Belakang Selalu Penuh, Depan Selalu Sepi: Duduk di Depan Jadi Ketakutan Baru Mahasiswa

Winda Ariqah Khairunnisa
22 views
','

' ); } ?>

Kita semua tahu satu kebenaran paling universal di dunia perkuliahan yaitu, kursi belakang selalu penuh sebelum dosen tiba, sementara dua baris paling depan? Kosong, sunyi, bahkan kadang seperti lokasi TKP yang tidak boleh disentuh. Ironisnya, semakin awal mahasiswa datang ke kelas, semakin cepat pula mereka berlarian menuju barisan kursi yang ada di belakang. Seolah kursi depan mengandung kutukan, dan duduk di sana hanya cocok untuk mereka yang “terlalu ambis”, “terlalu rajin”, atau lebih parah “terlalu ingin terlihat”.

Fenomena yang kini terjadi di banyak ruang kelas semakin menarik untuk diamati. Setiap kali mahasiswa tiba lebih awal beberapa detik, kita bisa melihat pemandangan segerombolan mahasiswa berbondong-bondong masuk kelas seperti sedang mengejar kursi emas. Sekilas terlihat rajin, ambisius, dan penuh antusiasme. Kita pun mungkin berpikir, “Wah, mahasiswa sekarang luar biasa ya. Pasti berebut kursi depan biar makin fokus.” Sayangnya, begitu pintu kelas terbuka, kenyataan menampar tanpa ampun: dua baris paling depan kosong melompong, berbondong bondong memilih kursi paling belakang zona yang katanya paling “strategis”.

Strategis untuk apa? Untuk belajar? Atau untuk membuka sosial media tanpa ketahuan?

Kebiasaan ini sudah menjadi fenomena rutin dalam kehidupan perkuliahan. Duduk di belakang dianggap lebih aman secara mental, sosial, dan emosional. Di sana, mahasiswa bisa merasa invisible, jauh dari tatapan dosen, dan bebas dari segala kemungkinan menjadi target pertanyaan. Duduk di depan, sebaliknya, dianggap seperti masuk area berbahaya. Posisi yang rawan ditunjuk, ditanya, dan diperhatikan. Banyak mahasiswa menghindarinya bukan karena tidak mampu menjawab, tetapi karena terlalu malu, terlalu takut, atau terlalu tidak siap. Bahkan, ada pula yang menilai bahwa duduk di depan itu terlalu “ambis”, terlalu menonjol, terlalu rajin. Seolah rajin adalah hal baru di dunia kampus.

Padahal, sebagian mahasiswa yang memilih duduk di depan tidak melakukannya untuk mencari perhatian dosen, melainkan agar bisa lebih fokus, melihat materi dengan jelas, dan mengikuti kelas dengan tenang. Seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2024 (19/11) bahkan mengatakan, “Duduk di depan itu lebih nyaman karena lebih sepi. Materi terlihat jelas dan lebih fokus.” Ironisnya, barisan yang sebenarnya paling ideal untuk belajar justru sering kosong karena dianggap terlalu riskan menjadi sasaran dosen.

Sementara itu, barisan belakang menjadi area favorit terutama bagi mereka yang ingin tidur, mengobrol, atau sekadar menghilang dari radar dosen. Ada pula kelompok yang memilih duduk bersama circle mereka dengan dalih kebersamaan. “Jangan lupa tap-in kursi aku ya,” begitu kalimat yang sering terdengar. Namun kenyataannya, obrolan mereka sering mengganggu fokus orang lain. Tapi apa daya, solidaritas circle kadang terasa lebih sakral daripada menghargai jalannya kelas.

Di tengah budaya kolektif yang memilih kursi paling aman, yaitu barisan belakang, terdapat fakta mencengangkan yang seharusnya menggugah kesadaran kita. Sebuah studi tahun 2017 oleh David J. Shernoff berjudul “Separate Worlds: The Influence of Seating Location on Student Engagement, Classroom Experience, and Performance in the Large University Lecture Hall” menunjukkan bahwa mahasiswa yang duduk di barisan depan melaporkan engagement (keterlibatan) lebih tinggi, perhatian lebih fokus, dan pengalaman kelas yang lebih bermakna dibandingkan dengan mereka yang duduk di belakang. Sementara itu, mereka yang memilih posisi belakang justru mendapatkan nilai akhir lebih rendah. Dengan kata lain: memilih posisi “aman” di belakang mungkin terasa nyaman dalam sekejap, namun kenyamanan itu membayar mahal yakni potensi belajar yang lebih rendah, kesempatan diskusi yang menipis, dan ruang tumbuh yang semakin sempit.

Mengacu pada riset tersebut, kebiasaan mahasiswa yang “berebut masuk kelas paling duluan agar cepat-cepatan memilih kursi” namun kemudian malah menduduki kursi belakang menjadi ironi yang layak ditertawakan sekaligus dikritik. Jika mahasiswa masih bersikukuh memilih posisi yang paling jauh dari dosen, maka jangan heran bila dinamika kelas makin kehilangan nyawa, interaksi semakin dangkal, dan proses belajar berubah menjadi rutinitas kosong. 

Fenomena ini bahkan memunculkan stigma baru: mahasiswa yang sering duduk di depan menjadi bahan komentar. Ada yang menyindir, “Tumben, kok enggak duduk depan?” atau “Dia ambis banget sih.” Seolah duduk di depan adalah tindakan radikal yang perlu diawasi. Padahal, yang menyimpang bukanlah mereka yang berani duduk di depan, melainkan mereka yang takut terlihat dalam proses belajar.

Dari perspektif mahasiswa yang suka duduk di belakang pun alasannya tidak kalah menarik. Seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2024 mengatakan, “Aku pribadi lebih nyaman di belakang karena kalau ngantuk atau main HP nggak terlalu kelihatan. Kadang juga takut ditanya dosen, apalagi kalau belum baca materi sebelum kelas.” 

Jika kita melihat lebih jauh, ruang kelas sebenarnya sedang menunjukkan wajah generasi muda: banyak yang ingin maju, tetapi tidak ingin terlihat. Banyak yang ingin didengar, tetapi tidak berani mengambil ruang. Banyak yang ingin berkembang, tetapi lebih memilih bersembunyi. Barisan belakang adalah metafora dari ketakutan kolektif ketakutan untuk gagal, ketakutan untuk terlihat salah, ketakutan untuk berada di garis depan.

Pada akhirnya, jika mahasiswa terus memelihara kebiasaan ini, ruang belajar hanya akan menjadi tempat duduk tanpa makna. Dosen akan terus berbicara kepada kursi kosong, interaksi semakin menipis, dan dinamika akademik perlahan mati. Mungkin sudah saatnya berhenti menyembah zona nyaman bernama “barisan belakang” dan mulai melihat barisan depan sebagai kesempatan kesempatan untuk hadir, untuk menghargai, dan untuk belajar lebih dekat.

Pada akhirnya, dunia kerja dan kehidupan nyata tidak menyediakan banyak kursi bagi mereka yang memilih selalu berada di belakang. Mereka yang enggan melangkah maju akan terus duduk di tempat yang paling aman, tetapi juga yang paling jauh dari peluang dan perkembangan.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya