Tidak Ada Surga Bagi Hewan Ternak 

Zenita Syifa Aulia
120 views
','

' ); } ?>

Februari, 201x

Setahuku manusia tentunya adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Makhluk yang berakal, makhluk yang memiliki hak untuk hidup dan bukanlah menjadi angka statistik belaka ketika mereka mati. Namun semenjak Ia datang, Ia menang dengan segala tipu muslihatnya, semua itu sirna begitu saja. Sekarang manusia yang hidup di surga malang ini hanyalah makhluk dengan label hewan berdasarkan seberguna apa mereka. Satu per satu manusia diberi label hewan. Tertinggi dipegang oleh manusia berlabel anjing, sedangkan paling rendah adalah babi. Lalu bagaimana dengan si “Ia” atau sering disebut sebagai Sang Entitas X? Tentu ia tidak memakai embel-embel label tersebut, teman serta sekutunya pun tidak menggunakan label menjijikkan tersebut. Meski label tersebut menjijikkan tapi entah mengapa bagi sebagian orang mereka tak masalah dengan label rendahan seperti itu.

Meski aku berlabel anjing yang lebih tinggi daripada label kuda dan babi, namun tetap saja aku merasa ada yang aneh. Seolah-olah ada yang hilang dari diriku semenjak aku memakan hatiku sendiri. Aku masih ingat bagaimana Sang Entitas X memberi makanku dengan sangat banyak hingga hatiku mulai mengatakan bahwa semua yang di bawahku adalah makhluk rendahan. Cita rasa dari hatiku yang dihidangkan seperti foie gras terasa aneh awalnya tapi setiap gigitan memberikan sensasi baru sehingga aku menghabiskan seluruh hatiku tanpa sisa.

Memang rasanya hidupku kosong tapi siapa yang menolak kekayaan? Aku bukan orangnya. Sebagai anjing, banyak sekali manfaat yang didapatkan ketika mengikuti arahan Sang Entitas X, mulai dari kekayaan, wanita, keamanan hingga koneksi dengan orang-orang besar. Semua bisa kudapatkan asal aku mematuhi semua perintahnya.

Seperti hari ini, aku datang ke sekolah dari kumpulan babi. Sekolah ini sangat bau seperti tempat sampah. Atapnya rusak, hingga beberapa fasilitas tidak layak. Mereka tersenyum gembira ketika aku membawa makanan untuk mereka. Mereka bersorak dan menangis bahagia karena mereka akhirnya mendapatkan makanan gratis yang berarti Sang Entitas X peduli pada mereka. Anak babi ini memakan dengan lahap seperti tidak ada hari esok. Jujur saja aku merasa jijik ketika melihat hal tersebut dan ingin muntah rasanya. 

Beberapa saat sesudah para anak babi menghabiskan makanan mereka, aku mengambil kembali wadah makan mereka satu per satu. Ketika aku ingin mengambil wadah makan anak paling terakhir, anak itu memegang pergelangan tanganku lalu melihatku dengan wajah polosnya.

“Terima kasih banyak, Pak! Makanannya enak sekali, semoga Bapak sehat selalu, ya!” ucap bocah itu dengan senyuman manisnya. Aku terdiam namun pikiranku sangat berisik.

“Hahaha, apa-apaan tadi? Terima kasih? Hah, bocah gila! Apa-apaan tadi babi ini memegang lenganku … tidak tahu sopan santun!!!” Pikiranku sangat berisik karena jijik dengan bocah dekil ini. Namun aku ingat perkataan Sang Entitas X untuk selalu tersenyum dan ramah ke para babi yang malang. Dengan terpaksa aku memasang senyum terbaikku lalu berkata dengan lembut.

“Sama-sama. Saya senang kamu suka dengan makanannya. Belajar yang rajin, ya, biar bisa banggain orang tuamu,” ucapku dengan lembut sembari mengelus rambut anak itu dengan kasih sayang palsu. Anak itu tersenyum puas lalu mengangguk mendengar perkataanku. 

Tempat ini benar-benar menjijikkan, kuharap pekerjaanku cepat selesai tapi percuma karena esok hari akan lebih menjijikkan lagi. Namun, semua hal ini harus kulakukan agar surga ini bebas dari kemiskinan. Perkataan Sang Entitas X berputar di kepalaku seperti kaset rusak. 

“Kami akan menghilangkan kemiskinan.”

“Menghilangkan kemiskinan.”

Kemiskinan.

Sang entitas X benar, surga yang indah adalah surga tanpa kemiskinan. Suatu hari ini pasti surga itu akan hadir. Aku yakin surga itu akan hadir. Aku menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan, aku harus siap untuk hari esok.

Esok harinya, aku mengunjungi penangkaran para babi yang dengan mudah tertipu lowongan kerja palsu di surga yang lebih indah. Menurutku mereka hanyalah orang-orang bodoh yang mudah sekali ditipu. Kakiku melangkah melewati lorong yang gelap. Kudengar rintihan orang dungu yang meminta untuk dipulangkan tapi sayangnya hal itu tak mungkin terjadi. 

Oh, mungkin saja itu terjadi, namun bukan kembali ke rumah mereka tapi kembali ke pencipta mereka. Langkahku berhenti di depan suatu ruangan besar, dengan perlahan kubuka pintu ruangan tersebut. Beberapa anjing sepertiku melihat ke arahku dengan tatapan malas sebelum salah satu dari mereka berkata “Kamu, cepat kemari. Babi ini tidak bisa diam dari tadi.” Perintah tersebut membuatku menghembus nafas pelan tapi apa boleh buat? Aku harus tetap bekerja juga.

Aku berjalan ke arah anjing yang memanggilku. Kulihat seorang pria berlabel babi dengan rentang usia sekitar 20 tahun meronta-ronta histeris karena ia tahu apa yang akan terjadi.

“BERHENTI BANGSAT, BANGSAT, BANGSAT SAYA TIDAK MAU MATI!” Ia berteriak histeris sambil meronta-ronta, pergelangan tangannya tertahan oleh logam besi yang terhubung ke meja logam tempat ia terkekang. Pergelangan tangannya sudah memerah karena gesekan antara kulit menjijikkan yang ia miliki dengan logam besi yang menahannya.

“MATI LU SEMUA ANJING, ANJING GILA, ANJING BANGSAT!!!” Babi ini meronta-ronta lagi, ingin sekali kumasukkan ke mesin penggiling saja sekarang daripada harus memanen organ dalamnya terlebih dahulu. Aku melihatnya meneteskan air mata namun tetap saja hal menyedihkan seperti itu tak bisa menyentuh hatiku karena bagiku mereka hanyalah benalu yang perlu dimusnahkan.

Tanganku bergerak ke arah mulutnya, dengan cepat aku melebarkan mulutnya dengan paksaan. Si babi berusaha menutup mulutnya, benar-benar menyusahkan saja. Usaha putus asa itu membuatku kesal saja, karena terlalu kesal aku malah melebarkan mulutnya terlalu parah hingga mulutnya sobek. Si babi berteriak kesakitan karena bagian kanan dan kiri mulutnya robek.

“Kamu seharusnya jangan emosi seperti itu,” celetuk anjing yang ada di seberangku.

“Maaf…,” ucapku lirih sambil tetap melebarkan mulut si babi.

“Sudahlah tak apa, toh babi ini bakal digiling juga akhirnya.” Si anjing mengambil sebuah botol kaca yang berisi cairan aneh. Saat ia buka penutup botol itu, bau busuk langsung menusuk hidungku. Baunya bagaikan telur busuk yang diaduk dengan feses. Anjing ini memasukan cairan itu secara paksa ke mulut si babi. Babi menjijikkan yang sebelumnya merepotkan tiba-tiba langsung ingin memuntahkan sesuatu.

Ia terlihat saat menyedihkan ketika kesusahan mengeluarkan sesuatu yang sangat besar. Matanya terbelalak seperti mayat, menjijikkan, dan juga mengerikan di saat yang sama. Matanya yang terbelalak itu seperti bergerak-gerak seperti ingin keluar dan benar saja bola matanya langsung keluar dari tempatnya. Saraf-saraf mata si babi seolah-olah tumbuh seperti batang tanaman cabai. Melihat hal tersebut, anjing yang lain mendekat dan memetik mata tersebut kemudian memasukkannya ke dalam toples kaca bening yang berisi mata dari para babi sebelumnya. 

Anehnya si babi ini belum mati juga, ia masih terlihat kejang-kejang ingin memuntahkan seluruh isi tubuhnya. Aku mulai bosan melihatnya seperti ini, hal tersebut juga sama dirasakan oleh anjing di hadapanku. Akhirnya kami memutuskan untuk menambah dosis cairan busuk itu. Dengan cekatan, anjing di hadapanku mengambil tiga botol lagi, lalu memasukkannya ke dalam mulut si babi. Si babi semakin menjerit layaknya tikus yang ditusuk batang kayu yang tajam, suaranya nyaring dan memuakkan. 

Akhirnya usaha kami yang ini membuahkan hasil karena si babi mulai memuntahkan organ dalamnya. Jantung, lambung, usus, paru-paru, bahkan ginjal mulai keluar dari mulutnya satu per satu. Darahnya bercipratan ke mana-mana layaknya petasan. Anjing-anjing lain bergegas mengambil organ yang berceceran di meja logam. Mereka mengecek kondisi dari setiap organ karena organ yang baik adalah uang yang baik pula. 

“Yah…. Paru-parunya jelek sekali bahkan kondisi ginjalnya saja buruk seperti wajahnya,” cemooh si anjing dengan rambut ikal.

“Ah, semua organ dalamnya cacat…. Sialan, kita hanya nungguin hal sia-sia saja kalau gitu,” tambahnya dengan kesal.

Jujur saja aku sama kecewanya karena babi ini tidak menghasilkan apa-apa kecuali matanya yang dalam kondisi lumayan bagus. Kalau tahu akan begini, seharusnya babi jelek ini digiling saja sejak awal. Dengan rasa kecewa kami menggotong jasad si babi ke sebuah ruangan. Jujur saja memegang jasad babi ini sudah memuakkan. Tangannya dekil, mungkin karena sering berguling-guling di lumpur…ah bukan juga, mungkin lebih tepatnya karena bekerja keras di surga yang tidak pernah adil sejak awal. 

Hidup mereka benar-benar menyedihkan. Mereka percaya bahawa hanya dengan kerja keras saja bisa mengubah nasib mereka. Aku sering melihat bagaimana satu aliansi Sang Entitas X dan para ular memotivasi mereka lewat media sosial. Mereka berkata bahwa semua orang bisa menjadi kaya asal kerja keras saja, padahal mereka sendiri bisa kaya raya karena sudah punya kekuatan yang kuat di belakang mereka, sedangkan para babi? Makan untuk esok hari saja belum tentu bisa. Aku ingat betul kalimat apa saja yang mereka sering katakan, terus menerus seperti kaset rusak.

“Orang miskin itu karena mereka malas.”

“Orang miskin enggak bakalan tau rasanya jadi orang kaya kalau mereka sendiri enggak pernah mau usaha.”

“Lu harusnya bisa lepas dari kemiskinan kalau lu enggak malas.”

“Orang-orang miskin tuh sebenernya cuman segerombolan orang yang malas kerja aja.”

Sebenarnya aku merasa kagum dengan kata-kata mereka. Semua kata yang mereka lontarkan terasa begitu kasar namun ampuh untuk menghipnotis babi-babi malang ini. Kadang aku ingin sekali mencoba membuat video sambil berkata seperti mereka, ah tapi mungkin aku akan dihajar habis-habisan kalau mencobanya. Perkataan mereka bagaikan madu yang manis meski isinya hanya omong kosong belaka tapi entah mengapa selalu saja berhasil  kalau ditargetkan ke para babi malang yang tidak memiliki kesempatan sama sekali di surga yang sudah mau hancur dan berantakan ini.

“Hei, taruh di sini saja.” Perkataan anjing di sebelahku membangunkan lamunanku. Ah, benar juga kita sudah sampai di depan ruangan penggilingan ini. Mereka memberi isyarat padaku untuk menaruh mayat tersebut di tempat ini agar si pemotong bisa mengurusi mayat babi itu. Akan tetapi; aku penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan pada mayat jelek ini. Rasa penasaranku lebih besar daripada moral yang kumiliki.

“Apakah saya boleh melihat prosesnya? Saya hanya penasaran saja,” tanyaku sambil melihat ke anjing di hadapanku. Mataku memancarkan rasa penasaran yang amat sangat tinggi, mungkin sedikit gila tapi entahlah, aku tak bisa menahan rasa penasaranku ini. Si anjing hanya diam saja sejenak. Aku bisa melihat bahwa matanya menyiratkan rasa lelah karena harus bekerja dengan orang-orang yang tidak mempunyai moral sepertiku. Keheningan mendominasi beberapa saat, sebelum ia menjawab pertanyaanku.

“Kamu memang aneh … biasa akan segera kabur ketika mendengar prosesnya tapi kamu malah penasaran,” ucap sang anjing sembari menghembuskan nafas pelan. Mendengar hal itu aku kecewa karena sepertinya aku tidak diizinkan untuk melihat prosesnya. Kepalaku menunduk untuk memohon maaf.

“Maaf atas kelancangan sa-..”

“Sudahlah tak usah minta maaf, saya akan tanyakan dulu untuk izinnya.” Mendengar perkataan si anjing membuatku keheranan karena jarang sekali orang ini mengatakan sesuatu yang tak sesuai dengan peraturan yang ada. Aku mengangguk sedikit sebelum ia pergi untuk menemui seseorang yang berpostur bungkuk dan sebagian wajahnya tertutupi oleh masker medik. Dari rambutnya aku bisa menebak bahwa orang itu adalah wanita, namun ada yang janggal dari orang tersebut karena ia tidak menggunakan label di lehernya seperti yang lain. Aku berpikir bahwa orang tersebut mungkin adalah teman atau mungkin satu kubu dengan Sang Entitas X, entahlah aku tidak terlalu peduli. 

Si wanita berjalan ke arahku, jari-jarinya ringkih dan sedikit berwarna kehitaman seperti mayat yang membusuk melakukan gerakan yang sedikit aneh tapi aku merasa ia mengajakku untuk masuk. Tanpa pikir panjang, aku mengikuti wanita itu ke dalam ruangan yang berbau busuk seperti gudang mayat. Saat aku berjalan lebih dalam ke ruangan itu, aku disambut dengan pemandangan kumpulan mayat yang diletakkan asal-asalan di tanah. 

Pemandangan yang aneh bukan hanya itu, namun aku melihat beberapa makhluk aneh seperti di cerita tentang makhluk yang ada di neraka. Makhluk itu memiliki postur yang tinggi, mungkin sekitar 3 meter. Matanya terlihat hitam legam … ah salah, ternyata mereka tak punya mata karena bola matanya tidak ada di sana. Hidungnya terlihat penyok ke arah kanan, rambutnya acak-acakan dan tipis. Mulutnya terlihat seperti tersenyum lebar ke arahku namun tak terlihat satu pun gigi di sana. Yang bisa kulihat hanyalah sesuatu berbentuk bulat berwarna putih seperti bola mata yang berkedip dan menggantung di langit-langit mulutnya layaknya uvula. Aku menyempitkan mataku untuk melihat lebih jelas benda apa itu. Setelah aku lihat lebih teliti lagi ternyata benda bulat itu adalah matanya. Aku baru menyadari mulut yang terbuka seperti tersenyum itu sepertinya bukan tersenyum hangat untuk menyambutku, namun makhluk itu melakukannya agar bisa melihat. 

Keanehan tidak sampai di situ saja karena tubuhnya berwarna hitam legam seperti sudah membusuk. Posturnya yang tinggi tidak seperti manusia, ia terlihat seperti seseorang yang tidak punya lemak di tubuhnya–tinggi, ramping dengan kulit yang terlihat seperti kulit ayam yang gosong. Setiap ia berjalan terdengar suara seperti tulang yang patah, gerakannya aneh seperti tulang dari makhluk itu sendiri tidak dapat menopang tubuhnya. 

Makhluk itu bergerak ke arahku. Sesuatu mulai keluar dari tenggorokannya, terlihat seperti sulur panjang namun berbentuk dan memiliki tekstur seperti lidah manusia. Saat makhluk itu sudah sangat dekat denganku, kukira ia akan menyakitiku atau membunuhku tapi ternyata ia berjalan ke arah mayat si babi di sebelahku. Lidahnya yang panjang mulai masuk ke dalam mulut si babi. Perlahan aku mendengar suara tulang yang patah, dari pelan menjadi suara yang lebih keras. 

Mataku terfokus pada lidah makhluk aneh tersebut yang sedang bergerak seperti mengoyak tulang si babi. Perlahan aku melihat sesuatu berwarna putih keluar dari kulit mayat si babi. Makhluk itu menggerutu keras lalu melakukan gerakan menarik menggunakan lidahnya sampai akhirnya tulang mayat tersebut keluar dari dalam tubuhnya. Kulit sang babi terbagi menjadi dua, terpisah dari kulitnya. Daging si babi berwarna merah besar yang sudah bersih dari tulang itu langsung dibawa oleh wanita bungkuk di sebelahku. Aku melihat bagaimana sang wanita membersihkan kulit sang babi. Aku paham kenapa dia melakukan itu, karena tidak ada yang mau memakan kulit dekil nan jelek seperti itu. 

Setelah dagingnya bersih dari kulit si babi, wanita tersebut langsung membawa daging segar tersebut ke mesin penggiling. Daging merah tersebut langsung menjadi sebuah adonan merah seperti daging cincang pada umumnya. Aku pernah dengar bahwa daging manusia rasanya seperti daging babi, ya mereka tak akan sadar juga karena toh daging tersebut akan dibuat menjadi sosis berwarna merah yang dijual murah di pasaran. Agak sedikit ironis karena biasanya konsumen dari sosis tersebut, ya, para babi dan kuda sendiri. Kami para anjing tidak membeli sosis itu karena sudah tahu bahan dasarnya. Rasanya mereka yang berlabel babi dan kuda memang akan selalu berputar di siklus yang malang ini, entah sampai kapan.

Oktober, 202x 

Entah sudah berapa tahun Sang Entitas X menjabat dan entah sudah berapa banyak protes yang para babi dan kuda lontarkan karena akhirnya mereka menyadari kebusukan darinya. Namun, mereka tetaplah orang rendahan. Mereka tidak punya kuasa untuk melawan penguasa. Semua perjuangan mereka terasa sia-sia dan tak berguna bagi koloni Sang Entitas X dan dia sendiri, sebagai gantinya yang menanggung semua rasa sakit itu adalah kami–para anjing. 

Kami menjadi pendosa karena mematuhi perintah Sang Penguasa, kami yang menanggung rasa sakitnya, sedangkan yang membuat kebijakan dengan tenang duduk di singgasananya. Hari demi hari aku mendengar anjing-anjing sepertiku diburu oleh para babi dan kuda bagaikan binatang langka. Hal tersebut membuatku harus menyembunyikan label di leherku yang tidak bisa dicabut sama sekali karena sudah menyatu dengan kulitku. Kadang aku ingin sekali memutuskan leherku seperti apa yang dilakukan anjing-anjing lain, karena jika tidak melakukan hal itu sesegera mungkin, mereka akan memenggal kepala kami dengan tangan mereka sendiri.

Aku masih ingat bagaimana temanku ditarik secara paksa oleh orang-orang yang hilang akal tersebut. Aku masih ingat suara kapak yang menghantam leher temanku, suara nyaring seperti bunyi tikus terdengar dari pipa suaranya yang rusak. Momen penuh darah dan kekejaman, kapak terus berusaha memotong lehernya, namun leher itu seolah-olah menolak terpisah dari empunya. Frustasi dengan hal itu, mereka menaikkan kapak tersebut tinggi-tinggi lalu dengan hantaman yang keras, kepala temanku terpisah dari lehernya. Kepalanya menggelinding ke arah para babi tapi karena moral mereka sudah hilang, mereka dengan tega menendang kepala temanku seperti bola lalu mengopernya kesana kemari.

Aku kira penderitaanku cukup sampai sini saja, namun sepertinya aku terlalu naif. Terkadang aku melihat sosok anak-anak itu. Mereka yang diberi makan hidangan gratis dari daging kelompoknya sendiri. Anak-anak polos itu, anak-anak yang akan selalu menghantuiku hingga akhir hayat hidupku.

Suara bel rumah berbunyi, membuyarkan lamunanku. Aku merasa ada hal yang janggal dengan ini. Dengan langkah perlahan aku menuruni tangga lalu membuka pintu. Mataku bertatapan dengan seorang ibu dan anak kecil memakai seragam sekolah dasar. Sang ibu berkata sambil menahan isak tangis.

“Pak … tolong anak kami, Pak…. Anak saya keracunan makanan gratis di sekolahnya.” Suara ibu itu lirih lalu ia menyuruh anaknya membuka mulutnya. Usus si anak itu menjuntai keluar seperti sulur panjang. Melihat hal janggal tersebut membuatku mundur sedikit.

“Masukkan saja kembali ususnya … masih hidup juga, kok,” balasku dengan nada acuh meski tanganku sedikit bergetar karena melihat halusinasi sejelas ini. Aku tahu ini cuma halusinasi tapi tak pernah sejelas ini.

“Pak … tolong kami, Pak….” Si ibu memohon lagi.


“Saya mohon, Pak….” Ia berkata sekali lagi namun sekarang lehernya bergeser sedikit ke kiri, lehernya seperti terbelah menjadi dua namun tidak jatuh karena dagingnya masih menahan lehernya walau posisinya menganga terbuka.

“Tolong kami, Pak….” si ibu mendekat sedikit demi sedikit ke arahku tapi aku mendengar makin banyak langkah kaki datang ke arahku. Satu per satu anak-anak dengan kondisi aneh seperti makhluk asing datang ke arahku. Sontak aku mundur perlahan dan meraih pisau lalu menodongkannya ke arah mereka. 

“JANGAN MENDEKAT … KALIAN SEMUA SUDAH MATI … ORANG SEPERTI KALIAN HARUSNYA MATI SAJA…!” Perkataanku tidak tegas seperti biasanya. Baru kali ini aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Bukan takut akan dosa, namun takut akan kematian. Mati dalam keadaan hina oleh para makhluk rendahan ini.

Tanganku bergetar hebat ketika anak-anak berpakaian sekolah dasar itu mulai meraih tanganku menggunakan ususnya. Suaranya penuh rasa kesedihan ketika ia berkata

“Tolong kami, Pak…. Matilah demi kami…. Matilah dan kembalilah; Pak… Mati…. Mati agar surga ini bersih tanpa makhluk hina seperti Bapak….”

Setelah ia berkata sembari mengeluarkan suara cekikikan, semuanya menjadi berwarna merah. Rasanya sakit dan panas terasa di sekujur tubuhku. Aku tak paham mengapa semuanya menjadi berwarna merah. Mungkin karena aku akan pergi ke neraka atau karena kepalaku sudah tergeletak di lantai karena memotong leherku sendiri.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya