi dapat menimbulkan kecemasan, rasa tidak percaya diri, bahkan frustasi. Karyawan muda atau profesional pemula pada usia 20–30 tahun juga tidak luput dari krisis ini. Meski sudah bekerja, banyak yang merasa terjebak dalam rutinitasnya, merasa kehilangan arah, atau menjalani pekerjaan tidak sejalan dengan passion-nya. Beban dan tanggung jawab yang besar, tuntutan finansial, kurangnya kepuasan pribadi juga dapat memperburuk kondisi ini. Lebih parahnya, jika kondisi krisis ini terus berlanjut, maka akan berdampak pada permasalahan psikologis yang lebih serius, yaitu depresi.
Selain tuntutan finansial dan karir, seseorang yang mengalami Quarter-life Crisis juga biasanya disebabkan oleh krisis relasi, baik dalam hubungan keluarga, teman, maupun asmara. Media sosial juga menjadi salah satu pemicu munculnya quarter-life crisis. Media sosial dapat menimbulkan perasaan tertinggal atau yang biasa disebut Fear of Missing Out (FOMO). Tekanan mental dan emosional pun sering muncul ketika individu mulai membandingkan hidupnya dengan kehidupan orang lain yang tampak “sempurna” di layar. Postingan tentang pencapaian karier, perjalanan mewah, hubungan yang romantis, atau gaya hidup ideal dapat memicu perasaan tertinggal, tidak cukup sukses, dan rendah diri. Jika hal ini terjadi secara terus-menerus dapat menimbulkan kecemasan, ketidakpuasan diri, hingga perasaan gagal.
Quarter-life crisis bukanlah fenomena yang terbatas pada satu wilayah atau budaya. Fenomena ini bisa terjadi di kota besar maupun daerah, di negara maju maupun berkembang. Namun, tekanan kerap terasa lebih berat di lingkungan urban dan kompetitif, ketika ekspektasi pencapaian hidup sangat tinggi dan perbandingan sosial lebih kuat, khususnya karena pengaruh media sosial.
Di Unpad sendiri, khususnya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), tidak menutup kemungkinan banyak mahasiswa yang sedang merasakan fase Quarter-life crisis ini. Aulia, salah satu mahasiswa dari program studi Sastra Indonesia angkatan 2023, yang kini berusia 20 tahun mengungkapkan pengalamannya saat diwawancarai oleh tim Pena Budaya pada 20 Mei 2025.
“Perasaan-perasaan khawatir, bingung gitu sih pasti ada, tapi, karena aku masih mahasiswa semester 4, jadi nggak yang terlalu sampe dibawa stres gitu sih. Walaupun begitu, deep down aku udah tau nanti sudah lulus mau ngapain, dan dari sekarang udah lebih melihat opportunity ke bidang yang aku suka, nyari kesempatan, dan ga yang diem aja, walaupun masi semester 4 tapi gada salahnya nyari dari sekarang” ujarnya.
Berbeda dengan Aulia, Kang Yayan Septianto, salah lulusan baru dari program studi Sastra Sunda, FIB Unpad, merasa bahwa dirinya sedang mengalami Quarter-life crisis. Kang Yayan mengatakan bahwa dia sudah mengalami fase ini sejak menduduki semester akhir. Dari berbagai faktor yang ada, tekanan dari lingkungan sekitar terutama keluarga menjadi salah satu alasan dia merasakan situasi tersebut.
“Apalagi posisinya saya fresh graduate, kepikiran juga bagaimana nanti survive ketika udah di dunia yang lebih nyata, berbeda dengan kuliah. Posisi di tempat kerja juga menjadi salah satu faktor, lebih cemas lagi karena orang tua menuntut untuk lanjut S2, jadi merasa tertekan dan bingung mau fokus kerja dulu atau lanjut pendidikan” ujarnya.
Kang Yayan menekankan pentingnya dukungan dan empati dari orang sekitar saat menghadapi krisis ini. Ia juga mengingatkan agar kita tidak terlalu larut dalam tekanan tersebut karena hal itu justru dapat memperburuk keadaan. Sebaliknya, ia menyarankan untuk mencari kegiatan yang menenangkan pikiran, seperti melakukan hal-hal yang kita sukai.
Menghadapi quarter-life crisis memang bukan hal yang mudah, tetapi ada beberapa langkah yang dapat membantu melewatinya dengan lebih sehat dan positif. Pertama, kenali dan terima perasaan yang muncul. Validasi emosi tersebut tanpa menghakimi diri sendiri. Kedua, lakukan refleksi diri secara jujur mengenai nilai-nilai pribadi, minat, serta tujuan hidup yang ingin dicapai. Dukungan sosial juga sangat berarti dalam fase ini, baik dari teman dekat, mentor, maupun tenaga profesional seperti psikolog. Kurangi paparan media sosial jika perlu dan jangan membandingkan diri secara berlebihan. Mulailah melakukan perubahan dengan langkah-langkah kecil yang realistis agar tidak merasa kewalahan. Yang tidak kalah penting, bersikaplah fleksibel dan terbuka terhadap proses karena setiap orang memiliki jalur hidup masing-masing yang tidak selalu harus cepat atau sempurna.