Tiga Proyeksi Politik Kampus Unpad, Pasca (Gagalnya) Pengawalan UKT

Georgius Benny
1083 views
Ilustrasi: Azka Nadayana

Isu Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Padjadjaran (Unpad) kini sudah memasuki masa landing atau dalam kata lain sudah hampir selesai. Namun, hasil yang didapat lagi-lagi tidak sesuai keinginan mahasiswa, yakni tidak adanya pemotongan universal. Hasil akhir yang didapat tidak berbeda sama sekali dengan tahun lalu, yaitu penyesuaian dengan pengajuan terlebih dahulu dan syarat yang diperlukan pun hampir sama persis dengan tahun sebelumnya.

Gagalnya negosiasi terkait UKT ini tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi Kema Unpad saja, tapi dalam gambaran yang lebih besar, juga mempengaruhi sektor politik kampus. Setidaknya proyeksi politik kampus Unpad sudah mulai terbaca pasca konsolidasi pertama yang diselenggarakan BEM Kema Unpad tanggal 7 Januari lalu. Konsolidasi ini sendiri bagi saya adalah konsolidasi isu kampus paling ramai dan paling aneh sepanjang saya menjadi mahasiswa Unpad. Namun, sudahlah… tidak perlu kita bahas kembali.

Menurut saya, ada beberapa gambaran dinamika konsolidasi yang akan menjadi proyeksi politik kampus Unpad selama tahun 2021 ini yang saya rangkum menjadi tiga hal, yakni delegitimasi publik terhadap BEM Kema Unpad, munculnya potensi gerakan bawah tanah yang organik dan kolektif, hingga pembenaran bagi barisan sakit hati (baca: calon-calon gagal) di Prama Unpad 2020 kemarin. Mari kita bahas ketiga hal ini.

 #1 Delegitimasi publik terhadap BEM Kema Unpad

Salah satu indikator dari good governance adalah kepercayaan publik. Namun, hanya dalam kurun waktu kurang lebih dua minggu pasca pelantikan, BEM Kema Unpad sudah kehilangan kepercayaan publik itu bahkan cenderung mengarah menjadi delegitimasi publik.

Ketidakmampuan mengarahkan jalannya konsolidasi, aspirasi Kema Unpad yang sekadar ditampung, Wakil Ketua BEM yang menghilang, hingga ketidakpahaman mengenai ilmu dasar per-BEM-an adalah serangkaian “dosa politik” BEM Kema Unpad dalam konsolidasi kemarin.

Kekecewaan publik ini bertambah dengan ketidakmampuan BEM Kema dalam bernegosiasi dengan rektorat dalam audiensi. Bahkan, dua audiensi pertama batal diadakan. Tuntutan pemotongan UKT secara universal pun akhirnya gagal diperjuangkan oleh BEM Kema dan bahkan lebih dari itu, BEM Kema juga gagal mengorkestrasi gerakan BEM Fakultas dalam isu UKT ini sehingga gerakannya terpecah. Hal-hal inilah yang menjadi akar delegitimasi publik terhadap BEM Kema Unpad dan saya memperkirakan gelombang delegitimasi ini akan berjalan sepanjang tahun.

Delegitimasi ini sesungguhnya sudah terasa bahkan hanya dalam waktu kurang lebih satu bulan sejak masa awal BEM Kema 2021 menjabat. Belum adanya nama Kepala Bidang yang dirilis hingga ketidakjelasan kapan dimulainya perekrutan Kepala Departemen (Kadep) dan staff merupakan akibat awal dari delegitimasi publik. Bahkan, posisi Kadep ataupun staff di BEM Kema yang biasanya selalu menjadi rebutan banyak mahasiswa, kini justru cenderung dihindari karena besarnya beban yang akan ditanggung satu tahun ke depan ditambah gelombang delegitimasi publik yang berpotensi permanen.

#2 Munculnya potensi gerakan bawah tanah yang organik dan kolektif

Pasca konsolidasi pertama tanggal 7 Januari lalu, kalau kita lihat di base Draft Anak Unpad (DAU) di Twitter, BEM Kema menjadi trending topic bukan karena prestasi namun karena kebodohan yang dipertontonkan dalam konsolidasi. Tak lama semenjak dari itu, muncul grup di Line Square yang bernama “Unpad Netizen Club” yang entah diinisiasi oleh siapa dan hingga kini sudah beranggotakan hampir 300 orang.

Grup ini menjadi bukti besarnya kekecewaan publik terhadap BEM Kema dan dalam gambaran lebih besarnya maka grup ini dapat menjadi modal politik awal untuk membuat aliansi bawah tanah yang bergerak secara independen tanpa kehadiran BEM Kema. Keresahan Kema Unpad yang organik dan kolektif ini, jika tidak mampu diperbaiki oleh BEM Kema, niscaya gerakannya akan semakin membesar.

 #3 Pembenaran para barisan sakit hati Prama 2020

Terakhir, adalah kebodohan BEM Kema yang menjadi tertawaan publik. Hal ini sekaligus menjadi ajang pembenaran bagi barisan sakit hati di Prama 2020 kemarin. Bicara soal menjadi bahan tertawaan, sebenarnya bagi saya BEM Kema sudah menjadi bahan olok-olok semenjak konsolidasi pertama.

Namun, lebih dari itu, ketidakcakapan BEM Kema ini menjadi pembenaran bagi kubu lawan yang kalah (dan juga gagal) dalam Prama 2020 yang seolah mengatakan, “Tuh kan, makanya pilih aing kemarin hehe” atau dari kubu yang tidak lolos verifikasi seolah mengatakan pula, “Tuh, makanya lolosin berkas aing hehe”.

Setidaknya, beginilah proyeksi politik kampus Unpad pasca kekecewaan terhadap isu UKT ini.

Jadi, kita yang hanya rakyat dan mahasiswa biasa ini harus gimana, Lur?

Editor: Raihan Rizkuloh Gantiar Putra
Ilustrasi: Azka Nadayna

guest

0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran